Keinginan terakhir sang ayah, membawa Dinda ke dalam sebuah pernikahan dengan seseorang yang hanya beberapa kali ia temui. Bahkan beliau meminta mereka berjanji agar tidak ada perceraian di pernikahan mereka.
Baktinya sebagai anak, membuat Dinda harus belajar menerima laki-laki yang berstatus suaminya dan mengubur perasaannya yang baru saja tumbuh.
“Aku akan memberikanmu waktu yang cukup untuk mulai mencintaiku. Tapi aku tetap akan marah jika kamu menyimpan perasaan untuk laki-laki lain.” ~ Adlan Abimanyu ~
Bagaimana kehidupan mereka berlangsung?
Note: Selamat datang di judul yang ke sekian dari author. Semoga para pembaca menikmati dan jika ada kesamaan alur, nama, dan tempat, semuanya murni kebetulan. Bukan hasil menyontek atau plagiat. Happy reading...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernikahan Gibran
“Tapi kenapa nama mempelai perempuannya tidak asing, Oppa? Apa ini Meri yang itu?” tanya Dinda.
“Iya.”
“Yang benar?”
“Benar sekali, sayangku cintaku…” kata Adlan sambil mencubit kedua pipi istrinya.
“Oppa tahu dari mana?”
“Mama.”
“Kenapa tidak ada memberitahuku?”
“Bukankah sekarang kamu tahu?”
“Ish!” Dinda melepaskan tangan Adlan dari pipinya dan beranjak pergi.
Adlan yang ditinggalkan, mengikuti Dinda dari belakang. Sayangnya saat sampai di depan pintu kamar, Dinda menutup pintu dan tidak mengizinkan Adlan masuk dengan mengunci pintu.
“Maafkan aku sayang… Aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu.” Kata Adlan yang tahu letak kesalahannya.
“Buka pintunya, sayang…”
Adlan tidak mendengar suara dari dalam kamar. Ia mengetuk-ketuk pintu, tetapi tidak ada respon apapun dari Dinda. Terpikirkan ide gila, Adlan berjalan ke depan dan memutar, sampai di jendela kamar dinda.
Seperti perkiraannya, jendela kamar terbuka. Pelan-pelan ia mendekat dan melihat Dinda yang ada di kamar. Ia melihat istrinya tengkurap di tempat tidur. Berpikir istrinya sedang menangis, Adlan nekat masuk ke dalam kamar lewat jendela yang memiliki tinggi sekitar setengah meter itu.
“Sayang… jangan menangis!” Adlan mendekat, ingin menenangkan.
Tapi yang ia lihat istrinya dengan mata terpejam dan nafas teratur.
“Tidur?” tanya Adlan yang merasa konyol.
Ia khawatir Dinda marah dan menangis, tetapi yang dilihatnya justru istrinya yang tidur lelap. Adlan menghembuskan nafas lega. Ia pun duduk perlahan di samping Dinda dan memperhatikannya.
Akan tetapi, saat hendak merapikan anak rambut, Adlan mendengar suara ketukan pintu dari luar. Dengan pelan ia berjalan dan membuka kunci kamar, lalu membukakan pintu rumah.
“Maaf ganggu, Mas Adlan. Tadi saya lihat ada yang masuk dari jendela.” Kata Lek Muklis yang ada di depan pintu.
Adlan menegang. Ia lupa jika dirinya berapa di desa yang memiliki sistem CCTV otomatis. Bagaimana dirinya menjelaskannya?
“Apa ada pencuri masuk?” tanya Lek Muklis.
“Tidak ada, Lek! Saya yang masuk lewat jendela karena kunci pintu kamar macet.” Jawab Adlan yang mengarang bebas.
“Oh! Kalau macet bisa diganti knopnya sekalian, Mas.”
“Iya, Lek. Nanti akan saya ganti.” Lek Muklis mengangguk dan berpamitan.
Setelah menutup pintu rumah, Adlan menggelengkan kepalanya. Sepertinya ia harus mengganti gagang pintu agar tidak berbohong sepenuhnya.
Saat kembali ke kamar, ia tidak lagi menemukan Dinda, yang ternyata ada di kamar mandi.
“Oppa?” Dinda terkejut mendapati suaminya menunggunya di depan kamar mandi.
“Kenapa sebentar saja tidurnya?”
“Kebelet pipis.” Cicit Dinda.
Adlan hanya tersenyum dan mengangkat tubuh Dinda, membawanya kembali ke kamar. Keduanya kembali tidur sampai adzan ashar berkumandang.
Sebulan kemudian.
Acara pernikahan Gibran dan Meri di gelar di salah satu Gedung yang ada di kota. Lokasinya yang dekat dengan rumah Mama Adlan, membuar Dinda dan Adlan menginap di rumah beliau sejak Sabtu malam.
“Mana istrimu?” tanya Mama Adlan yang hanya melihat Adlan di ruang tamu.
“Sebentar lagi keluar.”
Tepat setelah Adlan selesai mengatakannya, Dinda keluar dari kamar dengan dress brukat Panjang dengan lengan balon 7/8. Warnanya senada dengan kemeja yang dikenakan Adlan.
“MasyaAllah… Pakai hijab pasti terlihat lebih adem.” Kata Mama Adlan tanpa sadar.
Sedetik kemudian Mama Adlan meralat kata-katanya dengan mengatakan jika beliau hanya membayangkannya, tidak meminta atau memaksa Dinda untuk mengenakan hijab.
Dinda tidak merasa tersinggung karena tahu maksud mama mertuanya. Ketiganya akhirnya berangkat ke tempat acara.
Banyak tamu yang datang, membuat Adlan tidak mendapatkan tempat parkir. Akhirnya ia memarkir mobilnya sedikit jauh dan berjalan kaki ke Gedung pernikahan.
“Halo, Jeng!” sapa teman Mama Adlan yang juga berjalan kaki.
“Jeng Siti!” Mama Adlan menyambut dan berbasa-basi sebentar, sebelum berjalan bersama ke tempat acara.
Sebelum masuk Gedung, mereka mengisi buku tamu dan mengambil souvenir yang disediakan, lalu duduk di tempat duduk yang disediakan.
Selang beberapa waktu, acara dimulai dengan prosesi akad nikah dan dilanjut dengan kirab pengantin setelah pasangan pengantin mengganti pakaian mereka.
“Kalian mau naik ke panggung, tidak?” tanya Mama Adlan setelah semua tamu satu-persatu mulai memberikan selamat kepada pasangan pengantin dengan naik ke panggung.
“Mama saja.” kata Adlan yang diangguki Dinda, tanda setuju.
Mama Adlan mengangguk mengerti dan naik ke panggung bersama Bu Siti dan teman-teman yang lainnya.
“Adlan mana, Tante?” tanya Meri saat Mama Adlan akan memberikan selamat kepadanya.
“Ada. Dinda sedang tidak enak badan, jadi mereka hanya duduk menunggu di sana.”
“Kenapa? Hanya memberikan selamat kepadaku saja, mereka tidak mau?”
“Bukan seperti itu.”
“Bukan apanya? Nyatanya mereka tidak memberikanku selamat!”
“Setidaknya mereka sudah datang untuk melihat hari bahagiamu.”
“Tapi…” Gibran memegang tangan Meri, seolah memintanya untuk berhenti karena banyak tamu yang mengantre di belakang.
Meri menerima selamat dari Mama Adlan, begitu juga dengan Gibran. Saat mulai sepi, Meri kembali mengatakan ketidakpuasannya.
“Kenapa? Apa mereka minder?”
“Apa maksudmu?”
“Adlan dan Dinda! Siapa lagi?”
“Dinda? Kamu mengenalnya?”
“Jangan bilang kalau perempuan yang kamu sukai itu Dinda?” tebakan Meri tepat sasaran, karena Gibran hanya diam tidak menjawab.
Meri tertawa miris di dalam hati. Laki-laki yang disukainya ternyata menikahi perempuan yang disukai suaminya. Miris bukan? Bagaimana dia akan menyikapinya?
“Itu sudah berlalu. Sekarang ini kamu istriku, akan mengutamakanmu.”
“Mengutamakan aku? Apa aku tidak salah dengar?”
“Jangan mulai! Kamu yang menginginkan pernikahan ini. Aku akan berusaha menjadi imam yang baik.”
Meri yang hendak menjawab kembali Gibran, harus mengurungkan niatnya karena tamu-tamu kembali memberikannya selamat.
Gibran menyalami para tamu dengan pikiran yang entah ke mana. Sebelum pernikahan ini terjadi, Gibran sempat meminta tanggalnya dimundurkan, karena ia merasa terlalu cepat. Ia meminta waktu untuk mengenal Meri lebih dulu.
Sayangnya keinginannya tidak terkabul karena Meri yang mengatakan jika pernikahan mereka diundur, ia bisa saja berubah pikiran. Papa Meri tentu tidak akan diam saja. Beliau mengatakan mereka bisa saling mengenal lebih dekat setelah menikah.
Jadilah pernikahan dilangsungkan hari ini. Meskipun Gibran belum mantap, ia tetap melaksanakan pernikahan dengan niat sepenuh hati, karena ia tidak akan mempermainkan pernikahan.
Sementara itu, Dinda yang sudah kenyang setelah menyantap dua mangkuk es teller, menguap. Melihat hal tersebut, Adlan mengajak mamanya yang masih asyik berbicara dengan teman-temannya untuk pulang.
“Dinda, kenapa?” tanya Mama Adlan, melihat Dinda yang segera memejamkan matanya begitu masuk ke dalam mobil.
“Mengantuk.”
“Mama tahu! Maksud Mama, kenapa perasaan Dinda sering tidur?”
“Aku juga tidak tahu, Ma. Sudah satu minggu ini, Dinda sering tidur.”
“Apa istrimu sakit?”
“Kalau sakit, Mama masak tidak sadar?”
“Benar juga. Apa mungkin gara-gara kamu yang mengerjainya Tengah malam?”
“Pertanyaan macam apa itu?”
“Siapa tahu? Mentang-mentang masih hangat-hangatnya, kamu melakukannya setiap malam, membuatnya kurang tidur.” Adlan hampir tersedak air liurnya, mendengar perkataan sang mama.
Meskipun mereka memang saling mendamba, tidak sampai melakukannya setiap hari. Apalagi dalam seminggu ini, mereka belum ada melakukannya sama sekali.
“Jangan melakukannya setiap hari! Paling tidak lakukan setiap tiga hari sekali, agar kualitas sperma kamu bagus dan kemungkinan hamilnya tinggi.” Kata Mama Adlan dengan blak-blakan.
“Kami tidak seperti yang Mama pikirkan!” sergah Adlan sebelum mamanya semakin ikut campur lebih dalam.
“Oke, oke. Kalian tidak.” Mama Adlan tahu anaknya kesal, sehingga beliau mengalah.
Sayangnya beliau tetap penasaran dengan Dinda yang gampang tertidur. Meski begitu, beliau tidak tahu apa penyebabnya sampai Dinda dan Adlan kembali ke desa.