Menikah? Yeah!
Berumah tangga? Nanti dulu.
Begitulah kisah Inara Nuha (21 tahun) dan Rui Naru (25 tahun). Setelah malam pertama pernikahan mereka, kedatangan Soora Naomi mengguncang segalanya. Menghancurkan ketenangan dan kepercayaan di hati Nuha.
Amarah dan luka yang tak tertahankan membuat gadis itu mengalami amnesia selektif. Ia melupakan segalanya tentang Naru dan Naomi.
Nama, kenangan, bahkan rasa cinta yang dulu begitu kuat semuanya lenyap, tersapu bersama rasa sakit yang mendalam.
Kini, Nuha berjuang menata hidupnya kembali, mengejar studi dan impiannya. Sementara Naru, di sisi ia harus memperjuangkan cintanya kembali, ia harus bekerja keras membangun istana surga impikan meski sang ratu telah melupakan dirinya.
Mampukah cinta yang patah itu bertaut kembali?
Ataukah takdir justru membawa mereka ke arah yang tak pernah terbayangkan?
Ikuti kisah penuh romansa, luka, dan penuh intrik ini bersama-sama 🤗😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28 Naru dirawat
Naru dirawat di rumah sakit tanpa memberi kabar pada siapa pun. Ia tiba di IGD dengan kondisi pendarahan cukup parah di paha kirinya, tapi menolak untuk dicatat atas nama keluarga besar atau perusahaan.
Dilan yang menemani sejak malam pertama, benar-benar dibuat kesal oleh sikapnya. “Ini udah lima hari lo dirawat di sini, Ru. Lo yakin tetep nggak mau kabarin rumah?" Ia mengangkat ponsel di depan wajah Naru, menawari dengan wajah serius. "Nih, gampang banget, tinggal gue pencet nomornya, kabar ini sampe ke istri lo.”
Naru berusaha meraih, tapi Dilan cepat menghindar. “Jangan, Dilan. Gue nggak mau mereka khawatir. Gue nggak mau Nuha lihat sisi terburuk gue kayak gini.”
Dilan mendengus keras. “Lo pikir luka tembak bisa lo sembuhin pakai ego? Dokter bilang lo butuh dua minggu di sini, Ru. Dua minggu!” Ia bersandar di kursi, nada suaranya melembut. “Biarin Nuha datang, jagain lo. Siapa tau hubungan kalian bisa beneran membaik. Lagian kalo disuruh gue yang jagain, nggak sempat, bro. Lo tau kan jadwal praktek psikiater gue, penuh tiap hari.”
Naru memalingkan wajah ke arah jendela yang menampilkan langit senja keemasan, “Kalau gitu, pergilah. Gue nggak maksa lo buat nemenin.”
Di tangannya masih menempel jarum infus, sementara bekas peluru di paha sudah dibalut rapat. Ia menarik napas dalam, lalu menjawab lirih, “Gue cuma… butuh tenang. Gue nggak siap ketemu siapa pun. Belum sekarang. Belum sampai gue bisa jalan sendiri.”
Dilan mendecak, “Tenang? Dia pikir kabur dari kenyataan bisa bikin tenang kali ya? Yang lo lakuin cuma nyusahin orang.”
"Ah, cuma nyusahin elo doang kok--" dan pukulan keras mendarat di kepala Naru. "Aw!" serunya.
“Rasain tuh! Emang perlu dipukul biar sadar. Lo nyusahin gue di sini, iya. Tapi lo hilang tanpa kabar juga berarti bikin mereka cemas, Rui Naru!”
Naru terdiam.
Ada sesuatu yang ia simpan, sesuatu yang membuatnya memilih kesendirian daripada pelukan orang-orang yang mencintainya. Suara Naru memelan, "Semua janji yang pernah gue ucapin... Tak satupun bisa kupenuhi. Ck! Dan gue malah berakhir begini, sial!"
Dalam kepalanya, wajah-wajah mereka silih berganti. Ia tahu, satu kabar saja soal luka tembaknya bisa membuat semuanya kacau.
"Trus alasan apa yang lo berikan?"
Naru menjawab santai, bibirnya sedikit menyungging. “Gue nggak perlu alasan. Gue udah kirim satu bunshin ke rumah. Santai aja.”
Ia bahkan sempat melet kecil, seperti anak kecil yang ketahuan berbohong tapi masih berusaha menutupi rasa bersalahnya.
Dilan kembali memukul kepala.
"AWW!!" 🌟
"Bunshin pala lo?!"
Setelah Brams ditangkap polisi, keadaan peternakan perlahan mulai pulih. Meski tidak secepat membalikkan telapak tangan.
Para buruh ternak dan pekerja masih trauma karena keterlibatan Brams dalam jaringan perdagangan gelap dan kekerasan yang menimpa mereka. Beberapa lahan sempat terbengkalai, pakan menumpuk, dan banyak sapi yang kurus karena distribusi terhenti. Namun, begitu berita penangkapan Brams tersebar luas, kepercayaan mulai tumbuh kembali.
Kakek Darmawan tetap berusaha mengambil alih kendali peternakan dengan cara yang lebih hati-hati. Pemerintah daerah turun tangan memberi pendampingan hukum dan keuangan untuk menstabilkan aset peternakan yang sempat disita sebagai barang bukti. Sebagian ternak yang dulu 'diselundupkan' oleh Brams berhasil ditemukan dan dikembalikan ke kandang asal.
Kakek Darmawan sering berkata sambil menatap langit sore, “Peternakan ini bukan milik satu orang. Ini milik mereka yang menjaga, bukan mereka yang serakah.”
Kalimat itu jadi semboyan baru bagi para pekerja. Pengingat bahwa keringat dan kejujuran jauh lebih kuat daripada kekuasaan dan tipu daya.
Ketika malam benar-benar turun, lampu-lampu kandang menyala lembut, menandai ketenangan baru yang lahir dari luka dan perjuangan.
Di tempat berbeda, dua layar ponsel menyala. Naru menatap satu layar itu dalam diam, sementara di sisi lain kota, Nuha melakukan hal yang sama. Sama-sama berbaring, tapi di ruang yang tak bersinggungan. Seolah ada rindu yang mengendap, namun tak satu pun dari mereka yang berani memulai.
Lalu perlahan,
Malam mereda di ujung waktu. Langit pagi datang membawa cahaya yang lembut, menembus kabut embun dan sisa penyesalan. Setiap tarikan napas terasa seperti kesempatan baru. Burung-burung beterbangan menyambut pagi yang terasa lebih damai dari sebelumnya.
Nuha terdiam di kelasnya, menatap layar ponsel yang tak kunjung menampilkan notifikasi baru. Sejak pesan marah yang ia kirim itu, semuanya hening. “Padahal aku nggak benar-benar marah…” gumamnya pelan.
Jari-jarinya menggulir layar yang kosong. “Aku cuma… ngambek aja, eumm…” pipinya merona, lalu buru-buru ia palingkan wajahnya seolah menyembunyikan sesuatu dari dirinya sendiri. Hatinya resah, tapi gengsinya menahan. “Dia sekarang di mana, ya?” bisiknya lagi. “Bahkan di rumah Ibu pun dia nggak ada…”
Ada jeda panjang.
Hening yang terasa aneh. Seolah udara di sekitarnya ikut menahan napas bersama rasa rindunya yang tak mau ia akui.
Di koridor yang ramai mahasiswa, Sari berjalan dengan kepala menunduk. Wajahnya tampak kusut, matanya sembab. Ia tahu ayahnya kini mendekam di penjara. Kabar itu tersebar cepat. Tapi tak ada yang berani menyinggungnya.
Sari menghampiri Nuha dengan langkah keras. Tangannya nyenggol bahunya dengan kasar. “Nara! Lo tuh egois banget, ya! Gue udah kehilangan ayah gue, Kanaya mau pindah kampus dan elo malah nggak mau peduli?! Jangan-jangan lo seneng ya gue terpuruk!”
Nuha tersentak dari lamunannya, “Maaf, Sari. Aku... Aku nggak bermaksud begitu...”
Sari tak berhenti, “Lo tuh ya!! Gue eneg lihat lo, Inara! Kenapa lo bisa sesantai ini, hah! Pokoknya, lo harus jadi Kanaya buat gue!”
“Maksudmu apa sih? Kamu tuh bisa nggak sih nggak cari ribut sama aku?” Nuha menatap jengah.
“Gue nggak mau tau!” Sari menunjuk wajahnya dengan penuh emosi. “Sekarang yang paling kaya di kelas ini ya cuma lo! Lo harus jadi dompet berjalan gue sekarang!”
“Sari!”
Nuha berdiri, berusaha menahan diri agar tak terpancing. Tapi Sari justru berteriak lebih keras.
“Temen-temen!!” suaranya menggema di ruang kelas. “Hari ini Inara mau traktir kita, lhooo! Dia mau ngehibur gue cos gue lagi sedih banget. Katanya dia lagi banyak uang! Kalian mo ikut?!”
Mahasiswa lain menoleh. Beberapa tertawa kecil, ada pula yang berbisik-bisik.
Wajah Nuha memanas.
Dunia seakan berputar pelan. Bukan karena marah, tapi karena perasaan malu yang menekan dadanya seperti beban. Dan di tengah hiruk pikuk itu, hanya satu kalimat terlintas dalam pikirannya:
Kenapa setiap kali aku mulai tenang… selalu ada yang datang untuk menguji hatiku lagi?
Sari menarik tangan Nuha dengan kasar, suaranya bergetar di antara marah dan sedih. “Pokoknya lo harus bisa hibur gue! Nggak ada Kanaya, ya lo yang gantiin dia! Gue muak, Nara! Muakk sama semua ini!!”
Bruk!
Nuha terhempas di kasur kamarnya, tengkurap tanpa tenaga. Nafasnya memburu, bahunya naik turun menahan letih. “Bener kata Kanaya…” gumamnya pelan, “kalau Sari nggak diturutin, dia bakal terus nyerang. Tapi kalau terus begini, aku bakal jadi boneka barunya.”
Ia membiarkan hening mengisi kamar. Hanya detak jam dinding yang terdengar. Setelah beberapa lelahnya menguar, Nuha menatap ponselnya. Layar menyala, memperlihatkan ruang chat kosong milik suaminya yang sudah dinamai 'Ciluba!'
“Aku harus nulis apa, sih…” bisiknya. Jemarinya gemetar di atas papan ketik. “Sakit rasanya mikirin dia… Tapi kalo dia ada, rasanya juga campur aduk. Seneng iya, kesel iya, bingung. Naru… aku cuma pengin kamu pulang.”
Pesan itu tidak ia kirim. Tapi entah bagaimana, hati Naru jauh di tempat lain seolah mendengar panggilan itu. Dadanya sesak. Tatapannya kosong menembus langit-langit kamar rumah sakit.
Tiba-tiba, rasa takut itu datang begitu saja. Ia teringat malam ketika dulu meninggalkan Nuha selama tiga tahun. Hanya karena satu pesan singkat berisi kata rindu…
semuanya berubah jadi bencana.
Segala pesan penenang tak cukup mampu menjadi obat rindu bagi Nuha. Naru bingung. Jika ia mengulanginya lagi, entah apa yang akan terjadi pada istrinya.
Ia teringat kata Kak Muha, “Kebahagiaan Nuha itu sederhana. Seperti kau meniup gelembung sabun. Kau tiup, gelembung penuh warna muncul. Kau cukup hadir dan menemaninya, maka dia akan tertawa. Tapi kalau dia sudah merasa kehilangan… itu seperti gelembung yang pecah sebelum sempat disentuh. Tak ada yang bisa kau selamatkan selain kepedihan yang tersisa di udara.”
Naru tahu, Nuha bukan gadis yang mudah menuntut. Tapi sekali hatinya terluka, luka itu menahun menjadi duri yang tak bisa dicabut.
.
.
.
. ~Bersambung...
siapa nih? mantan? saudara? musuh? orang random yang tiba-tiba jadi penting? PLOT TWIST PLS???!!
Overthinking-nya udah level hard “aku nggak pantas jadi manusia di ruangan ini” 😭😭
Tapi dia berani nggak ya keluar rumah? Kalau dia drop lagi gimana? 🥺
HELLOOO??? /Curse//Curse//Curse/
Emoji otak ku: 🤨➡️🤯➡️😵💫
Overthinking ku udah bikin teori 50 scene berbeda yang bakal kebongkar 👍
INI SIH SERANGAN NINJA YANG SANGAT TENANG TAPI MENGHANCURKAN.
That’s not a gift. That’s a bomb.