Hanum Salsabila, seorang dosen cantik harus menerima kenyataan jika ia harus dijodohkan dengan seorang CEO. Ia hanya bisa pasrah dengan ketegasan Halim sang ayah yang membuatnya tidak berdaya.
Ravindra Aditama, CEO yang begitu membenci perjodohan. Ia bersumpah akan mengerjai Hanum sampai ia puas dan pergi meninggalkan negeri ini setelahnya.
Kisah cinta mereka baru saja dimulai, namun Tama harus menerima kenyataan jika Hanum lebih memilih untuk berpisah darinya.
Akankah mereka bisa mempertahankan rumah tangga atau memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bucin fi sabilillah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan berhianat
Hanum langsung menghubungi Alfizi dan meminta maaf karena ia sungguh melupakan janji itu.
"Tidak apa, Bu. Hmm, mungkin lain kali saja kita membuat janji," ucap Alfizi di balik telepon.
"Saya tidak enak sama Bapak. Ini sudah sangat larut, saya sungguh minta maaf!" ucap Hanum penuh sesal.
"Tidak apa, jangan jadikan beban ya. Istirahatlah, Bu. Ini sudah larut," ucap Alfizi di balik telepon.
Hanum berpamitan dan langsung menutup panggilan itu. Ia mengutuki diri karena lupa dengan janji yang sudah ia buat.
Namun di satu sisi, ia memikirkan jika Tama bisa menguasai waktu yang ia miliki. Laki-laki itu bisa membuatnya lupa dengan hal lain walaupun hanya duduk di sampingnya.
Tanpa ia sadari jika Tama berdiri di pintu kamarnya dan melihat bagaimana Hanum meminta maaf dengan penuh penyesalan.
Ia mengeraskan rahang karena Hanum tidak pernah bersikap se normal itu kepadanya. Ia merasa ingin menghantam dosen laki-laki yang mendekati istrinya.
Hanum terlonjak kaget melihat Tama yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan wajah datar tanpa ekspresi.
"Ada apa?" tanya Hanum ketus.
Tama berdiri tanpa mengeluarkan kata-kata. Ia berjalan masuk dan menatap Hanum dengan lekat.
"Siapa yang menghubungi Ibu?" tanya Tama.
"Itu Pak Alfizi, kenapa?" ucap Hanum.
"Tidak. Besok saya berangkat jam 4 pagi, jadi ibu hati-hati di rumah, jangan bawa pacar ibu ke rumah ini," ucapnya dengan wajah datar.
Hanum mengernyit mendengar ucapan Tama. Ia hanya mengangguk dan tidak menjawab lagi perkataan suaminya itu.
Tama merasa kesal dengan respon Hanum. Ia menghela napas sembari mengepalkan tangan dan langsung pergi dari kamar itu.
Malam yang semakin larut berbalutkan suasana hening, Hanum duduk di gazebo belakang rumah. Ia ingin berpikir jernih di sini, menata hidup ke depan agar ia bisa menentukan pilihan setelah ini.
Berulang kali ia beperang dengan hati dan pikiran, memilih untuk menerima semua ini atau tidak. Hanya helaan napas yang terdengar begitu lelah menghadapi kenyataan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Semoga waktu bisa menjawab semua ini. Tuhan, jika dia memang engkau takdirkan untuk menjadi suamiku selamanya, dekatkanlah kami. Tapi jika dia bukan jodohku, jauhkanlah kami dengan cara terbaik. Batin Hanum.
Tanpa terasa air matanya menetes dan mengalir bebas di pipi mulus itu. Berulang kali ia menghela napas dan menahan diri untuk tidak terisak di sana.
Hingga ia memilih masuk ke dalam rumah dan segera beristirahat, sebab ia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kejutan hari esok yang tidak pernah bisa ia tebak.
Tanpa disadari, Tama berdiri di balkon dan memperhatikan sang istri dari atas. Dengan begitu banyak pertanyaan yang berputar di dalam kepalanya, namun ia memilih untuk diam dan tidak mengganggu Hanum di sana.
Bahkan ketika Hanum masuk ke dalam kamar pun, ia masih berdiri dengan tatapan nanar.
Apa yang harus aku lakukan jika memang dia meminta berpisah setelah 6 bulan?. Harga diriku terlalu tinggi untuk mengemis dan mempertahankannya. Batin Tama.
Matanya seolah enggan untuk terpejam, ia menatap langit sembari menghela napas panjang berulang kali. Masalah di perusahaan sudah terlalu banyak, dan bahkan semakin banyak setelah menikah.
Bukankah menikah itu mencari kebahagiaan? Kenapa sekarang aku merasa buang-buang waktu dan lebih pusing dari sebelumnya. Batin Tama.
Ia mengusap wajah kasar, karena pikirannya merasa tidak tenang saat ini. Namun, perhatiannya teralihkan ketika melihat pesan masuk yang sudah ia tunggu sejak tadi.
"Orang yang memberikan anda obat perangsang sudah saya temukan, Pak. Apa yang harus saya lakukan sekarang?" tulis pesan tersebut.
Tama membaca identitas orang yang telah menjebaknya, dan tersenyum jahat karena mulai menyusun rencana yang mungkin akan sedikit berbahaya untuk memberikan pelajaran kepada mereka.
"Biarkan saja! Besok akan saya urus!" balas Tama.
Ia memaksakan diri untuk terlelap karena ia tidak boleh terlambat barang sebentar saja.
Hingga waktu sudah menunjukkan pukul 03.30 dini hari, Tama terbangun karena suara alarm yang sangat keras. Ia segera bersiap dengan mata yang masih mengantuk.
Ini masih terlalu pagi untuk beraktivitas. Tanpa berpamitan kepada Hanum, ia langsung pergi bersama dengan supir perusahaan.
"Mbak, titip ibu ya! Jangan biarkan dia melakukan hal aneh-aneh nanti!" titah Tama sebelum benar-benar meninggalkan rumah untuk sementara waktu.
"Baik, Pak! Hati-hati di jalan," ucap Mbak Nini.
Bunyi deru mobil itu membuat Hanum terbangun, ia langsung berjalan keluar dan melihat kepergian Tama.
Ada perasaan aneh yang hinggap di hatinya ketika Tama tidak berpamitan. Walaupun semalam ia sudah mengatakannya, namun mbak Nini terlihat lebih spesial dibandingkan dirinya.
"Apa bapak sudah pergi, Mbak?" tanya Hanum.
"Iya, Bu. Baru saja. Apa bapak tidak berpamitan?" tanya Mbak Nini.
"Sudah," jawab Hanum singkat.
Mbak Nini mengangguk dan berpamitan untuk ke dapur dan membuat sarapan.
Hanum masih menatap ke luar jendela, berharap Tama kembali dan berpamitan kepada dirinya.
Namun sebentar ia tersentak dengan pemikirannya barusan. Dengan segera ia kembali ke kamar dan kembali beristirahat di sana.
Hati, jangan sampai kau berhianat kepada tuanmu!. Batin Hanum.