"Aku mau jadi Istri Om!" kalimat itu meluncur dari bibir cantik Riana Maheswari, gadis yang masih berusia 21 Tahun, jatuh pada pesona sahabat sang papa 'Bastian Dinantara'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Galuh Dwi Fatimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Om Bas..
Sementara itu, di tempat lain…
Bastian duduk di ruang kerjanya, laptop menyala. Ponselnya berbunyi ting!
“Hm?” Ia membuka notifikasi. Sebuah like baru muncul di fotonya. Nama yang muncul, Riana Maheswari.
Alisnya terangkat tipis. “Riana… anaknya Raden?” gumamnya, sedikit terkejut.
Ia menatap foto profil gadis itu, memperbesar. Foto wisuda, senyum cerah.
Bastian menghela napas pendek, tapi senyum samar muncul di ujung bibirnya.
“Anak ini… ngelike foto lama pula,” ujarnya kecil.
Kembali ke Riri
“Duh, jangan-jangan Om Bastian liat like gue,” Riri menatap layar dengan panik.
Ia menggigit bibir bawahnya.
“Ah enggak lah… masa iya orang sibuk kayak dia mantengin notif,” ujarnya menepis kekhawatiran sendiri.
Tapi kemudian, notifikasi muncul:
“Bastian Dinantara mulai mengikuti kamu.”
“HAH!” Riri menjerit kecil dan menutup mulutnya sendiri.
“Om Bastian… follow gue balik?” matanya membulat.
Deg… jantungnya berdetak cepat.
Riri kembali menatap layar ponselnya, masih tak percaya dengan apa yang ia lihat.
“Gak salah nih, Om Bastian… follow gue?” bisiknya pelan, seolah takut kalau kata-katanya terdengar oleh dinding kamar.
“Duh, jangan panik, Ri… biasa aja… biasa aja,” ia menepuk pipinya sendiri, mencoba menenangkan diri.
Ting!
Notifikasi DM masuk.
“HAH??! DM??!” Riri langsung duduk tegak, mata membesar. Dengan jari gemetar, ia membuka pesan itu.
---
Bastian:
Malam, Riana.
---
Riri menatap layar beberapa detik.
“Ya ampun, Om Bastian beneran nge-chat gue… gimana nih jawabnya… harus sopan, harus cool,” gumamnya panik.
Akhirnya ia mengetik:
---
Riri:
Malam juga, Om 😊
---
Beberapa detik kemudian… typing…
---
Bastian:
Tadi like foto saya yang di Santorini, ya?
---
Riri menjerit kecil sambil menutup muka dengan bantal.
“Om Bastian NGEH!! Aduh malunyaaa 😭”
Ia menggulir ke atas, memastikan fotonya.
“Iya bener… itu foto tahun lalu lagi…” gumamnya.
Setelah tarik napas panjang, ia membalas dengan hati-hati.
---
Riri:
I-iya Om 😅 nggak sengaja kepencet. Lagi liat-liat aja… hehe.
Bastian:
Gak apa-apa, Jarang ada yang perhatiin foto lama.
Kamu suka traveling juga?
“Om Bastian nanya balik?? Ya ampun…” Riri menggigit ujung bantal, berusaha menahan teriakan hebohnya sendiri.
Riri:
Suka sih Om, tapi belum pernah ke luar negeri. Paling jauh juga ke Bali.
Bastian:
Bali juga bagus.
Kalau ada kesempatan, kamu harus coba traveling lebih jauh. Banyak hal menarik yang bisa dilihat.
Riri tak berhenti tersenyum membaca balasan itu.
“Om Bastian ngomongnya elegan banget… kayak karakter cowok di drama Korea…”
Riri:
Iya Om… siapa tahu nanti ada rezeki bisa keliling dunia juga.
Bastian:
Siapa tahu.
Hening sejenak. Riri menatap layar dengan pipi memanas. Ia tak menyangka percakapan sederhana itu bisa bikin jantungnya berdetak sekencang ini.
____
Sudah tiga hari sejak percakapan malam itu. Riri yang biasanya malas membuka chat, kini justru jadi orang pertama yang membuka DM Instagram setiap pagi. Berharap ada pesan baru yang bastian kirimkan, namun nihil takan ada pesan apapun lagi yang ia terima.
______
Raden menepuk bahu Bastian dengan tawa khasnya.
“Bas, lama nggak ngumpul ya. Minggu ini lo kosong nggak? Datang makan malam ke rumah gue ya, sekalian kitq ngobrol santai.”
Bastian sempat terdiam. Sudah lama ia tak datang ke rumah sahabat lamanya itu—rumah yang kini juga dipenuhi kehadiran seseorang yang beberapa hari ini mengusik pikirannya.
“Hmm… boleh, Den. Hari apa?”
“Jumat malam. Rumah gue juga sepi, ya paling cuma Riri sama ibunya.”
Bastian menelan ludah pelan. Nama “Riri” melintas cepat di pikirannya.
“Okelah,” jawab Bastian akhirnya. “Gue nanti datang.”
---
Jumat malam
Rumah keluarga Raden tampak hangat dengan lampu taman yang menyala lembut. Mobil Bastian berhenti di depan gerbang, dan suara satpam langsung menyapanya,
“Malam Pak Bastian, dipersilakan masuk. Pak Raden sudah nunggu di dalam.”
Bastian turun dari mobil dengan kemeja biru tua rapi, sedikit parfum elegan, dan rambut yang disisir klimis. Ia bukan datang untuk menggoda siapa pun, tapi entah kenapa… jantungnya sedikit lebih cepat dari biasanya.
Begitu masuk ruang tamu, Raden sudah berdiri sambil tersenyum lebar.
“Bas! Wah, masih kayak dulu aja, elegan banget lo!”
“Halah… lo aja yang makin kelihatan muda,” balas Bastian sambil tertawa. Mereka saling berpelukan sebentar, suasana hangat langsung terbentuk.
Mereka duduk di meja makan panjang yang sudah tertata rapi. Istri Raden, Rahayu menyapa sopan, “Bastian, makan malamnya sederhana aja ya. Kamu kan udah kayak keluarga kita sendiri.”
“Wah, terima kasih banyak, Ayu” jawab Bastian sopan.
Sementara itu, di lantai atas, Riri baru keluar dari kamar mandi dengan rambut masih dibungkus handuk. Ia tidak tahu sama sekali ada tamu. Saat mendengar suara ayahnya dan seorang pria dari bawah, ia sempat mengintip dari pegangan tangga.
Riri memicingkan mata.
“Suara itu… kayak… OM BASTIAN??!” bisiknya kaget.
Ia buru-buru mundur dan menutup pintu kamar pelan. Jantungnya berdetak tak karuan.
“Om Bastian… di rumah?? Kenapa Papa nggak bilang apa-apa!” gumamnya panik.
Di ruang makan, percakapan berjalan santai.
Raden bercerita tentang bisnisnya, tentang Riri yang sekarang sudah lulus kuliah, dan sesekali melempar gurauan masa muda mereka.
“Bas, ingat nggak waktu kita kabur dari kampus cuma buat nonton bola?”
“Wah, jangan diingetin lagi Den… kita hampir di-DO waktu itu,” jawab Bastian sambil tertawa keras.
Rahayu ikut tersenyum. “Kalian berdua kalau udah reuni, kayak anak muda lagi.”
Namun di sela tawa itu, Bastian kadang menatap ke tangga. Ia tahu Riri tinggal di atas. Ada rasa ingin dan rasa takut yang bersilangan.
___
Di kamarnya, Riri mondar-mandir seperti anak ayam kehilangan induk.
“Aduh… aku belum ganti baju. Masa turun pakai piyama gini…”
“Tapi… masa aku diem aja di kamar??”
“Papa juga keterlaluan, nggak kasih tahu kalau om Bastian mau datang…”
Ia berdiri di depan cermin, mengambil dress santai berwarna putih muda, lalu merapikan rambutnya tergesa-gesa. Pipinya sedikit diberi blush tipis, bibirnya diberi sedikit lip gloss.
“Aku cuma… turun… nyapa tamu… bukan karena Om…” katanya membela diri sendiri, padahal senyum kecilnya di depan cermin tidak bisa berbohong.
Di bawah, suara langkah kaki pelan terdengar dari tangga.
Bastian yang sedang meneguk air tiba-tiba menoleh.
Riri muncul.
Dress putih sederhana, rambut tergerai rapi, wajah segar.
Sejenak, waktu seperti melambat. Bastian membeku sesaat, tidak menyangka akan melihatnya dalam suasana seperti ini.
Raden langsung berseru, “Nah, itu dia anak gadisku! Riri, sini nak, Om Bastian datang.”
Riri berusaha bersikap biasa, padahal jantungnya hampir meloncat.
“Halo Om…” sapanya pelan sambil duduk di samping ibunya.
“Eh, Riri… hai,” jawab Bastian kaku, tapi matanya tidak bisa tidak memperhatikan detail kecil, cara Riri menunduk, bibirnya yang berkilat samar, dan aroma wangi lembut yang terbawa angin.
Rahayu tersenyum tipis melihat keduanya. Raden malah sibuk menuangkan sup ke mangkuk.
“Bas, kamu harus sering-sering mampir. Riri juga jarang ngobrol sama Om, padahal dulu waktu kecil kalau kita ketemu, dua maunya nempel terus.”
“Papaaa…” Riri melotot kecil, wajahnya merona.
Bastian menunduk sedikit dan tertawa kecil, mencoba tetap menjaga sikap.
“Dulu Riri masih bocah, Den… sekarang udah dewasa banget.”
Kalimat itu terdengar ringan, tapi Riri merasakannya berbeda.