Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 28
Raka menggendong Aruna menuju rumah dengan hati-hati. Tubuh wanita itu masih sedikit menggigil, dan ekspresinya sesekali meringis menahan sakit di pergelangan kaki yang terkilir. Setibanya di depan rumah, Pak Yusron yang sedang menyapu halaman memandang heran, lalu segera menghampiri.
"Ada apa, Pak Raka? Ibu Aruna kenapa?" tanyanya cemas.
"Terpeleset di kebun, Pak. Hujan deras tadi membuat jalanan licin," jawab Raka sambil tetap melangkah masuk ke ruang tengah. Pak Yusron mengangguk dan membukakan pintu tanpa banyak bertanya lagi.
Setelah menidurkan Aruna di sofa dan memastikan kakinya sudah ditinggikan dengan bantal, Raka membetulkan selimut tipis di tubuh Aruna. Wanita itu menatapnya lemah, tapi sorot matanya tetap tenang.
"Raka," ucap Aruna lirih. "Kamu pulanglah. Aku baik-baik saja sekarang. Lagipula... aku tidak ingin orang lain salah paham. Bagas sedang tidak di rumah. Aku tidak ingin menambah masalah."
Raka menatapnya sejenak, ada keraguan dan rasa enggan untuk pergi. Tapi ia mengangguk pelan. "Baik, tapi kalau sakitnya makin parah, tolong hubungi aku ya, Bu."
Aruna hanya membalas dengan senyum kecil dan anggukan. Lalu Raka pun pamit, meninggalkan rumah dengan pikiran yang tak karuan.
Siang menjelang sore, Bagas yang sudah berada di wilayah Indonesia Timur, berulang kali mencoba menghubungi Aruna. Namun tak satu pun panggilannya dijawab. Semakin malam, perasaan tak tenang mulai menghantuinya. Ia pun akhirnya menelpon Pak Yusron.
"Pak Yusron, istri saya ada di rumah, kan?" tanya Bagas dengan suara yang terdengar mulai gusar.
"Ah, iya, Pak. Ibu terpeleset tadi siang di kebun. Untungnya ada Pak Raka. Beliau yang menolong menggendong dan mengantarkan ibu sampai ke rumah."
Hening sejenak di seberang sana.
"Lho… Pak? Halo?" Pak Yusron masih menunggu suara di seberang.
Namun, yang terdengar hanya bunyi sambungan yang tiba-tiba diputus. Tanpa ucapan, tanpa pamit. Pak Yusron menghela napas panjang. Ia bisa merasakan hawa kemarahan dalam nada suara Bagas yang terakhir.
Di tempat lain, Bagas mengepalkan tangan. Wajahnya gelap oleh amarah dan cemburu yang berkecamuk. Ia merasa kecolongan. Dan lebih dari itu ia merasa posisinya sebagai suami seakan sedang digeser oleh orang lain. Hatinya bergejolak. Tapi ia tahu, ini baru permulaan dari badai yang akan datang.
Rio yang sedang menyusun berkas-berkas di ruang kerja mendengar suara bentakan keras dari arah balkon penginapan mereka. Ia segera keluar dan melihat Bagas berdiri dengan ponsel yang baru saja ia lempar ke kursi.
"Woi, kenapa lo?" tanya Rio sambil mengangkat alis.
Bagas mengumpat pelan, matanya menyala marah. "Pria itu... gendong istriku yang keseleo di kebun katanya kepeleset! Dia ngapain sampai harus gendong Aruna segala?! Dia siapa?!"
Rio tertawa kecil, berusaha menenangkan suasana. "Lah… kalau Aruna terpeleset, ya wajar dong dia bantu. Lagian sekarang yang paling sering bareng Aruna ya cowok itu, lo juga tahu sendiri lo jarang ada di rumah."
Bagas menoleh tajam, wajahnya masih gelap. "Tapi tetap aja! Gue suaminya! Lo pikir gue nggak ngerasa aneh denger cewek gue diurusin cowok lain? Apalagi sampai digendong segala?!"
Rio hanya mengangkat bahu. "Kalau lo nggak suka, harusnya lo lebih sering di rumah. Atau... lo yakin Aruna masih ngerasa lo penting?"
Ucapan itu seperti tamparan. Bagas terdiam sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke arah laut yang bergelombang di kejauhan. Rahangnya mengeras.
"Aku nggak akan diam aja, Yo. Kalau pria itu berani ambil celah dari situasi ini... aku yang akan hancurkan dia."
Rio mengangguk pelan, tapi matanya tak lagi jenaka. Ia tahu, ini bukan sekadar rasa cemburu. Ini adalah peringatan akan konflik besar yang mulai mendidih di bawah permukaan.
Setelah emosinya sedikit mereda, Bagas duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya. Ia membuka daftar kontak dan menekan nama Aruna. Panggilan berdering cukup lama sebelum akhirnya tersambung.
"Ya, halo?" suara Aruna terdengar lemah, seperti menahan sesuatu.
"Kamu kenapa nggak ngangkat telepon dariku dari tadi?" suara Bagas terdengar tegang.
"Aku... maaf. Aku kelelahan tadi siang. Tadi terpeleset di kebun waktu hujan. Kaki sempat keseleo," jawab Aruna pelan.
Bagas diam beberapa detik. "Aku udah dengar dari Pak Yusron. Dan aku juga tahu siapa yang bantu kamu pulang."
Aruna menarik napas dalam. "Kalau kamu mau marah, silakan. Tapi saat itu hanya ada dia. Aku nggak bisa jalan sendiri."
"Dia terlalu sering dekat sama kamu," ucap Bagas dingin. "Aku nggak suka itu."
Aruna tidak menjawab. Hening.
"Aku pulang minggu depan," kata Bagas akhirnya. "Dan kita harus bicara."
Setelah menutup telepon, Bagas menatap layar beberapa saat. Ia lalu membuka panggilan dengan kontak bernama Pak Yusron.
Suara nada tunggu di ponsel Bagas berganti dengan sambungan yang terangkat.
“Halo, Pak Bagas?” suara Pak Yusron terdengar ramah dari seberang.
“Pak Yusron, saya mau bicara serius,” suara Bagas terdengar datar, tapi penuh tekanan. “Saya minta Bapak perhatikan betul-betul apa yang dilakukan pria itu... Raka... terhadap istri saya.”
Pak Yusron terdengar terdiam sejenak sebelum menjawab hati-hati, “Pak Raka itu orangnya baik, Pak. Selama ini saya lihat dia sangat sopan, bahkan menghormati Ibu Aruna seperti...”
“Sudahlah, Pak,” potong Bagas dengan nada agak tinggi. “Saya tidak tanya pendapat Bapak soal baik atau tidak. Saya cuma minta satu hal mata-matai dia. Apa pun yang dia lakukan dengan istri saya, laporkan.”
“Maaf, Pak,” suara Pak Yusron agak ragu. “Saya hanya menyampaikan apa yang saya lihat. Kalau saya salah... ya saya minta maaf. Tapi menurut saya, tidak ada yang mencurigakan dari Pak Raka.”
“Justru karena kamu terlalu percaya itu yang jadi masalah, Pak Yusron,” suara Bagas mengeras. “Saya butuh bukti. Dan saya tidak minta Bapak menilai. Saya minta Bapak jalankan saja. Saya akan beri bayaran tambahan kalau itu yang Bapak butuh.”
Pak Yusron diam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk, meski dengan suara berat, “Baik, Pak. Kalau itu sudah jadi perintah... saya akan perhatikan. Tapi... izinkan saya jujur, Pak. Sebenarnya, hati kecil saya nggak tenang melakukan ini. Ibu Aruna dan Pak Raka—keduanya orang baik.”
Bagas menghela napas panjang, “Lakukan saja. Jangan terlibat perasaan. Dan ingat, jangan sampai Aruna tahu.”
“Baik, Pak...”
Setelah telepon ditutup, Pak Yusron memandang ke luar, ke arah kebun yang mulai redup diterpa senja. Hatinya gamang. Ia merasa seperti dipaksa menjadi bagian dari sesuatu yang salah. Tapi statusnya sebagai pekerja membuatnya tak bisa menolak mentah-mentah.
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor