Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.
Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.
Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.
Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Perasaan Resah
Alendra akhirnya tiba di rumah setelah seharian berada di sekolah. Hari ini ia memutuskan untuk tidak masuk kerja di café tempatnya biasa menjadi barista. Badannya masih terasa lemas, dan pusing yang ia rasakan sejak pagi tidak kunjung reda. Ia tahu, memaksakan diri hanya akan memperburuk keadaan. Maka dengan sedikit rasa bersalah, ia izin untuk tidak bekerja malam itu.
Begitu sampai di rumah, Alendra langsung menuju kamarnya. Ia rebahkan tubuhnya di atas ranjang, berharap bisa terlelap agar rasa sakit di kepalanya berkurang. Namun, kenyataannya ia tak bisa tidur. Matanya tetap terbuka menatap langit-langit kamar, pikirannya dipenuhi berbagai hal yang membuat dadanya semakin sesak.
Ucapan salah seorang temannya siang tadi masih terngiang di telinganya. “Len, gue lihat belakangan lo agak gemukan, ya?”
Kalimat itu terdengar ringan, bahkan bercanda, tapi bagi Alendra, hatinya langsung gelisah. Ia sendiri merasa ada yang berubah pada tubuhnya. Rasa pusing, mual di pagi hari, nafsu makan yang kadang melonjak aneh, bahkan perasaan cepat lelah yang terus ia rasakan beberapa minggu terakhir.
“Kenapa aku begini, ya…” gumamnya pelan, memeluk bantal dengan wajah muram.
Ia menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran yang membuatnya takut. Ia tak mau menaruh curiga lebih jauh. Ia terlalu takut untuk menyebutkan kemungkinan yang sebenarnya mulai ia khawatirkan jauh di lubuk hati.
Akhirnya, daripada terus terjebak dalam kecemasan, ia memutuskan untuk bangkit. Dengan langkah pelan, ia menuju dapur, tempat ibunya biasanya sibuk menyiapkan makan malam untuk keluarga.
Larissa, ibunya, sedang berdiri di depan kompor, mengaduk tumisan sayuran dengan wajah serius. Aroma bawang putih dan kecap manis memenuhi udara. Alendra berdiri di ambang pintu sebentar, sebelum akhirnya mendekat.
“Bu, aku bantu, ya,” ucapnya dengan suara yang dibuat ceria.
Larissa menoleh, sedikit terkejut tapi tersenyum hangat. “Lho, bukannya kamu kelihatan capek, Sayang? Mending istirahat aja di kamar.”
Alendra tersenyum tipis. “Aku nggak bisa tidur, Bu. Mending bantu Ibu masak. Biar cepet selesai.”
Larissa menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Ya sudah, kalau begitu kamu tolong iris-iris bawang merah di meja sana.”
Alendra mengambil pisau dan duduk di kursi kecil di dekat meja dapur. Tangannya mulai bekerja, meski gerakannya agak lambat karena kepalanya masih terasa berputar. Namun, ia tetap berusaha tersenyum. Ia tidak mau ibunya curiga.
Saat sedang mengiris bawang, tiba-tiba pandangannya kembali berkunang-kunang. Ia berhenti sejenak, meletakkan pisau, lalu menunduk sambil menarik napas panjang.
“Len, kamu nggak apa-apa?” tanya Larissa cepat, memperhatikan perubahan wajah putrinya.
Alendra buru-buru menggeleng, tersenyum menenangkan. “Nggak, Bu… cuma kebanyakan mikir aja kayaknya. Aku beneran nggak apa-apa.”
Namun di dalam hatinya, kegelisahan itu semakin kuat. Tubuhnya sendiri sudah memberi tanda-tanda yang tidak bisa ia abaikan. Tapi Alendra masih terlalu takut untuk menghadapi kenyataan.
Malam itu, sambil membantu ibunya di dapur, ia hanya bisa berdoa dalam hati. Berharap semua ini hanyalah sakit biasa, hanya kelelahan semata, dan bukan sesuatu yang lebih besar dari itu.
Malam itu Rayven memilih untuk tidak keluar bersama Ravenclaw. Biasanya, malam sebelum pertandingan, ia akan bersantai di klub atau nongkrong di markas. Namun kali ini berbeda. Ia tahu esok timnya akan bertanding, dan sebagai kapten, ia harus memastikan tubuhnya tetap fit.
Tapi bukannya tidur, Rayven justru terduduk di tepi ranjang apartemennya. Lampu kamar redup, hanya cahaya neon dari luar jendela yang masuk menerangi wajahnya yang muram. Sejak ia rebahan, matanya tak bisa terpejam. Pikirannya terus melayang pada kejadian sebulan lalu.
Tangan Rayven mengusap wajahnya kasar. “Kenapa gue belum pernah lagi lihat cewek itu?” gumamnya dengan nada frustrasi. Bayangan wajah gadis yang malam itu menangis masih begitu jelas.
Ia bersandar ke dinding, menatap kosong langit-langit. “Apa iya… dia beneran nggak mau gue tanggung jawab?”
Hatinya makin resah. Gadis itu tak pernah menyebutkan namanya. Begitu pun Rayven. Pertemuan mereka hanya sekali, dalam keadaan kacau, lalu hilang begitu saja. Namun, setiap malam, rasa bersalah itu selalu kembali menghantui.
“Kalau… kalau dia hamil, gimana?” bisiknya lirih, suaranya bergetar. Ia menatap tangannya sendiri, seakan melihat noda yang tak bisa hilang. “Masa iya anak gue lahir tapi nggak kenal sama gue sebagai bapaknya?”
Rayven memejamkan mata kuat-kuat, rahangnya mengeras. Semua kemungkinan buruk menghantam kepalanya bertubi-tubi. Ia tahu, seharusnya saat itu ia tetap memaksa gadis itu memberi tahu namanya, tetap memaksa agar ia bisa bertanggung jawab. Tapi gadis itu menolak—dengan tatapan penuh luka yang bahkan sampai sekarang masih terbayang jelas.
“Gue salah…” desahnya lirih.
Kedua tangannya mengepal, hingga buku jarinya memutih. “Harusnya gue nggak ngelepasin dia pergi. Harusnya gue tetep paksa dia… biar gue bisa tanggung jawab.”
Rayven bangkit, berjalan mondar-mandir di kamar dengan dada bergemuruh. Semua rasa bersalah, cemas, dan penyesalan bercampur jadi satu, membuat malamnya terasa semakin panjang.
“Sial!” Rayven meninju dinding apartemennya keras-keras. Suara dentuman menggema, namun tidak juga meredakan gejolak di dadanya.
Ia tahu besok harus fokus pada pertandingan, tapi pikirannya sudah tak bisa tenang. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Rayven merasa benar-benar takut kehilangan sesuatu yang bahkan belum sempat ia genggam.
Rayven terbaring di ranjangnya dengan tubuh berbalut keringat dingin. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar apartemennya, tapi pikirannya terus dipenuhi oleh bayangan wajah gadis yang malam itu begitu polos, begitu asing, lalu menghilang tanpa jejak.
Tangannya mengepal erat di atas dada. “Apa gue udah sebego itu? Cuma mikirin nafsu, terus sekarang malah gue yang dihantui rasa bersalah.” Napasnya berat, seakan setiap tarikan oksigen justru membuat dadanya makin sesak.
Bayangan pertandingan basket besok yang harusnya jadi fokus utama, malah tertutup rasa cemasnya sendiri. “Gila… besok final, tapi gue nggak bisa berhenti mikirin hal ini.” Ia menggeram pelan, lalu bangun duduk di tepi ranjang. Kepalanya tertunduk, kedua siku bertumpu di lutut.
“Kalau bener dia hamil… terus dia nggak cerita sama gue… gimana nasib anak itu? Apa anak gue bakal tumbuh benci sama gue, karena gue nggak ada di sampingnya sejak awal?” pikirannya makin kacau.
Rayven menggenggam rambutnya sendiri, berusaha menahan rasa gelisah yang seperti tak ada ujungnya. Rasa penyesalan mulai tumbuh, bercampur dengan ketakutan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
“Kenapa gue nggak coba cari dia? Minimal tau namanya, biar gue bisa pastiin semuanya. Gue gila apa gimana sih, nyesel di akhir begini?” Suaranya serak, terdengar seperti pengakuan yang dilempar ke dalam kesunyian kamar.
Jam dinding berdetak pelan, menambah rasa sunyi yang menekan batinnya. Di satu sisi, Rayven ingin menyerah pada kantuk demi pertandingan besok. Tapi di sisi lain, pikirannya terus menjerit, menolak diam.
Akhirnya ia berdiri, melangkah ke jendela besar yang menghadap ke jalanan kota yang masih ramai meski malam. Lampu-lampu jalan berpendar, tapi di matanya semua terlihat buram.
“Apa gue harus cerita ke Kenzo? Atau Axel? Tapi kalau mereka tau, habis gue diketawain abis-abisan. Mereka pasti bilang gue bego.” Rayven menggigit bibirnya keras.
Namun yang paling ia takutkan bukanlah ejekan sahabat-sahabatnya, melainkan kenyataan bahwa ia mungkin benar-benar sudah meninggalkan luka besar di hidup seorang gadis—dan mungkin juga seorang anak yang tak pernah ia kenal.
Rayven menghela napas berat sekali lagi, menempelkan dahinya ke kaca jendela dingin. “Gue nggak siap jadi bapak. Tapi kalau bener ada anak gue di luar sana… gue juga nggak rela dia tumbuh tanpa gue.”
Semakin malam, semakin kuat kegelisahan itu mencekik dirinya.