Yujin hanya ingin keluarga utuh dengan suami yang tidak selingkuh dengan iparnya sendiri.
Jisung hanya ingin mempertahankan putrinya dan melepas istri yang tega berkhianat dengan kakak kandungnya sendiri.
Yumin hanya ingin melindungi mama dan adiknya dari luka yang ditorehkan oleh sang papa dan tante.
Yewon hanya ingin menjalani kehidupan kecil tanpa harus dibayangi pengkhianatan mamanya dengan sang paman.
______
Ketika keluarga besar Kim dihancurkan oleh nafsu semata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caca Lavender, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Trauma
Langit pagi di atas kota Seoul tampak suram. Di ruang ICU rumah sakit pusat, suasana masih sunyi. Hanya suara mesin monitor dan ventilator yang berdetak pelan mengisi ruangan.
Di ranjang, Sumin terbaring dalam balutan selimut putih. Selang infus menempel di punggung tangannya. Napasnya pelan, tapi stabil. Matanya masih tertutup, wajahnya pucat dengan luka gores samar di pelipis dan pipi. Di sisi tempat tidur, Yujin tertidur dalam posisi duduk, tubuhnya melengkung lelah di atas ranjang.
Sekitar pukul enam pagi, suara detak jantung di monitor meningkat sedikit. Kelopak mata Sumin bergerak. Ia membuka mata perlahan. Pandangannya kabur, siluet lampu di langit-langit tampak seperti cahaya berlapis. Lalu, ia melihat Jihoon mendekat sambil tersenyum kepadanya.
Saat tubuh Jihoon semakin dekat, tubuh Sumin menegang. Nafasnya memburu. Dalam sepersekian detik, rasa takut dan trauma menyergap seperti petir.
"Jangan sentuh aku! Pergi! Pergi!"
Jeritannya nyaring dan panik. Ia mencoba bangkit dan menarik tubuhnya menjauh dari ranjang, tapi tangannya terikat oleh selang infus. Napasnya memburu dan matanya membelalak ketakutan.
Yujin terbangun kaget, "Minnie! Nak, ini mama. Tenang, sayang, tenang..."
Tapi Sumin tidak mendengar. Ia terus menjerit, menggeliat, menepis udara seperti melawan sosok tak kasat mata. Beberapa perawat masuk, diikuti oleh dokter jaga dan seorang psikolog klinis. Mereka memberikan obat penenang melalui infus sambil terus berbicara dengan suara lembut.
"Kamu aman sekarang, Sumin. Tidak akan ada yang menyakitimu lagi," kata psikolog itu sambil berjongkok sejajar dengan pandangan mata Sumin.
Perlahan, napas gadis itu melambat. Matanya mengantuk karena efek obat. Tapi bibirnya masih bergetar. Dan sebelum tertidur kembali, satu kalimat meluncur dari mulutnya dengan suara lirih, “papa…”
Yujin tak kuat berdiri. Ia mundur pelan ke dinding dan menutupi wajahnya. Tangis yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah.
“Tidak bisa dipaksa berinteraksi terlalu cepat. Dan sebaiknya tidak didekati oleh laki-laki sampai trauma awalnya tertangani,” ucap psikolog pada Yujin.
Yujin Hanya mengangguk, masih menangis dalam diam, “saya akan lakukan apa pun untuknya.”
...----------------...
Di ruang interogasi kantor polisi, dua orang pria dan wanita duduk di ruangan yang terpisah. Kim Jihoon dan Seo Hana.
Hana terlihat lusuh. Rambutnya berantakan dan pipinya cekung. Tangannya gemetar saat menerima segelas air dari penyidik. Ia sudah menangis sepanjang malam.
"Anda tahu apa yang dilakukan Kim Jihoon pada Kim Sumin?" tanya penyidik perempuan.
Hana mengangguk perlahan, “Jihoon menculik Sumin dan menyiksanya.”
“Dan memperkosa remaja yang merupakan anaknya sendiri,” sahut sang penyidik.
Mata Hana membola, “apa? Jihoon berlaku sejauh itu?”
"Nyonya Seo, kami menghargai kerja sama Anda di menit-menit terakhir. Tapi Anda tetap ikut serta dalam tindakan penyekapan terhadap anak di bawah umur."
Hana mengangguk pelan. Suaranya serak, hampir tak terdengar, “saya tahu. Saya … saya tidak seharusnya ikut. Tapi saya juga takut."
"Takut pada Kim Jihoon?"
Hana menggeleng, lalu mengangguk, “saya takut kehilangan dia. Takut kehilangan semuanya. Saya buta. Saya pikir, kalau kami bisa membuat semuanya kembali seperti dulu … kami akan hidup bahagia bersama dengan anak-anak kami."
"Anda tahu bahwa Kim Jihoon tidak waras?"
Hana terisak, “saya tahu sekarang. Tapi waktu itu … saya terus meyakinkan diri kalau ini semua demi keluarga kami."
Penyidik menghela napas pelan, “kapan Anda sadar bahwa yang kalian lakukan terlalu jauh?"
"Ketika saya lihat dia memandang Sumin ... bukan seperti ayah memandang anak. Waktu itu saya diam karena ingin mengelak apa yang saya lihat. Tapi dalam hati saya, saya ingin kabur, saya ingin berteriak," Hana menggigil, “dan ketika saya mendengar Jihoon sudah ditangkap, saya merasa lega. Lega karena Sumin bisa bebas. Tapi juga hancur karena saya membiarkannya terjebak terlalu lama."
"Anda akan tetap dihadapkan ke pengadilan. Tapi kami akan mencatat kerja sama Anda dalam proses penyelidikan ini."
Hana mengangguk. Ia tak menolak. Karena dalam hatinya, ia pun ingin dihukum. Untuk semuanya. Untuk membiarkan gadis remaja tak bersalah terseret ke dalam mimpi buruk yang seharusnya tidak pernah ada.
...🥀🥀🥀🥀🥀...