Genre : Misteri, Thriller, Psikologis, Supranatural
Sinopsis :
Setelah suaminya meninggal didalam kecelakaan yang tragis. Elysia berusaha menjalani kehidupan nya kembali. Namun, semuanya berubah ketika ia mulai melihat bayangannya bertingkah aneh dan bergerak sendiri, berbisik saat ia sendiri, bahkan menulis pesan di cermin kamar mandinya.
Awalnya Elysia hanya mengira bahwa itu halusinasi nya saja akibat trauma yang mendalam. Tapi ketika bayangan itu mulai mengungkapkan rahasia yang hanya diketahui oleh suaminya, dia mulai mempertanyakan semuanya. Apakah dia kehilangan akal sehatnya ataukah ada sesuatu yang jauh lebih gelap yang sedang berusaha kuat untuk berkomunikasi dengannya.
Saat Elysia menggali hal tersebut lebih dalam dia menunjukkan catatan rahasia yang ditinghalkan oleh mendiang suaminya. Sebuah pesan samar yang mengarah pada sebuah rumah tua dipinggiran kota. Disanalah ia menemukan bahwa suaminya tidak mati dalam kecelakaan biasa. Akan kah Alena mendekati jawabnya???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azka Maftuhah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 - SUARA DARI ARSIP YANG TERBAKAR
Elysia tengah berdiri di depan sebuah gedung tua yang telah lama ditinggalkan. Plang yang hampir lepas bertuliskan : Pusat Riset Neuro-Psikis – Fakultas Psikologi dan Sains Kognitif.
Gedung itu seharusnya telah ditutup bertahun tahun yang lalu, usai kebakaran misterius yang katanya menghanguskan semua arsip penelitian tentang “eksperimen bawah sadar.” Tapi hari ini, ia datang dengan harapan menemukan serpihan jawaban yang ia cari.
Ia menatap Satrio yang berdiri di belakangnya. “Kau yakin masih ada yang tersisa di sini?”
Satrio mengangguk pelan. “Sebagian besar hangus. Tapi tidak semuanya. Ada satu ruang penyimpanan yang dulu dikunci dan… tidak pernah dicantumkan dalam laporan.”
Langkah mereka bergema dalam lorong yang berdebu. Cahaya matahari menyelinap dari atap yang bolong, menyoroti dinding penuh retakan. Elysia menggenggam tas kecil berisi senter dan catatan—catatan yang ia temukan di dalam buku harian Resa, tersembunyi di balik rak tua di rumah mereka.
Salah satu catatan itu berbunyi:
> "Jika aku menghilang, cari tempat di mana suara tak pernah tidur. Di sana, aku masih bicara."
Mereka menemukan ruang penyimpanan tersembunyi di belakang dinding palsu perpustakaan riset. Di dalamnya, suhu terasa jauh lebih dingin. Deretan lemari logam tua dan tape recorder yang berdebu masih berjajar rapi. Bau logam dan kertas tua memenuhi udara.
Elysia menarik satu laci yang tertulis “Subjek: RM-7.”
“Resa Mentari,” bisiknya.
Satrio mengambil kaset kecil yang masih utuh dan memasukkannya ke tape recorder. Suara kresek terdengar, lalu suara perempuan muda, gugup—berbicara.
> “Hari ke-12. Aku masih belum bisa memisahkan suara-suara di kepalaku. Ada yang bukan milikku… tapi mereka tahu namaku. Mereka tahu ketakutanku.”
Elysia menahan napas. Itu suara Resa.
Rekaman itu dilanjutkan dengan suara pria dewasa. “Apa yang kau lihat saat tidur semalam?”
> “Cermin. Tapi bukan pantulan. Aku melihat Elysia. Dia berdarah. Dan… aku tersenyum.”
Elysia langsung menoleh pada Satrio dengan mata terbelalak. “Dia melihat masa depan?”
Satrio mengangguk, matanya berat. “Atau… dia dimasukkan ke dalam eksperimen yang menghubungkan bawah sadar dengan dimensi bayangan. Proyek ini tidak hanya menguji trauma, tapi juga pintu antara realitas dan kegelapan.”
Elysia menggenggam dadanya. Rasa bersalah dan ngeri menyatu dalam dirinya.
Namun rekaman belum selesai.
Suara Resa kembali terdengar.
> “Mereka bilang aku tidak sendiri di kepalaku. Tapi aku tahu, jika aku berhenti bicara… aku akan benar-benar menghilang. Jadi jika ada yang mendengar ini—aku masih di sini. Tolong, Elysia…”
Tape itu mati.
Sunyi menggantung di ruangan seperti kabut.
Elysia menatap kaset itu dengan tangan gemetar. Di balik suara adiknya, ia mendengar harapan terakhir dari seseorang yang telah kehilangan segalanya—bahkan dirinya sendiri.
Satrio menghela napas. “Kau tahu apa artinya ini, ‘kan?”
Elysia mengangguk perlahan. “Resa tidak hanya korban. Dia sebuah kunci.”
“Kunci untuk membuka semuanya,” lanjut Satrio. “Proyek, organisasi, dan orang-orang yang masih mengontrol dari balik layar.”
Elysia memandangi ruangan itu sekali lagi. Dalam bayang-bayang arsip yang terbakar, ia menemukan suara yang tak padam.
Dan sekarang, ia tahu langkah selanjutnya.
Bukan untuk balas dendam.
Tapi untuk kebenaran.
Yang mungkin akan menuntut segalanya darinya.
Setelah keluar dari ruangan penuh kaset dan arsip gelap itu, Elysia dan Satrio duduk di depan beranda gedung yang setengah runtuh. Senja mulai turun, menumpahkan warna jingga yang kontras dengan bayangan yang mengintai di sudut-sudut pikirannya.
Elysia menatap langit. “Kalau semua ini benar… maka ada yang memanfaatkan Resa. Bahkan mungkin sejak ia kecil.”
Satrio membuka berkas kecil yang tadi ia selipkan ke dalam ransel. “Aku menemukan ini di salah satu laci tersembunyi.” Ia mengeluarkan selembar kertas kuning kecokelatan dengan daftar nama dan kode.
Nama-nama itu tidak asing.
“Ada nama dosen Resa di sini…” gumam Elysia. “Dan… tunggu. Ini… nama ibu angkatku?”
Satrio memandangnya dalam. “Ini bukan sekadar eksperimen universitas. Ini jaringan.”
Elysia merasakan perutnya bergejolak. Dunia yang ia kenal perlahan-lahan melepaskan topengnya. Orang-orang yang ia percayai, yang membentuk masa lalunya, ternyata adalah bagian dari sebuah skema manipulasi bawah sadar, trauma, dan dimensi alternatif.
“Berarti… aku juga bagian dari eksperimen ini?” bisiknya.
Satrio menatapnya lama sebelum menjawab, “Mungkin bukan bagian yang dirancang. Tapi dampaknya... menyebar ke semua yang terhubung dengan Resa.”
Elysia terdiam. Ingatan masa kecilnya perlahan muncul seperti potongan puzzle. Ruang terapi. Gambar-gambar aneh yang disodorkan. Pertanyaan yang tidak cocok untuk anak seusianya.
Dan suara seorang wanita lembut yang berkata, “Kamu harus jadi kuat, karena adikmu takkan bisa.”
Di malam harinya, Elysia kembali ke rumah dan membuka kotak-kotak lama yang selama ini ia simpan di gudang. Di antara tumpukan foto dan buku harian tua, ia menemukan sepucuk surat yang belum pernah dibuka—tertulis tangan dengan tinta yang hampir pudar.
> Untuk Elysia, jika suatu hari kau merasa dunia tak lagi masuk akal, bukalah ini, dan temukan aku.
- R.M.
Elysia memutar surat itu dan menemukan sebuah catatan koordinat. Ia langsung menghubungi Satrio, yang menyambutnya dengan ketegangan.
“Koordinat ini mengarah ke sebuah rumah sakit jiwa yang telah ditutup 12 tahun lalu,” ujar Satrio. “Tempat di mana banyak dari pasien ‘eksperimen proyek bayangan’ terakhir kali terlihat.”
Elysia mengepalkan tangannya.
“Besok pagi… kita ke sana.”
Malam itu, sebelum tidur, Elysia menatap cermin kecil di kamarnya.
Tak ada bayangan aneh. Tak ada suara.
Namun… ada sensasi halus. Seolah cermin itu mengamati, bukan memantulkan.
Ia mengambil pena dan menulis di jurnalnya:
> Hari ini aku mendengar suara Resa dari masa lalu. Ia masih hidup dalam bayangan yang tidak bisa dijelaskan oleh logika manusia.
Tapi aku tak lagi takut. Karena semakin dalam aku masuk ke kegelapan… semakin aku tahu, ada cahaya kecil yang menunggu.
Dan mungkin… cahaya itu adalah aku.
Ia menutup bukunya dan memejamkan mata. Esok, ia akan menantang bab baru, dunia yang menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang bisa ia bayangkan.
Namun satu hal pasti :
Resa belum selesai berbicara.
Dan Elysia belum selesai mendengar.
Di kamar yang remang, Elysia kembali terbangun dari tidurnya. Ia duduk termenung sambil menatap berkas-berkas yang ditemukan siang tadi. Ia menyalakan lampu meja dan membuka satu amplop tua yang tak bertuliskan alamat pengirim, hanya inisial : R.M.
Tangan Elysia bergetar saat menarik isinya—bukan hanya satu surat, tapi tiga, masing-masing ditulis pada waktu yang berbeda. Tulisannya halus, tapi terlihat goyah. Seperti seseorang yang mencoba menyampaikan pesan di tengah ketakutan.
> Elysia, mereka bilang aku tidak boleh bicara. Tapi aku tahu kamu akan mencari. Jadi aku tinggalkan jejak ini. Kalau kamu membaca ini, berarti aku gagal lepas. Tapi kamu bisa. Jangan percaya siapapun yang mengaku tahu segalanya. Mereka cuma ingin menghapus kita, bukan menyelamatkan.
> – Resa
Surat kedua ditulis lebih emosional. Tinta mengalir deras, seperti bekas hujan air mata.
> Hari ini aku bermimpi tentangmu. Kamu berdiri di tengah api, tapi tidak terbakar. Aku mencoba memanggilmu, tapi mulutku terkunci. Mereka memaksaku melihat hal-hal yang tidak nyata. Atau mungkin… terlalu nyata untuk dunia ini. Jika kamu datang ke tempat itu, hati-hati. Mereka tak semuanya manusia.
Elysia menatap kata terakhir: tidak semuanya manusia.
Ia menggigil, bukan karena dingin, tapi karena satu pikiran menghantam keras kepalanya.
Bagaimana kalau yang selama ini mereka hadapi… bukan hanya trauma? Tapi entitas yang memakan trauma itu sendiri?
Surat ketiga adalah yang paling pendek, dan isinya hanya beberapa kalimat:
> Mereka akan mengincar yang membawa kebenaran ke cahaya. Lindungi cahaya itu, bahkan jika kamu harus masuk ke dalam bayangan.
Elysia memeluk surat itu ke dadanya. “Aku akan lindungi… apa pun itu."
Pagi hari berikutnya, Elysia dan Satrio tiba di lokasi berdasarkan koordinat dari surat sebelumnya. Sebuah bangunan tua berdiri seperti luka yang belum disembuhkan, dipenuhi grafiti, dan ditumbuhi rumput liar. Gedung itu bukan sekadar rumah sakit jiwa yang terbengkalai—itu adalah tempat rahasia dari eksperimen masa lalu.
“Tempat ini… pernah dikunci secara permanen setelah kebakaran. Tapi catatan kematiannya tidak lengkap,” ucap Satrio.
Pintu tua berderit saat mereka mendorongnya. Di dalam, aroma kayu hangus masih terasa samar. Ruangan-ruangan berjejer dengan ranjang besi berkarat dan sisa-sisa tali pengikat pasien.
Elysia berhenti di satu kamar, di mana temboknya dipenuhi coretan tangan.
Di antara simbol-simbol tak dikenal, satu kalimat ditulis berulang kali:
> Cermin bukan akhir. Ia hanya pintu pertama.
Mereka menyusuri lorong demi lorong, hingga sampai di ruangan bawah tanah yang terkunci gembok.
Satrio mengambil linggis dari tasnya dan menghancurkan gembok itu.
Saat pintu terbuka, hawa dingin menyambut mereka.
Ruangan itu… penuh cermin. Tapi bukan seperti yang mereka temui sebelumnya—semuanya pecah, kecuali satu yang tertutup kain hitam.
Satrio melangkah hati-hati. “Ini… seperti tempat pengujian. Tapi kenapa masih ada satu yang utuh?”
Elysia menatapnya. “Karena masih ada satu jiwa yang belum selesai."
Mereka mendekat ke cermin tertutup itu. Elysia perlahan menyentuh kainnya, jantungnya berdegup tak karuan.
“Kalau ini memang cermin yang terakhir… bisa jadi ini satu-satunya jalan untuk mengungkap segalanya.”
Satrio menahan napas. “Tapi kau tahu risikonya.”
“Aku tahu.” Elysia menatapnya. “Tapi aku lebih takut membiarkan kebenaran terkubur.”
Ia menarik kain itu.
Dan saat cermin terakhir menampakkan diri—tidak ada bayangan. Hanya cahaya.
Namun dalam pantulan itu, mereka melihat ruangan berbeda. Versi lain dari tempat mereka berdiri. Lebih terang, lebih bersih… dan di dalamnya berdiri seorang wanita berpakaian putih, menatap langsung ke arah mereka.
Itu adalah Resa.
Namun bukan Resa yang mereka kenal.
Resa… yang dewasa, penuh luka, tapi dengan mata yang membara oleh pengetahuan dan rahasia.
Ia tidak bicara. Tapi gerakan bibirnya jelas.
> Temui aku di balik Cahaya.
Cermin itu berkedip.
Dan perlahan mati.