Gendis baru saja melahirkan, tetapi bayinya tak kunjung diberikan usai lelahnya mempertaruhkan nyawa. Jangankan melihat wajahnya, bahkan dia tidak tahu jenis kelamin bayi yang sudah dilahirkan. Tim medis justru mengatakan bahwa bayinya tidak selamat.
Di tengah rasa frustrasinya, Gendis kembali bertemu dengan Hiro. Seorang kolega bisnis di masa lalu. Dia meminta bantuan Gendis untuk menjadi ibu susu putrinya.
Awalnya Gendis menolak, tetapi naluri seorang ibu mendorongnya untuk menyusui Reina, putri Hiro. Berawal dari menyusui, mulai timbul rasa nyaman dan bergantung pada kehadiran Hiro. Akankah rasa cinta itu terus berkembang, ataukah harus berganti kecewa karena rahasia Hiro yang terungkap seiring berjalannya waktu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28. Lima Menit
“Kita tidak punya pilihan. Kita harus cari jalan lain, atau .…” Hiro menggantung ucapan, matanya bergerak ke arah kerumunan ojek online yang menunggu penumpang di tepi jalan.
Gendis mengangguk cepat. “Ojek online. Hanya itu cara tercepat sekarang.”
Tanpa pikir panjang, mereka keluar dari mobil. Panas terik menyerbu kulit, tetapi tak ada waktu untuk memedulikannya. Hiro meraih ponselnya, membuka aplikasi, dan memesan dua kendaraan roda dua. Dalam hitungan menit, dua pengendara datang menghampiri mereka.
“Pak, Bu, pesanan Grab ya?” tanya salah satunya.
“Ya. Tolong antar kami ke bandara secepat mungkin,” ucap Hiro cepat, sembari menyerahkan helm kepada Gendis.
Wajah Gendis terlihat kaku, tetapi tangannya gemetar saat mengenakan pelindung kepala itu. Kedua motor itu melaju zig-zag melewati padatnya jalanan. Angin kencang menerpa wajah mereka, bercampur bau asap knalpot dan debu.
Gendis memeluk erat tas yang dia bawa, jantungnya berdegup tak karuan. Di belakang kaca helm, matanya berkaca-kaca. Namun, dia berusaha tegar. Bayangan Reina yang mungil menari-nari dalam benaknya, seolah memanggil-manggil untuk kembali didekap.
Sementara Hiro yang ada di motor satunya, menunduk demi menahan laju angin. Kepalan tangannya kaku memegang pinggang pengemudi. Dalam hati dia terus menghitung waktu. Setiap menit terasa seperti jarak seribu mil yang memisahkan dia dari Reina.
Setelah menempuh perjalanan dengan detak jantung berpacu, akhirnya papan besar bertuliskan Bandara Internasional Soekarno-Hatta terlihat. Hiro menghela napas panjang, lalu melirik Gendis yang wajahnya tampak pucat dengan sorot mata tetap teguh. Mereka turun dari motor, berterima kasih singkat pada pengemudi, lalu berlari menuju gedung terminal khusus.
Berbeda dengan terminal penumpang umum, area FBO atau General Aviation Terminal tampak lebih tenang. Bangunan kaca berarsitektur modern berdiri gagah, dengan mobil-mobil mewah terparkir rapi di halamannya. Petugas keamanan berseragam resmi berdiri di beberapa titik, memantau setiap tamu yang datang.
Hiro dan Gendis berlari kecil, lalu berhenti tepat di depan pintu masuk. Seorang petugas keamanan menghampiri mereka dengan langkah mantap.
“Selamat siang, ada keperluan apa?”
Napas Gendis masih tersengal, tetapi dia berusaha menjawab dengan suara stabil. “Kami … kami keluarga dari salah satu penumpang jet pribadi yang akan berangkat hari ini. Kami mohon diizinkan masuk untuk bertemu keluarga kami di ruang tunggu.”
Petugas itu menatap curiga. “Bisa tunjukkan identitas diri?”
Hiro cepat-cepat mengeluarkan paspor dari dompetnya. Gendis pun menyerahkan KTP serta menunjukkan foto keluarga di ponselnya, gambar dirinya bersama Hiro dan Reina. Tangan Gendis sedikit bergetar saat menyerahkan bukti itu.
“Tolong, Pak … anak saya dibawa bersama pengasuhnya. Kami hanya ingin memastikan keselamatannya sebelum pesawat berangkat.”
Petugas itu terdiam sejenak, matanya meneliti foto di ponsel dan identitas yang disodorkan. Dia melirik rekannya, lalu berbicara melalui radio komunikasi di bahunya.
“Ada pasangan mengaku keluarga penumpang jet dengan tujuan Jepang. Meminta akses ke ruang tunggu. Bagaimana prosedurnya?”
Jawaban dari radio terdengar samar, membuat Hiro dan Gendis menunggu dengan dada berdebar. Waktu terus bergulir, setiap detik terasa seperti jarum tajam menusuk kesabaran mereka.
Akhirnya, petugas itu mengangguk. “Silakan ikuti saya. Tapi saya peringatkan, izin ini terbatas. Anda hanya bisa berada di ruang tunggu, tidak lebih.”
“Terima kasih … terima kasih banyak,” ucap Gendis dengan suara lirih, matanya basah oleh rasa lega.
Mereka berdua mengikuti petugas melewati pintu kaca otomatis. Aroma khas pendingin ruangan bercampur dengan wewangian mahal menyambut langkah mereka. Di dalam, interior FBO tampak elegan, dengan sofa kulit hitam, meja marmer, dan lampu gantung kristal. Beberapa tamu berpakaian rapi duduk tenang, sebagian sibuk dengan ponsel, sebagian lagi ditemani asisten pribadi.
Hiro menggenggam tangan Gendis erat, matanya menyapu seisi ruangan. Dia mencari satu sosok—Reiki, atau siapa pun yang bisa memberi petunjuk keberadaan putri mereka.
Gendis menahan napas, menatap ke sekeliling dengan mata yang membara. Setiap detik terasa semakin mencekam, seperti dunia di sekitarnya berhenti berputar. Petugas menghentikan langkahnya dan mempersilakan mereka duduk di salah satu sofa tamu.
“Silakan menunggu di sini. Kami akan konfirmasi lebih lanjut kepada pihak operator penerbangan,” ucap petugas itu sopan, sebelum beranjak pergi.
Gendis meremas jemari Hiro. “Hiro … bagaimana kalau mereka sudah di dalam pesawat?”
Hiro menatap matanya dalam-dalam, menyalurkan keyakinan yang tersisa. “Kita sudah sampai sejauh ini, Ndis. Kita nggak boleh menyerah sekarang.”
Suara pengumuman halus terdengar dari pengeras suara ruangan, menyebutkan bahwa salah satu jet pribadi menuju Tokyo siap diberangkatkan. Kata-kata itu menusuk jantung Gendis. Dia memeluk lengannya sendiri, tubuhnya bergetar. Hiro bangkit berdiri, hendak melangkah ke arah petugas yang baru masuk dengan berkas di tangan.
Namun, sebelum Hiro sempat bertanya, matanya menangkap sosok perempuan berambut panjang yang familiar di sudut ruangan. Perempuan itu tengah duduk dengan tenang, mengenakan gaun sederhana, menggendong seorang bayi mungil yang tertutup selimut putih.
Dunia Hiro berhenti berputar seketika. Napasnya tercekat dengan dada yang terasa sesak. Gendis mengikuti arah pandangannya, lalu tubuhnya gemetar hebat.
Langkah Hiro terhenti di tengah ruangan, sementara perempuan berambut panjang itu perlahan menoleh. Senyumnya tipis, matanya penuh rahasia, seolah sengaja menunggu mereka di sana. Suasana menjadi hening, seakan semua suara di sekitar menguap begitu saja.
"Nana!" seru Hiro sambil terus melangkah mendekati pengasuh Reina itu.
Nana tidak menghindar dan justru tersenyum semakin lebar. Gendis menggenggam erat jemari Hiro. Keduanya melangkah cepat menghampiri Nana.
Gendis merebut paksa selimut putih yang digendong oleh Nana. Ketika membuka selimut tersebut Gendis tertegun. Ya, tidak ada seorang pun di dalamnya.
Hanya sebuah boneka beruang kecil yang biasa menemani Reina tidur. Nana menipu mereka. Perempuan terkekeh.
"Ke mana Reina! Kamu bawa ke mana dia!" Gendis menatik kerah gaun Nana.
Suara Gendis bergetar. Matanya melotot seakan tengah menuntut jawaban dari Nana. Akan tetapi, pengasuh Reina iti hanya terus terkekeh.
"Kalian terlambat lima menit."
Jawaban singkat Nana sontak membuat Gendis terbelalak. Hiro pun mengusap wajah kasar. Keduanya baru sadar kalau pengumuman pesawat baru saja adalah penerbangan Reina bersama Reiki dan Yumi.
"Kenapa kamu tega sama aku, Na! Aku kira kamu memahami situasiku dan kamu adalah orang yang baik! Apa salahku sama kamu! Kenapa kamu memberikan putriku kepada Yumi!" Gendis terus mengguncang tubuh Nana.
"Karena mereka punya uang dan aku membutuhkannya." Suara Nana terdengar begitu tegas.
Perempuan tersebut tersenyum miring sebelum akhirnya melepaskan cengkeraman tangan Gendis dari kerah gaunnya. Dia beranjak dari kursi, lalu menyambar tas yang sejak dari ada di sampingnya.
"Tugasku untuk menahan kalian di ruang tunggu sudah selesai. Aku mau pergi. Lupakan saja Reina, kamu masih bisa punya anak lagi. Beda dengan Yumi. Itu adalah salah satu pertimbanganku kenapa mau membantunya." Nana memakai kacamata hitamnya, lalu berjalan keluar dari ruangan tersebut.
Semua bersumber dari otak jahat Reiki