Sepuluh tahun ingatan Kirana terhapus. Saat membuka mata, Kirana mendapati dirinya sudah menikah dengan pria asing yang menyebutnya istri.
Namun, berbeda dengan kisah cinta yang diharapkan, pria itu tampak dingin. Tatapannya kosong, sikapnya kaku, seolah ia hanya beban yang harus dipikul.
Jika benar, Kirana istrinya, mengapa pria itu terlihat begitu jauh? Apakah ada cinta yang hilang bersama ingatannya, atau sejak awal cintanya memang tidak pernah ada.
Di antara kepingan kenangan yang terhapus, Kirana berusaha menemukan kebenaran--- tentang dirinya, tentang pernikahan itu, dan tentang cinta yang mungkin hanya semu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shalema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati tidak mungkin lupa (2)
Barra berpindah dari kursi ke tempat tidur Kirana. Tangan Barra menyentuh leher Kirana. Bergerak ke atas memegang tengkuk Kirana. Jempolnya berada di pipi Kirana. Menyentuhnya dengan lembut.
"Katakan sekali lagi!" ucap Barra pelan persis di depan wajah Kirana.
"Aku ingin Mas Barra menciumku," Kirana berkata dengan cepat. Pipinya seperti kepiting rebus, berwarna merah.
"Kira... kamu yakin?"
Kirana mengangguk. "Iya, Mas. Aku ingin mencoba mengingat dengan caraku."
Kirana menyentuh wajah Barra. Saat jemarinya merasakan kulit hangat itu, Kira merasakan sesuatu yang tidak asing.
Wajah Barra mendekati wajah Kirana. Saat jaraknya hanya satu helaan nafas, Barra berhenti seolah memberi kesempatan Kirana untuk mundur.
Kirana diam menunggu. Ia sedang berusaha memastikan. Jika kepalanya tidak boleh mengingat maka ia akan membuat hati dan tubuhnya bekerja.
Barra menyentuhkan bibirnya pada bibir Kirana. Pelan. Lembut. Kirana memejamkan matanya. Bibir mereka menyatu.
Kirana merasa terkejut dengan dirinya sendiri. Hatinya bergetar, seakan tubuhnya mengenali sesuatu yang kepalanya belum mampu menjelaskan. Kirana merasa familiar dengan sentuhan ini. Bibirnya mengingat sentuhan bibir Barra. Air mata jatuh tanpa disadari.
Barra mulai bergerak pelan. Ciuman itu semakin dalam. Kirana terhanyut. Ia mulai membalas ciuman suaminya. Barra melepaskan bibirnya sejenak, membiarkan Kirana mengambil nafas. Kemudian, melanjutkan kembali.
Barra mencium bibir atas dan bawah Kirana bergantian. Ia menggigit kecil agar bibir Kirana terbuka. Lidahnya lalu menerobos masuk ke dalam mulut Kirana.
Entah bagaimana, Kirana dapat mengimbangi permainan bibir dan lidah Barra. Seingatnya, ia belum pernah berciuman. Ini adalah ciuman pertamanya.
Melalui sentuhan bibir Barra, Kirana dapat merasakan Barra. Menggebu, seakan menyalurkan rasa rindu yang lama terpendam. Kirana merasa Barra bukan sekedar mencium. Barra sedang menegaskan kepemilikan, cinta, sekaligus kerinduan yang sudah tidak terbendung.
Barra menarik pinggang Kirana hingga menempel di badannya. Bibirnya semakin lapar. Melumat, menghisap dan menyesap. Perlahan, tangan Barra naik ke punggung Kirana. Mengelusnya penuh kelembutan.
Kirana semakin terbuai. Ia meremas lengan Barra. Desahan kecil lolos dari bibirnya. Membuat nafas Barra semakin memburu.
Bibir Barra turun menelusuri leher Kirana. Tubuh Kirana gemetar. Terasa ada ratusan kupu-kupu di perutnya. Tangan Kirana memeluk leher Barra. Kirana menggigit bibirnya, menahan agar tidak ada desahan yang lolos lagi.
Lalu, tiba-tiba, Barra berhenti. "Sudah? Apakah sekarang kau sudah yakin?" tanya Barra setengah terengah.
Barra menatap bibir Kirana yang memerah. Ia menelusurinya dengan jempol.
Kirana mengangguk. Kirana bisa memastikan kalau hati dan tubuhnya mengingat Barra. Ada satu keyakinan muncul, Barra adalah benar suaminya.
Barra bangkit menjauhi Kirana. "Tidurlah, besok kita bersiap untuk pulang." ucapnya. Sorot mata Barra kembali dingin.
Barra segera berbalik kemudian mematikan lampu dan merebahkan tubuhnya di atas sofa. Ia menutupi mata dengan lengannya.
Sementara Kirana tidak bisa memejamkan mata. Tadinya, ia berpikir dengan meminta Barra menciumnya, bisa membuatnya lebih tenang. Ia bisa mengetahui perasaan Barra.
Kirana memang sudah yakin kalau Barra adalah suaminya. Tapi mengenai perasaan, kini ia malah tambah bingung.
Saat Barra menciumnya, Kirana yakin itu bukan sekedar nafsu. Walapun sedikit, Kirana merasakan ada cinta di dalamnya.
Tadi juga Barra bersikap lembut padanya. Namun, dalam hitungan detik, sikap Barra kembali berubah dingin. Barra membuat jarak. Ia kembali menjauh.
"Arggh..." Kirana menutup wajahnya dengan bantal.
**********
Kirana sudah siap. Ia duduk di atas kursi roda. Kirana mengenakan dress cantik warna soft pink dipadukan dengan cardigan pastel, yang dibawakan bu Wulan tadi pagi. Rambutnya dibiarkan terurai, dengan kepangan kecil di sisi kanan dan kiri. Ia memakai bedak dan memoleskan sedikit lipbalm di bibirnya. Kirana terlihat cantik.
Kirana tahu dari tadi Barra memandanginya dari balik ipad yang dipegangnya. Kirana sengaja dengan cepat menoleh pada suaminya.
"Ehem... " Barra berdeham saat tahu Kirana memergoki dirinya. Ia lalu mendekati bu Wulan. "Sudah semuanya Bu? Tidak ada yang tertinggal?"
Kirana tahu Barra mencoba menetralkan nada suaranya.
"Sudah Mas, Insya Allah tidak ada yang tertinggal."
"Pak Herman tolong masukkan semuanya ke dalam mobil."
"Iya Mas!" seru bapak yang dipanggil Pak Herman oleh Barra.
Menurut bu Wulan, pak Herman adalah supirnya bu Tanti. Barra memintanya datang untuk menjemput.
Sementara, Bu Tanti tidak pernah mengunjungi Kirana lagi. Dia hanya datang satu kali itu, ketika marah pada Barra. Kirana yakin ibu mertuanya itu betul tidak menyukainya.
"Sudah siap pulang?" Barra berjongkok di hadapan Kirana.
"Iya Mas, aku siap." Kirana tersenyum.
Barra mendorong kursi roda. Di luar, sudah berdiri beberapa orang. Perawat yang setia menjaganya selama lima bulan di rumah sakit. Suster Dian yang paling depan. Lalu, para terapis Kirana.
Air mata Kirana tidak terbendung. Rasa terima kasih rasanya tidak cukup untuk mengungkapkan besarnya bantuan mereka pada Kirana. Mendampingi dan memberikan support agar Kirana terus berjuang. Mereka adalah orang asing yang menjadi keluarga bagi Kirana.
"Mewakili istri saya, saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan semua orang. Terima kasih dengan tanpa lelah menjaga dan merawat istri saya. Saya tidak akan melupakan jasa kebaikan dari masing-masing perawat dan terapis," papar Barra.
Air mata Kirana menurun deras di pipinya. Suster Dian memeluknya. "Ini nomorku. Telepon aku jika kau membutuhkanku. Kita berteman sekarang," bisiknya sambil menyerahkan secarik kertas di tangan Kirana.
Kirana memberikan senyum hangat, dan mengangguk. Ia menyalami satu per satu orang yang bediri di sana sambil mengucapkan terima kasih.
Mereka kemudian memasuki lift. Bara menyentuh bahunya lembut. Kirana mendongkak menatap suaminya. Sorot mata Barra tenang dan lembut, membuat Kirana merasa aman. Ia akan pulang ke rumah. Ke rumahnya Bersama Barra.
Barra mengangkat tubuh Kirana masuk ke dalam mobil. Barra menyerahkan kursi roda pada security. Ia lalu duduk di sebelah Kirana, di belakang kemudi. Bu Wulan masuk ke dalam mobil yang dikendarai pak Herman.
Sepanjang perjalanan, keduanya tidak mengeluarkan suara. Kirana asyik melihat keluar jendela. Samar-samar, Kirana mengenali jalanan yang dilaluinya. Ia sudah tinggal di kota ini sejak lahir. Lalu, Barra membelokkan mobilnya masuk ke jalan tol.
Kirana menyipitkan matanya. Kondisi di kiri dan kanan jalan banyak yang berubah. Mungkin karena ingatan Kirana berdasarkan kondisi sepuluh tahun lalu. Seingat Kirana, di samping jalan tol adalah hamparan kebun yang luas. Kini, banyak bangunan tinggi menjulang.
Mendadak, rasa takut menyergapnya. Telapak tangannya menjadi dingin. Ia menggosok-gosok dan meniupnya berusaha agar lebih hangat.
"Kedinginan?" tanya Barra. Satu tangannya terjulur meningkatkan suhu mobil, lalu menggenggam jemari Kirana
Kirana menoleh. Ia membiarkan Barra menggenggam tangannya. Rasa hangat mulai terasa. Rasa yang dikenalinya.
Barra fokus melihat jalanan. Ekspresinya datar.