NovelToon NovelToon
Jangan Pernah Bersama

Jangan Pernah Bersama

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Kelahiran kembali menjadi kuat / Romansa / Reinkarnasi / Mengubah Takdir
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: Anastasia

Clara Moestopo menikah dengan cinta pertamanya semasa SMA, Arman Ferdinand, dengan keyakinan bahwa kisah mereka akan berakhir bahagia. Namun, pernikahan itu justru dipenuhi duri mama mertua yang selalu merendahkannya, adik ipar yang licik, dan perselingkuhan Arman dengan teman SMA mereka dulu. Hingga suatu malam, pertengkaran hebat di dalam mobil berakhir tragis dalam kecelakaan yang merenggut nyawa keduanya. Tapi takdir berkata lain.Clara dan Arman terbangun kembali di masa SMA mereka, diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya… atau mengulang kesalahan yang sama?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 28.Keluar.

Clara berdiri tegak di ambang pintu kamar itu, koper kecil di tangan kirinya, dan pandangan tajam menembus ke arah ayahnya. Air matanya sudah lama kering yang tersisa hanya keberanian dan kemarahan yang selama ini ia tahan.

“Ayah pikir aku nggak tahu semuanya?” suaranya bergetar tapi tegas. “Ayah pikir aku buta atau bodoh? Tidak perlu di tutupi lagi yah. ”

Lukman menatap anaknya tak percaya. “Clara! Jaga ucapanmu!Ayah bisa jelaskan,walaupun Desi memang putri ayah tapi kamu putri yang ayah sayangi. ”

Clara menatapnya dengan mata berkaca, tapi tak ada lagi ketakutan di sana. “Aku tidak butuh penjelasan ayah lagi,putri yang ayah sayangi seperti apa?yang ayah tinggal dan pulang malam, putri yang ayah abaikan selama ini. Menurutku kata ayah itu ditunjukkan untuk Desi.”

Tamparan suara itu lebih keras dari amarah mana pun.

Lukman membeku, wajahnya memucat, sementara Luna berdiri di sisi Clara, menatap anaknya dengan perasaan campur aduk antara bangga dan cemas.

“Cukup, Clar,” ucap Luna pelan. “Mama bisa urus ini.”

“Tapi Ma, ayah sudah terlalu sering bikin Mama diam,” Clara menatap ibunya. “Kali ini, biar aku yang bicara.”

Ia menatap lagi ke arah ayahnya. “Ayah selalu bilang keluarga itu segalanya, tapi yang ayah jaga cuma ego ayah sendiri. Mama bertahan bertahun-tahun, bukan karena takut kehilangan ayah, tapi karena ingin aku masih punya sosok ayah. Tapi sekarang aku sadar… lebih baik nggak punya ayah daripada punya yang seperti dirimu.”

Lukman menggertakkan gigi, suaranya mulai meninggi. “Kamu pikir kamu sudah dewasa, hah? Kamu tahu apa tentang hidup, tentang rumah tangga, tentang—”

“Tentang diselingkuhin?” potong Clara cepat, nadanya dingin. “Tahu. Aku tahu dari Mama, dari caranya tiap malam nunggu ayah pulang tapi yang datang cuma sunyi. Aku tahu dari matanya yang sembab tapi tetap tersenyum tiap aku tanya ‘ayah di mana’. Aku tahu dari semua luka yang ayah tanam tapi Mama tutupi biar aku nggak sedih.”

Sunyi menggantung di udara.

Lukman kehilangan kata.

Untuk pertama kalinya, ia melihat sosok kecil yang dulu selalu memeluknya setiap kali ia pulang kerja, kini berdiri di hadapannya sebagai seseorang yang tak lagi takut.

Luna menatap Clara perlahan, matanya mulai basah.

“Clar…,” suaranya lirih. “Terima kasih, tapi Mama nggak mau kamu terbawa dalam masalah ini.”

Clara menggenggam tangan ibunya kuat-kuat. “Ma, justru karena aku sayang Mama, aku nggak bisa diem lagi. Kita udah cukup menderita di rumah ini. Udah saatnya kita keluar, Ma.”

Lukman melangkah maju, suaranya rendah tapi bergetar menahan emosi.

“Kalau kalian keluar malam ini, jangan pernah kembali lagi.Jika kalian keluar dari rumah ini, kalian bukan siapa-siapa tanpa keluarga moestopo dalam bayang kalian.”

Clara menatapnya tanpa gentar. “Ayah nggak perlu khawatir. Kami nggak akan bertahan hidup tanpa ayah. ”

Ia menarik koper, lalu meraih tangan ibunya. Luna sempat ragu sejenak, tapi melihat keberanian putrinya membuat langkahnya menguat. Ia menatap Lukman untuk terakhir kalinya.

“Lukman,” ucapnya lirih namun pasti, “aku dulu mencintaimu dengan sepenuh hati. Tapi cinta nggak bisa hidup di antara kebohongan dan pengkhianatan. Mungkin di luar sana aku harus mulai dari nol, tapi setidaknya aku akan hidup dengan damai.”

Setelah mengucapkan itu Luna membawa koper yang sudah ia siapkan jauh-jauh hari, dan ini saatnya ia harus pergi dari rumah ini.

Mereka berdua berjalan menuruni tangga sambil membawa koper mereka.

Lukman hanya diam, berdiri mematung di depan pintu kamar dengan wajah penuh bayangan menyesal, tapi egonya menahannya untuk memanggil mereka kembali.

Suara koper berderak di lantai marmer, langkah mereka berpadu dengan suara hujan yang mulai turun di luar.

Clara membuka pintu depan, menoleh sebentar ke dalam rumah yang dulu terasa hangat tapi kini hanya menyisakan dingin dan kenangan.

“Mari, Ma,” katanya lembut. “Kita mulai hidup baru tanpa ayah.”

Luna mengangguk, menatap wajah putrinya dengan senyum tipis yang akhirnya tulus. “Iya, Nak. Ayo kita pergi,mama juga sudah muak hidup dengan sebagai nyonya Moestopo seperti boneka.”

Mereka melangkah keluar ke dalam hujan malam dua perempuan yang akhirnya berani meninggalkan masa lalu mereka.

Di balik jendela, Lukman masih berdiri di tempat yang sama, menatap pintu yang kini tertutup rapat.

Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasakan apa arti kehilangan.Lukman marah dan mengamuk, membanting semua barang yang ada dirumahnya bahkan foto keluarga mereka ia hancurkan.

Mobil hitam yang dikendarai Luna melaju pelan di bawah rintik hujan yang semakin deras. Wiper bergerak ritmis, menyapu air yang menempel di kaca depan, sementara lampu jalan memantulkan bayangan cahaya ke wajah Clara yang termenung di kursi penumpang.

Tak ada suara di dalam mobil, hanya desah napas pelan dan bunyi hujan yang menimpa atap logam.

Luna menatap jalan lurus ke depan, jemarinya menggenggam kemudi erat. Ia menelan air liur, mencoba menenangkan detak jantungnya yang belum juga tenang sejak mereka meninggalkan rumah keluarga Moestopo.

“Kamu yakin dengan keputusan ini, Clar?” suaranya nyaris tenggelam di antara suara hujan.

Clara menatap ibunya dengan mata yang masih merah tapi mantap. “Aku yakin, Ma. Kita nggak bisa terus hidup di bawah bayang-bayang Ayah. Mama pantas bahagia, pria seperti ayah tidak pantas untuk mama.”

Luna menatap sekilas ke arah anaknya dan tersenyum tipis. “Anak Mama udah dewasa sekarang.”

Sambil tersenyum dalam renungan nya sambil menatap kearah Luna, Bukannya sudah dewasa ma, tapi aku memang pernah merasakan rasa pahit itu seperti yang mama rasakan sekarang.

Clara menoleh ke jendela, melihat cahaya lampu toko yang memantul di genangan air. “Kita mulai dari nol ya, Ma… tapi kali ini, bukan karena kita kalah. Tapi karena kita milih untuk bebas dan bahagia.”

Mobil itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah kecil berwarna krem muda di kawasan pinggiran kota. Hujan mulai mereda menjadi gerimis. Rumah itu sederhana, tapi tampak hangat dengan jendela kayu, pagar rendah, dan halaman kecil dengan pot bunga.

Luna menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu. “Ini dia, rumah baru kita.”

Clara membantu ibunya menurunkan koper. Mereka berdua berdiri sejenak di depan rumah itu, menatap pintunya seolah sedang menatap masa depan yang baru yang sudah berubah.

“Kapan mama menyewanya?. ”

“Kemarin mama sudah dihubungi oleh pemilik rumah, dan kita mendapatkan harga yang lumayan murah. ”

“Kita beruntung ya ma! ”

Luna mengeluarkan kunci, memutarnya perlahan, dan pintu pun terbuka dengan suara “klik” lembut.

Aroma kayu tua menyambut mereka. Tak ada perabotan mewah, hanya ruangan bersih dengan lantai ubin putih dan tirai krem yang menggantung sederhana. Tapi bagi keduanya, tempat itu terasa jauh lebih hidup dibanding rumah megah yang baru saja mereka tinggalkan.

Clara memandang sekeliling, lalu tersenyum. “Aku suka tempat ini, Ma.”

Luna menatap putrinya dan tersenyum tipis. “Aku juga. Akhirnya… kita bisa bernapas.”

Namun di luar sana, tak jauh dari rumah itu, suara deru mesin motor terdengar mendekat.

Sebuah motor gede berwarna hitam berhenti di depan rumah kosong di seberang jalan rumah milik keluarga Finn. Pengendaranya menurunkan kaca helm, memperlihatkan wajah muda dengan sorot mata tajam di balik basahnya hujan malam.

Finn menyipitkan mata, menatap ke arah rumah kontrakan di seberang. Lampu depan mobil Luna masih menyala, dan ia bisa melihat dua sosok wanita baru saja masuk ke dalam rumah itu. Ia mengenali salah satunya.

“Clara…?” gumamnya pelan, nyaris tak percaya.

Finn mematikan mesin motornya, berdiri di tempat sambil memperhatikan dari balik helm. Hatinya berdegup cepat bukan karena kaget, tapi karena sesuatu di dalam dirinya terasa bergetar.

Ia meraih ponsel dari saku jaket kulitnya, menatap layar beberapa detik, tapi tak jadi menekan nomor apa pun. Ia malah menarik napas panjang, memandang rumah itu sekali lagi.

“Kenapa mereka datang malam-malam?” bisiknya lirih.

Setelah beberapa detik, Finn menaiki motornya lagi dan menyalakan mesin. Suara knalpotnya menggema di jalanan yang mulai sepi. Ia berbalik arah, menuju rumah besar milik kakeknya di ujung jalan rumah keluarga Morgan, yang selama ini juga punya hubungan bisnis dengan keluarga Moestopo.

Begitu sampai, Finn menurunkan motornya di garasi dan berjalan cepat masuk ke ruang tamu.

Kakeknya, Morgan, duduk di kursi panjang dengan koran terbuka di tangan, tapi matanya langsung terangkat begitu melihat cucunya masuk dengan wajah serius.

“Ada apa, Finn? Mukamu tegang sekali,” tanya sang kakek pelan.

Finn menurunkan helmnya ke meja, suaranya berat dan tegas. “Kek, aku baru lihat mobil parkir di depan rumah kosong di seberang,rumah kontrakan yang dulu. Dan aku yakin… yang baru pindah itu Clara Moestopo sama ibunya.”

Koran di tangan Morgan terjatuh. Tatapan tuanya langsung berubah dingin, tapi juga penuh tanda tanya.

“Luna dan anaknya… memang mau pindah cepat,lalu kenapa mereka pindah malam-malam seperti ini?” katanya perlahan.

Finn mengangguk. “Sepertinya begitu. Mereka datang malam-malam, bawa koper. Aku nggak tahu apa yang terjadi, Kek. Tapi rasanya… ini bukan hal kecil.”

Arsan bersandar ke kursinya, wajahnya perlahan menegang. Ia menatap cucunya tajam.

“Sebaiknya kita jangan ikut urusan mereka.”

Finn terdiam, pikirannya melayang ke wajah Clara yang tadi ia lihat sekilas di balik kaca mobil.

Entah kenapa, perasaan khawatir bercampur penasaran mulai tumbuh di hatinya perasaan yang akan menyeretnya ke dalam kisah yang jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan.

1
Putri Ana
lanjutannya thorrrr 🙏🙏🙏🙏🙏💪🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏
Putri Ana
thorrr lanjuttttt dong.🤭
Putri Ana
lanjutttt thorrr 😭😭😭😭😭😭😭
penasaran bangetttttttt🤭
Putri Ana
bagussss bangettttt
Putri Ana
lanjutttttttttytttttttttt thorrrrr
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!