Kisah seorang gadis bernama Kanaya, yang baru mengetahui jika dirinya bukanlah anak kandung di keluarga nya saat umurnya yang ke- 13 tahun, kehadiran Aria-- sang anak kandung telah memporak-porandakan segalanya yang ia anggap rumah. Bisakah ia mendapatkan kebahagiaannya kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jeju Oranye, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BUK- 28 : Perasaan aneh
"Oke, kalian boleh kembali ke kelas masing-masing, " ujar pak Guntur seraya mengembalikan buku- buku yang sudah ia cek tadi. "Jangan lupa, besok lusa kita sudah mulai latihan intensif di sini jam empat sore. "
Dhiendra langsung berdiri, memasukkan buku- buku ke tasnya dengan santai. "Siap pak!"
Kanaya hanya mengangguk sopan. Begitu pak Guntur keluar dari ruangan laboratorium lebih dulu, Dhiendra yang kira kanaya juga akan pergi, ternyata malah berbalik lagi ke arahnya dengan satu tangan yang menenteng tali tasnya dan mengukir senyum tengil di wajahnya, sekonyong-konyong kanaya merotasi matanya, malas.
"Ada apa lagi dengan cowok ini?"
Dhiendra lalu mendekat dengan gaya petentang- petenteng nya itu. "Denger gak apa pak guntur tadi ngomong? 'latihan intensif', kelihatan kan pak guntur mau kita buruan jadi satu tim. "
Kanaya berdecih, tak ingin mendengarkan lebih ia hendak berjalan lebih dulu, namun tanpa di duga tangannya malah di tahan oleh genggaman tangan yang lebih besar dari nya itu. Kanaya terbelalak, matanya menatap dhiendra dengan nyalak. "Mau apa lagi sih lo? !" seru Kanaya
, nyaris berbisik namun penuh amarah.
Dhiendra tidak menjawab, ia malah mencondongkan tubuhnya yang sontak membuat wajahnya begitu dekat dengan wajah sang gadis. Napas hangat nya menerpa wajah gadis itu, membuat jantung Kanaya secara alamiah berdegup kencang. Ia terkejut sekaligus merasa risih dengan perlakuan dhiendra. Tanpa sadar Kanaya melangkah mundur, berusaha menjaga jarak.
"Santai aja, muka lo tegang amat, " bisik Dhiendra dengan senyum miring. "Gue mau cuma mau bilang, lo suka gak suka sekarang kita adalah patner, dan jangan lupa mulai besok kita harus belajar bareng. "
Kanaya menahan nafas tersebab Dhiendra berbicara dengan wajah mereka yang hanya beberapa inci. Dhiendra suka dengan bagaimana reaksi polos Kanaya saat di dekati seperti ini, kan biasanya gadis itu hanya memasang wajah jutek dan dingin.
"Oke patner, sampai jumpa lagi besok, " setelah mengatakan itu, Dhiendra akhirnya menjauhkan diri, menegakkan dirinya lalu membenam sebelah tangan di saku celananya, lantas berbalik pergi dengan bersiul kecil.
Kanaya mendengkus, setelah hampir membuat jantungnya copot, pemuda itu melenggang pergi dengan santainya, dasar!
"Cowok gak jelas.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Kanaya menghela napas, mencoba menenangkan detak jantung nya yang masih memburu. Tanpa sadar mengusap pergelangan tangannya yang terasa panas akibat sentuhan dhiendra tadi. Setelah dirasa tenang ia kembali ke kelas.
Bel masuk kelas menggema di seluruh penjuru sekolah. Begitu Kanaya membuka pintu kelas Adelia dan Rena langsung menyerbu nya. "Nay! kamu beneran ikut?" tanya Rena, tidak sabar.
"Terus kamu tadi di panggil pak guntur buat apa? " Timpal adelia, matanya juga berbinar penasaran.
Kanaya tersenyum tipis. "Aku... lolos. "
Sontak, Adelia dan Rena bersorak riang. "Ah, tuh kan Ren, aku bilang juga apa? Kanaya pinter dan pasti dia lolos! " seru Adelia, memeluk Kanaya erat.
Rena mengangguk terkesima. "Keren! selamat y Nay! " kata Rena sambil menepuk pundak Kanaya, bangga.
Suara sorakan mereka menarik perhatian beberapa murid lain. Seorang gadis, yang dikenal sebagai Rini, mencibir dengan suara keras. "Paling juga cuma hoki. Anak IPS mana bisa bersaing sama anak IPA."
"Iya, lagian lomba sains gitu butuh otak, bukan cuma nekat," timpal temannya, tertawa sinis.
Adelia dan Rena langsung bersiap membela Kanaya, tapi Kanaya menahan mereka dengan gelengan kepala. "Udah, biarin aja."
Rena mengalah, lalu kembali pada topik awal. "Terus tadi aku sempat liat murid baru yang namanya dhiendra itu juga masuk ke ruang lab, kalian ketemu? '
Kanaya mengangguk. "Iya."
"Terus apa kata pak Guntur, Nay?
Pertanyaan Rena membuat Kanaya terdiam. Ia mengangguk pelan. "Iya, dia juga lolos."
Seketika, kelas yang tadinya riuh dengan obrolan tiba-tiba hening. Semua mata menoleh ke arah Kanaya, terkejut dengan jawabannya. Rena dan Adelia bahkan sampai menganga.
"Dhiendra? si murid yang baru yang udah bikin heboh pas nantangin kamu itu? serius kamu Nay? "
Kanaya mengernyit, raut wajahnya heran melihat reaksi teman- temannya. "Iya, emangnya kenapa? kan dia juga pinter... meski agak songong sih. "
Adelia dan Rena menatap Kanaya setelah saling pandang sebelumnya. "Kamu gak tau nay? si anak baru itu meskipun lebih baru dari kamu, dia udah buat prestasi besar loh. "
"Prestasi apa memangnya? "
"Kamu beneran sama sekali gak tau? Si Dhiendra itu baru aja kemarin gabung sama geng Trix, Nay! Geng yang isinya anak- anak berandal sekolah kita itu! " jelas Adelia.
"Dan kamu tahu gak? gilanya lagi baru masuk, dia udah di lantik jadi ketua geng, setelah bikin ketua geng sebelum nya babak belur gara-gara dia? "
"Hah sefatal itu? " Kanaya tertegun. Kok dia tidak mendengar sama sekali berita nya, apa mungkin karena dia terlalu tenggelam dengan buku- buku di dalam perpustakaan.
Rena mengangguk. "Iya nay! tapi emang karena mereka ributnya juga di luar sekolah, berita nya gak sampe heboh ke guru- guru dan sepertinya karena si dhiendra ini anak orang penting, gak ada gugatan apapun ke dia meskipun udah bikin anak orang babak belur gitu."
Kanaya tercenung, sepertinya di sekolah ini tidak ada yang mengetahui jika Dhiendra dan Revan adalah saudara. Kalau sampai murid lain tahu jika dhiendra juga merupakan anak dari keluarga wiratama, donatur terbesar di sekolah ini, bagaimana reaksi mereka?
Ah, apapun itu Kanaya tak ingin ambil pusing. Sekarang fokus nya hanya untuk lomba nanti.
***
Hari ini pelajaran terakhir adalah biografi, dan sudah di selesaikan, bu susan meminta anak murid yang sudah merangkum mata pelajaran yang di berikan untuk kemudian mengumpulkan nya di depan meja.
Bu susan mengecek jam di pergelangan tangannya, setelah di rasa semua murid mengumpulkan catatannya, wanita muda berusia dua puluh limahan itu berdiri dari duduk nya.
"Baiklah anak- anak jam pelajaran terakhir sudah selesai, sebelum pulang seperti biasa kita berdo'a dulu. Aryo pimpin do'a. "
Aryo yang memang selalu di tunjuk untuk memimpin doa mengangguk, dan menginstruksikan untuk para murid duduk tegap dan berdoa sebelum pulang.
Setelah itu bel pulang sekolah berdering nyaring, anak-anak bersorak sorai dan bergegas keluar kelas. Kanaya juga berdiri dan mencatel tas di pundaknya, di saat itulah Adelia dan Rena menghampiri.
"Nay, kamu mau pulang bareng kita? "
Kanaya menggeleng dan tersenyum kecil. "Kalian duluan aja guys. "
Adelia dan Rena membalas senyum. "Oke, hati- hati ya Nay. "
Kanaya menunggu hingga kelasnya benar-benar sepi. Ia bangkit dari bangkunya, lalu berjalan keluar. Tujuan utamanya adalah gerbang sekolah.
Ia berjalan santai, membiarkan pikirannya melayang. Memikirkan materi yang akan ia pelajari untuk lomba nanti. Semakin ia mendekat ke gerbang, ia semakin merasa jantungnya berdebar kencang. Apakah Areksa benar-benar menepati janjinya? Kanaya tidak yakin. Bukankah selama ini anggota keluarga itu tak ada yang benar-benar peduli padanya?
Saat sampai di gerbang, langkah Kanaya terhenti. Matanya membulat terkejut. Di sana, sebuah mobil mewah berwarna hitam yang sangat ia kenal, terparkir rapi. Itu mobil Areksa.
Beberapa siswa yang baru keluar dari sekolah langsung menoleh, bisik-bisik mulai terdengar. Mereka heran melihat mobil semewah itu terparkir di depan sekolah. Terlebih lagi, melihat Kanaya yang berjalan ke arah mobil tersebut.
Jendela mobil itu terbuka, dan terlihatlah sosok Areksa. Kakaknya.
"Masuk," panggil Areksa dengan suara lembut yang tak pernah Kanaya dengar sebelumnya. "Kakak jemput, seperti janji tadi pagi. "
Kanaya merasa canggung. Ia langsung masuk ke dalam mobil. Belum sempat ia menutup pintu, suara-suara sumbang sudah terdengar dari luar.
"Eh, itu Kanaya bukan sih?"
"Kok bisa dijemput sama mobil mewah gitu?"
"Jangan-jangan dia simpanan om-om, ya?"
"Ish, mana ada om-om? Itu cowoknya ganteng banget!"
"Dih, masa sih? Si Kanaya yang dingin kayak gitu punya pacar secakep itu?"
Seolah tak terkejut lagi, Kanaya lebih memilih untuk tidak mendengar nya, matanya menatap lurus ke depan dan menutup pintu mobil juga menaikkan kacanya.
Di dalam mobil, suasana sangat canggung. Areksa mengemudikan mobilnya dengan tenang. Kanaya memecah keheningan.
"Kak, kok... beneran jemput?"
"Kenapa? Kamu nggak suka?" tanya Areksa tanpa menoleh.
"Bukan begitu," jawab Kanaya. "Cuma aneh. Kakak biasanya nggak peduli."
Areksa menoleh sebentar, matanya menatap Kanaya. "Siapa bilang? Kakak peduli. Lagian, kamu adiknya Kakak."
Kanaya menunduk. Perkataan Areksa terasa asing. Selama tiga tahun ini, kali pertamanya Areksa seolah kembali menjadi sosok kakaknya yang dulu.
Namun Kanaya justru tidak biasa dengan momen seperti ini, benarkah karena terlalu banyak luka yang di torehkan membuat nya jadi tidak bisa menerima kehangatan semacam ini?
Rasanya sungguh aneh.
****
penasaran rahasia besar ayah ny.. wkwk
semoga kebahagiaan menyertai mu nay