Salma dan Rafa terjebak dalam sebuah pernikahan yang bermula dari ide gila Rafa. Keduanya sekarang menikah akan tetapi Salma tidak pernah menginginkan Rafa.
"Kenapa harus gue sih, Fa?" kata Salma penuh kesedihan di pelaminan yang nampak dihiasi bunga-bunga.
Di sisi lain Salma memiliki pacar bernama Narendra yang ia cintai. Satu-satunya yang Salma cintai adalah Rendra. Bahkan saking cintanya dengan Rendra, Salma nekat membawa Rendra ke rumah yang ia dan Rafa tinggali.
"Pernikahan kita cuma pura-pura. Sejak awal kita punya perjanjian kita hidup masing-masing. Jadi, aku bebas bawa siapapun ke sini, ke rumah ini," kata Salma ketika Rafa baru saja pulang bekerja.
"Tapi ini rumah aku, Salma!" jawab Rafa.
Keduanya berencana bercerai setelah pernikahannya satu tahun. Tapi, alasan seperti apa yang akan mereka katakan pada orang tuanya ketika keduanya memilih bercerai nanti.
Ikuti petualangan si keras kepala Salma dan si padang savana Rafa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cataleya Chrisantary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menahan diri
27
Sebenarnya Salma belum jauh pergi dari tempat tinggal mereka. Karena ucapan Rafa tentang sneakers itu ada benar terbukti. Salma tidak kuat menahan dinginnya hawa di luar hingga ia berjalna cukup pelan.
Akan tetapi sialnya, saat Salma sedang berjalan pelan-pelan ada seekor kucing kecil yang tiba-tiba saja berlari dan mengejarnya. Reflek saat itu Salma naik ke sebuah pohon pinggir jalan.
Anak kucing tersebut nampa meloncat-loncat seolah meminta pertolongan. Lalu tidak lama datang seorang yang nampaknya pemilik kucing bertepatan dengan Rafa juga yang berlari.
Rupanya anak kucing itu memang memiliki tuan dan memang lepas. Sementara Salma yang takut kucing dan geli sekarang sedang menangis. Karena pertama ia dikejar oleh anak kucing dan yang kedua ia tidak bisa turun dari pohon itu.
“Gak bisa aku gak bisa turun!” kata Salma dibalut dengan tangisan. “Itu telalu tinggi.”
“Ya terus tadi kamu naiknya gimana kalau ini tinggi? Gak apa-apa, aku disini. Aku tangkap kamu pelan-pelan aja.”
“Aku gak mau masih ada kucing itu aku takut dia lari lagi ngejar aku.”
Rafa lalu berbicara denga warga lokal tersebut. Intinya mengatakan jika Salma takut kucing tersebut mengejarnya lagi. Dan Rafa juga mengatakan untuk tidak khawatir. Lalu warga lokal yang nampak tertawa itu pergi.
“Yu, turun. Dia udah bawa kucingnya kok. nggak apa-apa aku disini.”
Salma masih gak mau turun karena ia takut. Kali ini bukan takut kucing tapi takut jatuh.
“Sal, mau sampai kapan disini. Mau aku panggilin pemadam kebakaran baru mau turun?” kata Rafa agak kesal tapi adegan ini sungguh lucu.
“Tapi aku takut jatuh.”
“Nggak akan. Pohon ini gak tinggi. Coba turun pelan-pelan aku tankap kamu dari sini.”
Karena cuaca juga sudah dingin. Alhasil, Salma mencoba turun perlahan-lahan dengan memegang dahan. Lalu dari bawah sana Rafa menangkap pinggang Salma. Dan membantunya turun.
“Apa aku bilang. Pelan-pelan turunnya, aku jagain.”
Tapi Salma hanya diam sambil memajukan mulutnya. Campuran kesal, sedih, marah dan takut juga. Salma tidak mengucapkan terima kasih. Salma memilih untuk pergi saja untuk pulang. Dan lagi Salma tidak kuat dengan cuaca dingin hari ini.
Sudah sepelan dan sehati-hati apapun Salma, perempuan itu tetap jatuh juga karena pijakannya dingin. Salma jatuh terpeleset hingga ke tanah. Dengan sigap Rafa ingin mengankap tapi ia tidak bisa karena Salma sudah jatuh duluan.
“Apa aku bilang jangan pake sneakers gini. Kan kemarin aku udah beliin boots.”
Rafa menolong membantu Salma bangun. Salma tidak banyak bicara tapi Rafa yakin dalam hatinya Salma sekarang sedang mengeluh habis-habisan.
Salma pasti kesal luar biasa. Apalagi ketika sampai rumah ia sekarang memuntahkan air yang sedang ia minum.
“Aaaaaakh! Air apa ini?” kesal perempuan itu.
“Itu sparkling water. Jangan bilang kamu salah beli.”
Saking kesalnya Salma sekarang melemparkan botol itu ke lantai. Semua isi dari air itu sekarang meleber ke lantai. Salma terdengar menangis di dalam kamar. Sementara itu Rafa saat ini memilih untuk memersihkan dulu lantai sebelum ia ke kamar.
Rafa tahu pasti kehidupan disini sangat sulit untuk Salma. Apalagi, baru juga satu minggu Salma langsung di tinggalkan oleh Rafa selama empat belas hari. Ini pasti sulit bagi Salma, mencoba untuk membaur dengan cuaca, suasana serta culture yang pasti membuatnya shock.
Rafa lalu mengetuk pintu. “Aku masuk, yah,” kata Rafa.
Di dapatinya Salma tengah menangis sambil mebungkus dirinya dari kaki hingga kepala. Salma menangis sesegukan.
“Aku pengen pulang!” katanya dibalik lirihnya tangisan.
“Maaf kalau selama aku kerja kamu mengalami berbagai kesulitan. Maaf baru satu minggu disini aku sudah meninggalkan kamu. Aku juga gak mau tapi mau bagaimana lagi. Maaf udah buat kamu masuk dalam kekacuan ini.”
“Kapan kita cerai, Fa, kapan?” tanya Salma dibalut tangisan. “Aku gak mau gini terus. Aku gak mau tinggal disini. Aku pengen kehidupan aku. Ini bukan kehidupan aku, ini neraka buat aku.”
Betapa hancurnya hati Rafa mendengar kalimat perceraian dan sederet kalimat lainnya dari mulut Salma. Iya, seharusnya Rafa tidak kecewa dengan ucapan itu namun hatinya yang telah jatuh membuat Rafa terasa hancur seperti ini.
“Mulai dari aku datang ke sini sampai sekarang Rendra terus hubungin aku. Dia terus chat aku tapi aku gak bisa apa-apa. Aku belum bisa bales apapun chat dari dia. Aku gak bisa membalas perhatian dia ke aku karena kita belum ada kepastian masalah cerai. Kapan kita cerai, Fa? Aku gak kuat kalo kayak gini terus.”
Rafa menarik nafasnya pelan. “Aku juga gak mau gini. Tapi aku mohon bertahan dulu sebentar setidaknya sampai mama menghembuskan nafas terakhirnya.”
“Kapan? Aku butuh kepastian, Fa?”
Sakit rasanya mendengar kalimat Salma barusan. Seolah Salma mengharapkan mama Nanda meninggal secepatnya. Namun, Rafa mengerti bukan itu maksud Salma. Salma hanya menginginkan kepastian yang absolut.
Sementara menunggu mama Nanda tutup usia sama saja seperti menunggu kapal yang akan karam. Rafa mengerti yang Salma inginkan adalah sebuah kepastian seperti sebuah angka yang diucapkan dengan mantap.
“Kamu tahu, mama itu kankernya udah masuk stadium empat. Dan aku juga bukan berkamsud mendoakan mama cepet pulang tapi siapa yang bisa bertahan lama melawan kanker stasium 4. Sabar aja, gak akan lama.”
Kamudian Rafa sempat menepuk bagian pungung Salma yang berada dibawah selimut. Jujur saja Salma agak sedikit tidak enak akan jawaban Rafa barusan. Apalagi sekarang Rafa keluar.
Salma tidak bermaskud mendoakan mama Nanda meninggal lebih cepat, tidak. Hanya saja Salma benar-benar butuh kepastian. Layaknya Rafa menyebutkan misalkan setelah pernikahan mereka berumur satu tahun atau lebih.
Salma merasa bersalah. Tangisannya berhenti dan sekarang Salma juga keluar dari dalam dekapan selimut yang ia pakai untuk bersembunyi. Salma sekarang duduk dan melihat Rafa tengah minum di arae meja makan.
Salma melihat Rafa rupanya meminum bir yang ia beli tempo hari. Salma berinisitip bergabung dengan Rafa mencoba untuk santai meskipun ia kesal dan benci Rafa. Namun Salma merasa bersalah atas ucapannya tadi yang seolah-olah menginginkan mama Nanda meninggal dalam waktu cepat.
Salma duduk di depan Rafa tanpa bicara lalu main minum bir dari dalam botol langsung. Salma sempat meringis mungkin kaget dengan rasanya. Namun, Rafa sudah tahu harga diri Salma itu tinggi jadi ia paksakan untuk menelannya.
“Sejak kapan kamu minum alkoho gini?” tanya Rafa lalu menuangkan isi beer yang barusan Salma tenggak ke dalam gelas.
Namun, Salma tidak bersuara. Perempuan itu diam menatap botol. Dan sudah Rafa duga jika Salma kembali salah membeli sebuah minuman. Mungkin ia kira ini adalah bir biasa yang tidak mengandung alcohol.
“Jangan bilang kamu salah beli lagi.”
“Nggak!” elak Salma dengan cepat. Salma tidak pernah ingin terlihat salah apalagi sekarang di hadapan Rafa. “Aku dengar Alkohol bisa mengehangatkan tubuh. Aku hanya ingin tahu apkah itu mitos atukah fakta.”
“Dan hasilnya?” Rafa kembali melempar pertanyaan namun tidak di jawab lagi oleh Salma.
Karena Salma kepalang malu jadi, salahnya Salma adalah kembali menenggak minuman itu ke dalam perutnya meskipun rasanya benar-benar pahit dan aneh untuk orang yang baru pertama kali mencoba bir yang kadar alhokolnya cukup tinggi untuk seorang yang baru pertama kali beli.
“Aku gak maksud bilang dan mendoakan ibu kamu cepet meninggal,” kata Salma membuka percakapan. “Aku hanya... aku hanya butuh kepastian saja kapan kita akan bercerai.”
Perlahan tapi pasti Salma kembali meminum dari dalam botol itu. Perlahan tapi pasti tubuhnya terasa hangat dan panas pun dengan pipinya.
Sementara itu Rafa hanya diam saja melihat ekpresi Salma saat ini. Ia hanya tersenyum tipis membiarkan Salma melakukan apapun sesuka hatinya. Apalagi tadi Salma berkata ia hanya sedang bereksperimen membuktikan sebuah mitos.
Satu tenguk... dua tenguk. Hingga akhinya setengah botol dihabiskannya oleh Salma. Dan Rafa pada waktu itu mengimbangi Salma akan tetapi karena Rafa diam-diam terbiasa minum alkohol jadi tubuhnya tidak bereaksi apapun.
Kepala Salma terasa begitu ringan saat ini. Salma mencoba menatap Rafa dengan memecing matanya berusaha untuk fokus. Bibir Rafa pada saat itu membuka seoalah sedang bertanya pada Salma namun, telinganya benar-benar tidak mendengar apapun. Hingga Salma menjawab sekenanya saja.
“Aku hanya pusing,” katanya lalu perempaun itu berdiri.
Rafa tau Salma akhirnya mabuk berat. Salma tidak kuat lagi untuk sekedar berdiri, alhasil Rafa yang membantunya untuk ke kamar. Namun, Pada saat Salma akan masuk kamar, Salma malah muntah.
Habis sudah baju dan celana Rafa terkena muntah Salma. Salma meracau tidak karuan. Bukan Cuma baju miliknya, tapi baju Salma juga semuanya penuh akan muntahannya.
Rafa sadar tidak mungkin Salma ataupun dirinya tidur dalam keadaan seperti ini. ini memang masih siang. Tapi Sudah dipastikan Salma akan tertidur dalam waktu yang cukup panjang.
Rafa mau tidak mau harus membawa Salma ke kamar mandi dan membersihkan Salma yang tubuhnya penuh dengan muntah. Hanya saja, Rafa tidak yakin akan menahan dirinya, nanti.
Bersambung
Ini kita dibuat Rafa bisa nahan diri atau jangan nih wkwkwk