Hanabi di bunuh oleh wakil ketua geng mafia miliknya karena ingin merebut posisi Hanabi sebagai ketua mafia dia sudah bosan dengan Hanabi yang selalu memerintah dirinya. Lalu tanpa Hanabi sadari dia justru masuk kedalam tubuh calon tunangan seorang pria antagonis yang sudah di jodohkan sejak kecil. Gadis cupu dengan kacamata bulat dan pakaian ala tahun 60’an.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Malam pertama seharusnya menjadi malam paling romantis bagi pasangan yang baru menikah—malam di mana cinta disatukan, bukan dipatahkan. Tapi tidak bagi Stella Vionetta.
Di kamar pengantin yang penuh bunga mawar dan cahaya redup, Stella duduk di tepi ranjang, masih mengenakan gaun putih satin yang kini terasa seperti ejekan. Wajahnya memerah bukan karena malu, melainkan karena amarah yang menumpuk.
“Dasar laki-laki gak punya hati!” gumamnya, menggigit bibir kesal. Ia menatap cermin besar di depannya, melihat bayangan dirinya sendiri—sempurna dari luar, tapi kosong di dalam.
Jam di dinding berdetak keras, menegaskan kesepian yang menggerogoti pikirannya. Arland tak kunjung kembali sejak pesta usai. Awalnya Stella berpikir suaminya hanya butuh udara segar.
Tapi kemudian, salah satu pelayan yang tak sengaja lewat di koridor membocorkan kabar yang membuat darahnya mendidih.
“Tuan Arland pergi, Nyonya… katanya mau ketemu teman-temannya di club.”
Stella terdiam beberapa detik, mencoba mencerna kata-kata itu. Lalu, dengan wajah tegang ia bangkit berdiri dan menendang vas bunga di dekat ranjang hingga pecah berantakan.
Pyar!!!
“Hebat banget, Arland,” ucapnya dingin. “Malam pertama pernikahan lo, lo malah pesta di bar. Lo pikir gue gak pantas buat lo, hah?”
Sementara itu, di sisi lain kota—lampu-lampu neon club berkilau. Arland duduk di VIP lounge bersama teman-teman kuliahnya, segelas whiskey di tangan, senyum miring di bibirnya. Musik keras, tawa berbaur dengan aroma alkohol dan parfum mahal.
Tapi di balik tawa itu, ada sorot mata kosong. Ia menatap cairan keemasan di gelasnya sambil bergumam lirih,
“Maaf, Ra… gue gak tahu harus gimana lagi.”
Lampu club malam itu berpendar liar, musik berdentum, dan suasana makin riuh saat pintu VIP terbuka lebar. Semua kepala menoleh.
Stella berdiri di ambang pintu — masih dengan gaun pengantinnya yang kini sedikit kusut, rambutnya terurai acak, wajahnya memancarkan amarah dan luka yang ditahan. Di tangannya, sepatu hak tinggi ia genggam erat, seperti siap melemparkannya ke wajah siapa pun yang menantang.
Beberapa pengunjung langsung berbisik pelan.
“Itu… bukannya istri barunya Arland Gavintara?”
“Gila, dia datang ke club pakai gaun pengantin?”
Arland yang sedang duduk di sofa kulit hitam bersama teman-temannya menoleh malas. Seketika, ekspresinya berubah datar—campuran kaget dan kesal.
“Arland!!” teriak Stella dari tengah ruangan, suaranya menembus dentuman musik.
Semua mata kini tertuju pada mereka. DJ menghentikan lagu secara spontan, dan suasana menjadi hening tegang.
Stella berjalan cepat menghampiri Arland, langkahnya penuh emosi.
“Gue nyari lo dari tadi! Malam ini seharusnya malam pertama kita, tapi lo malah—”
“Cukup, Stella.” potong Arland dingin, berdiri dengan wajah menegang. “Lo bikin malu sendiri.”
“Malu??” Stella tertawa getir. “Lo ninggalin istri lo sendirian di kamar pengantin dan malah mabuk di sini, terus lo bilang gue yang bikin malu?!”
Arland menatapnya dengan sorot tajam. “Gue udah bilang dari awal, pernikahan ini gara-gara drama murahan lo. Sekarang gue udah wujudin drama lo ini dan jangan pernah berharap gue bakal jatuh cinta sama lo. Apalagi jadi suami lo.”
Bisik-bisik langsung memenuhi ruangan. Beberapa orang menahan napas. Stella terdiam sejenak — matanya membulat tak percaya, air mata mulai menggenang tapi amarah menahannya untuk jatuh.
“Jadi gitu, Land?” suaranya bergetar tapi tajam. “Lo pikir lo bisa memperlakukan gue kayak sampah setelah semua yang gue korbankan buat lo?”
Arland tersenyum miring, lalu menatapnya dari ujung kaki sampai kepala.
“Korbanin apa? Diri lo sendiri? Lo pikir gue minta lo?”
Plaaakk!!!
Satu tamparan keras mendarat di pipi Arland, membuat semua orang terkejut. Stella gemetar—antara marah dan hancur.
“Lo akan nyesel, Arland,” ucap Stella lirih, tapi cukup keras untuk semua orang dengar.
Tanpa menunggu jawaban, Stella berbalik pergi, gaunnya terseret di lantai yang penuh pecahan kaca dan botol.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Kamar pengantin yang semestinya jadi tempat bahagia kini sunyi dan penuh ketegangan. Gaun putih Stella tergantung di kursi, kotor dan kusut. Wajahnya masih memerah karena amarah bercampur air mata yang belum sempat kering.
Cermin di depannya memantulkan sosok perempuan yang tampak hancur — tapi di balik tatapan matanya, muncul kilatan sesuatu yang jauh lebih gelap.
“Lo masih mikirin Moira ya, Land…” gumam Stella pelan sambil menatap pantulan dirinya sendiri. “Lo gak pernah bener-bener ninggalin dia, kan?”
Tangannya mengepal, kuku-kuku panjangnya menancap di telapak tangan hingga meninggalkan bekas.
“Gue gak bakal biarin Moira terus menghantui lo,” suaranya pelan, tapi dingin dan terkontrol. “Kalo cinta gak bisa bikin lo milih gue, maka tanggung jawab yang bakal bikin lo tetap di sisi gue.”
Stella menatap meja di dekat tempat tidur, tempat segelas minuman dan beberapa pil kecil tersusun rapi. Bibirnya tersenyum samar—senyum yang menandakan niat yang tak lagi murni.
“Lo harus punya alasan buat gak ninggalin gue, Land,” ucapnya lirih sambil mengambil salah satu pil itu. “Dan gak ada alasan yang lebih kuat dari… anak.”
Ia duduk di tepi ranjang, menatap ke arah pintu kamar yang masih terbuka, seolah membayangkan sosok Arland berdiri di sana.
“Lo pikir lo bisa bebas dari gue?” Stella berbisik pelan. “Gue bakal pastiin lo terikat sama gue seumur hidup. Gue bakal jadi nyonya Gavintara yang sesungguhnya… dan Moira?” — Stella tersenyum miring — “dia bakal gue hancurin pelan-pelan sampai gak ada yang tersisa.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Udara di ruangan itu berat, lembap, dan berbau besi karat. Lampu neon bergetar lemah, membuat bayangan di dinding bergerak pelan seperti makhluk hidup.
Gentha duduk tenang di depan Jackson yang terikat di kursi logam, tangan kirinya memainkan belati kecil — ujungnya menari pelan di atas meja, menimbulkan suara tik… tik… tik… yang ritmis tapi mengancam.
Jackson menatapnya dari balik mata sayu dan wajah pucat. Nafasnya tak beraturan, keringat menetes di pelipis. Ia sudah tak tahu lagi berapa lama berada di ruangan itu. Tak ada jam, tak ada hari. Hanya cahaya dingin dan tatapan pria di depannya.
“Lucu,” suara Gentha terdengar pelan namun menusuk. “Setiap kali gue tutup mata, gue selalu denger suara api, teriakan nyokap gue, bokap gue, adik gue…”
Ia berhenti sejenak, menatap kosong ke dinding. “Dan lo tau apa yang paling nyakitin? Gue gak bisa lupain baunya. Bau daging kebakar. Itu… terus nempel di kepala gue.”
Jackson menelan ludah. “Gue—gue gak tau apa-apa soal itu, Tha. Sumpah—”
Tik… tik… tik…
Belati itu kini berputar di antara jari Gentha, pantulan logamnya menyilaukan mata Jackson.
“Gue tahu ada dua orang… Razka dan salah satunya punya tato naga di pergelangan tangan kanan.”
Tatapan Gentha membara. “Dan lo punya tanda itu, Jack.”
Jackson refleks menutup pergelangan tangannya dengan cepat, tapi terlambat. Gentha sudah melihat.
Keheningan menelan ruangan.
Hanya suara napas Jackson yang berat dan goyah.
Jackson menunduk, bahunya gemetar. “Itu cuma urusan bisnis. Gue disuruh lakuin tugas gue.”
Gentha tersenyum samar — tapi bukan senyum manusia yang wajar.
“Siapa yang udah nyuruh lo dan siapa saja yang terlibat dengan pembunuhan keluarga gue?”.
Jackson tak menjawab. Napasnya berat, seolah setiap kata yang ingin keluar berubah jadi batu di tenggorokannya.
“Lo takut sama siapa, Jack?” bisik Gentha, mencondongkan tubuh. “Sama orang yang nyuruh lo, atau sama gue yang sekarang duduk di depan lo?”
Keheningan memanjang. Suara lampu neon yang berdengung jadi satu-satunya saksi.
Lalu, dari bibir Jackson yang gemetar, keluar nama itu — pelan, tapi cukup jelas.
“…T-tuan Gavintara, Tuan E—
Doorr!!
Kepala Jackson tertembak oleh senjata api entah darimana peluru tersebut tubuhnya terhuyung ke depan sebelum ambruk di kursi, mata terbelalak kosong.
“BANGSATTTT!!!! BAJINGAN!!! Siapa yang nembak Jackson!!”
Gentha meraung, umpatan keluar kasar dari bibirnya.
Reno, Rio,Bima,Kiko, dan Danu menerjang masuk — gerak mereka cepat, panik namun terlatih. Mereka memeriksa tiap sudut, menyorot dengan senter, menendang kotak besar. Tidak ada jejak orang yang baru saja menembak. Tidak ada orang lain selain mereka, tidak ada kaki yang terlacak di debu — seolah peluru itu muncul dari udara dan kembali ke kegelapan.
Di tengah kegaduhan, Moira berdiri kaku, napasnya terengah. Matanya menatap mayat Jackson yang roboh.
“Ada seseorang yang udah tahu kalo Jackson ada bersama kita..”ucap Moira dingin.
Reno mengoyang-goyang tubuh Jackson, mencari tanda-tanda kehidupan, lalu menatap Gentha dengan panik “Tha… dia—dia udah—”
Gentha menampar meja sampai bunyi dentumannya bergema, lalu menatap tiap orang di ruangan itu satu per satu. “Dengerin! Cek cctv pengawas dan cek jalan ke gudang? Semua pintu? Semua channel pengintai? Jangan ada yang kelewatan sedikit pun.”
Sedang Moira, yang matanya merah karena amarah dan kehilangan, berdiri menatap pintu gudang. Ada sesuatu yang lain di sana — bukan hanya dendam pribadi lagi, tapi permainan yang jauh lebih besar. “Ini bukan cuma tentang pembalasan lagi,” gumamnya pada diri sendiri, suaranya rendah. “Seseorang baru saja mengubah aturan main.”
apa alter ego nya atau gimana neh... tapi kaya nya mulai keluar ya thor alter ego nya.. asikkkk ada yg suka darah 🤭🤭
ya kasih 1 lah Thor alter ego nya utk hanabi / moira😍😍😍
, neng red dan neng winter😂😂😂
lanjutkan lagi thor... 😍😍