Cerita ini untuk pembaca dewasa. Baca dengan bijak❗
Cherry Gabriella mengambil satu keputusan nekat yang mengubah seluruh hidupnya, menjadi ibu pengganti bagi pewaris berhati dingin, Trevor Spencer.
Namun, ketika bayi mungilnya lahir, Cherry tak sanggup menyerahkan darah dagingnya, meski harus diburu oleh pria yang bisa membeli segalanya… bahkan nyawanya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15
Semuanya perlahan kembali seperti semula. Trevor sudah mulai berangkat kerja lagi karena lukanya semakin membaik, dan ia merasa sudah cukup kuat untuk kembali ke rutinitas. Sementara itu, Cherry sibuk mempersiapkan diri menghadapi ujian akhir kuliahnya.
Cherry tidak mau gagal. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Trevor, meski di hatinya ia tahu, Trevor hanya memberinya itu sebagai cara untuk menjauhkannya suatu hari nanti.
Namun, pikiran Cherry terus dipenuhi kegelisahan. Apa yang akan ia lakukan setelah lulus nanti? Jika rencananya berhasil, mungkin ia masih bisa tetap bersama Arnold. Tapi, apakah Trevor akan mengizinkannya bekerja? Atau justru tetap mengurungnya di Masion besar ini?
Cherry mengerti alasan Trevor. Situasi semakin berbahaya sejak musuh-musuh lama kembali muncul. Selama lima tahun mereka menghilang tanpa jejak, dan kini tiba-tiba muncul lagi untuk menimbulkan masalah. Seandainya saja mereka tidak pernah kembali…
Meski waktu sudah berlalu, Cherry masih menyimpan rasa takut. Orang-orang itu sangat ingin membunuh Arnold, hal yang paling Cherry takuti di dunia ini.
Tiba-tiba, suara tembakan terdengar dari luar. Jantung Cherry langsung berdegup kencang.
Arnold!
Ia segera berlari keluar kamar menuju kamar Arnold.
“Mama!” pekik Arnold, langsung memeluk Cherry erat-erat.
“Sstt… jangan takut, Nak. Mama di sini,” ucap Cherry menenangkan.
“Ada apa, Ma?” suara Arnold bergetar.
“Tenang, Papamu sebentar lagi datang,” jawab Cherry, mencoba terdengar yakin.
Suara tembakan kembali terdengar. Cherry cepat-cepat menutup telinga Arnold dan mendekapnya lebih erat.
“Itu suara tembakan ya, Ma?” tanya Arnold.
Cherry terkejut. “Dari mana kamu tahu itu?”
“Aku pernah lihat di kantor Papa. Papa bilang pistol kalau ditembakkan suaranya keras sekali. Itu suara pistol kan, Ma?” tanya Arnold polos.
Cherry mendesah dalam hati. Kenapa Trevor memberitahunya hal seperti itu? Arnold masih terlalu kecil.
“Iya,” jawab Cherry akhirnya.
“Aku takut, Ma. Papa bilang itu berbahaya, bisa melukai orang, bisa membunuh…” bisik Arnold, semakin erat memeluk ibunya.
“Tenang sayang, Mama akan melindungimu.” Cherry mengangkat Arnold ke gendongannya.
Mereka segera menuju Ruangan kantor Trevor. Cherry menaruh Arnold di bawah meja, lalu membuka kabinet tersembunyi di sana. Matanya membulat saat melihat sebuah pistol di dalamnya. Dengan tangan bergetar, Cherry mengambilnya.
“Kamu tetap di sini, jangan keluar. Tunggu Papa datang,” ujar Cherry tegas.
“Mama jangan keluar, Ma! Kan ada banyak penjaga. Mereka bisa kalahkan orang jahat. Mama nggak usah ikut-ikutan,” Arnold menahan tangan Cherry erat.
Cherry tersenyum tipis, mengusap wajah putranya. “Mama cuma mau cek sebentar. Mama janji balik. Kamu janji juga jangan keluar, ya?”
Arnold mengangguk, meski wajahnya tegang. “Tapi Mama harus cepat.”
“Pasti,” jawab Cherry, lalu mengecup keningnya.
Ia berdiri dan keluar, lalu mengunci pintu dari luar. Setelah itu, Cherry berlari ke kamar Arnold dan menguncinya dari dalam. Ia harus mengalihkan perhatian para penyerang agar Arnold punya waktu sampai Trevor datang.
Suara teriakan terdengar dari bawah, bercampur dengan rentetan tembakan. Cherry menahan napas, hatinya ciut mendengar pembantu-pembantu rumah berteriak minta tolong.
“Oh, lihat siapa ini… wanita jalang yang familiar.”
Cherry menoleh. Seorang pria berdiri di tangga, menyeret seorang pembantu dengan rambut yang dijambaknya. Cherry mengenal wajah itu, dialah orang yang menodongkan pistol padanya Empat tahun lalu.
“Maaf, Nyonya…” suara pembantu itu lirih, penuh tangis.
“Itu kamar anaknya?” tanya pria itu dingin.
Pembantu itu terisak, menunduk ketakutan.
“Jawab!” bentak pria itu, menodongkan pistol ke kepalanya.
“I-iya… tolong jangan bunuh saya,” pintanya putus asa.
Pria itu menoleh, menatap pintu kamar Arnold di belakang Cherry. Ia menyeringai. Namun, sebelum sempat melangkah, Cherry sudah mengangkat pistol dan menodongkannya.
“Pergi dari sini!” seru Cherry dengan suara bergetar.
Pria itu tertawa dingin. “Kamu ibunya anak Trevor, ya?”
“Siapa kalian?” Cherry menahan napas.
“Jadi benar kau dia. Kupikir Trevor cuma menjadikanmu alat untuk melahirkan. Tapi ternyata kamu masih ada di sini, hidup nyaman di mansion, membentuk keluarga bahagia dengan Trevor dan anaknya. Hah, sungguh tidak adil. empat tahun kami berjuang membangun organisasi yang hancur karena sabotase Trevor, sementara kalian bersenang-senang di sini?” ucapnya sarkastis, suaranya penuh kebencian.
“Apa salah anakku pada kalian? Dia masih kecil, polos, tidak tahu apa-apa. Kenapa kalian ingin menyakitinya?” tanya Cherry, matanya berkaca-kaca.
“Kesalahan anakmu adalah karena dia lahir. Lahir sebagai pewaris Trevor.”
Cherry menggenggam pistol erat, tangannya bergetar hebat. Ia tidak tahu cara memakainya, tapi harus berpura-pura berani.
Pria itu mendengus. “Tanganmu gemetar. Kamu tidak tahu cara pakai pistol itu, kan? Mau kuajari? Pertama kamu kokang, lalu tarik pelatuk seperti ini--”
Dor!
Pria itu menembak kepala pelayan yang disanderanya. Tubuh sang pelayan jatuh begitu saja di lantai. Darah muncrat, sebagian mengenai Cherry.
Cherry membeku, tubuhnya gemetar hebat. Inilah pertama kalinya ia menyaksikan seseorang tewas tepat di depan matanya.
Pria itu, yang disebut Reno, melangkah maju. Cherry terpaksa mundur, menodongkan pistol meski tangannya bergetar hebat.
Tiba-tiba, seorang pria lain datang dengan napas terengah. “Reno! Kita harus pergi sekarang. Trevor sedang dalam perjalanan ke sini!”
“Sial! Hadang dia!” bentak Reno.
“Tidak bisa! Banyak dari kita sudah mati melawan penjaga Trevor. Jumlah kita tersisa sedikit. Apalagi kami dengar Edwin juga ikut bersama Trevor.”
Reno mendecih marah. “Sial! Setidaknya ambil anaknya! Kakakku akan murka kalau kita pulang dengan tangan kosong!”
Keduanya menatap Cherry, lalu perlahan mendekat.
“Jangan mendekat, atau aku tembak!” ancam Cherry, suara seraknya nyaris pecah.
“Tangkap perempuan itu!” perintah Reno.
“Tapi dia pegang pistol…” lelaki itu ragu.
“Dasar bodoh! Dia bahkan nggak tahu cara pakainya. Cepat singkirkan dia dari pintu!” bentak Reno.
Pria itu mendekat. Cherry panik. Refleks, ia menarik pelatuk.
Dor!
Peluru menembus dada pria itu. Darah menyembur, tubuhnya jatuh berlutut lalu ambruk di depan Cherry.
Cherry terpaku. Ia baru saja… membunuh seseorang. Tangannya gemetar tak terkendali.
“Sialan!” Reno menggeram marah, lalu mencoba membuka pintu kamar Arnold. “Terkunci!”
Cherry cepat-cepat kembali menodongkan pistol. “Jangan… jangan sentuh pintu itu! Pergi dari sana!”
Reno meliriknya, senyumnya menyeramkan. “Kalau aku tidak bisa mendapatkan anak Trevor, aku akan membawamu saja.”