Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*BAB 9: RACUN YANG MANIS**
# *
Dalam dua minggu berikutnya, Kiara menjadi satu-satunya alasan Alara bertahan.
Setiap pagi di kantor, Kiara selalu menyapa dengan senyum hangat—senyum yang membuat hari Alara terasa sedikit lebih cerah. Mereka makan siang bersama hampir setiap hari. Kiara selalu punya cerita menarik, selalu tahu cara membuat Alara tertawa—sesuatu yang sudah lama tidak Alara rasakan.
Dan perlahan, tanpa sadar, Alara mulai membuka diri.
---
**HARI RABU, MINGGU KELIMA**
"Ayo, aku traktir makan siang di luar," kata Kiara sambil menghampiri meja Alara. "Kita perlu keluar dari gedung ini sebentar. Kalau terus-terusan di kantin, nanti kamu bosan lihat mukaku."
Alara tertawa kecil—tawa yang genuine. "Aku nggak bosan kok."
"Sudah, ayo. Aku kenal tempat bagus. Italian food. Kamu suka pasta kan?"
Alara mengangguk. Sebenarnya ia jarang makan di luar—budget pas-pasan meski sudah jadi istri Nathan. Karena Nathan tidak pernah memberinya akses ke rekening bersama. Hanya uang bulanan yang cukup untuk kebutuhan dasar.
Tapi ia tidak bilang itu pada Kiara.
Mereka pergi ke sebuah restoran kecil di daerah Menteng—tempat yang cozy dengan dekorasi vintage dan aroma basil yang menenangkan. Kiara memesan untuk mereka berdua—carbonara dan aglio olio, dengan dua gelas lemon tea.
"Tempat ini dulu... tempat favoritku," kata Kiara sambil memainkan jemarinya di bibir gelas. Ada nada nostalgia di suaranya. "Lima tahun lalu, aku sering ke sini."
Alara menatapnya penasaran. "Dengan siapa?"
Kiara tersenyum—senyum yang tipis, ada kepahitan terselubung di sana. "Dengan seseorang yang... dulu sangat berarti bagiku."
Ia tidak melanjutkan, dan Alara tidak mendesak. Ia mengerti—ada luka yang tidak ingin disentuh.
Makanan datang. Mereka makan sambil mengobrol ringan—tentang pekerjaan, tentang desain terbaru Alara, tentang rencana ekspansi divisi marketing. Tapi di tengah percakapan, Kiara tiba-tiba bertanya:
"Alara... kamu bahagia?"
Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba. Terlalu personal.
Alara berhenti mengunyah. Tangannya memegang garpu dengan lebih erat. Ia menatap piringnya, mencari jawaban yang tepat.
"Kenapa tanya begitu?" tanyanya pelan, menghindari.
"Karena aku lihat matamu," kata Kiara lembut. "Matamu... sedih, Alara. Setiap hari. Kamu tersenyum, kamu tertawa, tapi matamu tidak pernah ikut tersenyum."
Kata-kata itu menohok tepat di jantung. Alara merasakan tenggorokannya tercekat. Ia meletakkan garpunya, tangannya bergetar sedikit.
"Aku... aku baik-baik saja," jawabnya—jawaban otomatis yang sudah ia hafalkan.
"Alara..." Kiara meraih tangan Alara di atas meja, menggenggamnya lembut. "Kamu tidak perlu berpura-pura di depanku. Aku tahu rasanya... hidup dalam pernikahan yang tidak bahagia."
Alara mengangkat wajah, menatap Kiara dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kamu... kamu pernah menikah?"
"Tidak," jawab Kiara pelan. "Tapi aku pernah jatuh cinta pada seseorang yang tidak bisa mencintaiku kembali. Aku tahu rasanya... memberikan segalanya tapi tidak pernah cukup."
Ada air di mata Kiara—air yang membuat Alara yakin bahwa wanita ini mengerti. Benar-benar mengerti.
Dan di saat itulah, pertahanan Alara runtuh.
"Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Kiara," bisik Alara, suaranya bergetar. "Aku lelah. Aku sangat lelah."
Air matanya mulai jatuh—tidak tertahankan lagi. Kiara menggenggam tangannya lebih erat, membiarkan Alara menangis.
"Nathan... dia tidak pernah melihatku. Aku tinggal satu rumah dengannya, tapi aku seperti hantu. Dia pulang larut, atau tidak pulang sama sekali. Dia tidak pernah tanya bagaimana hariku. Dia tidak pernah peduli aku disakiti orang-orang di kantor..."
Alara mengusap air matanya kasar, tapi terus mengalir.
"Aku tahu ini pernikahan kontrak. Aku tahu dia tidak mencintaiku. Tapi aku tidak menyangka... tidak menyangka akan sesakit ini. Rasanya seperti... seperti aku mati perlahan setiap hari."
Kiara mengelus punggung tangan Alara dengan lembut—gerakan yang menenangkan. "Aku paham, sayang. Aku sangat paham."
"Kadang aku berpikir..." Alara tertawa pahit di tengah tangisnya. "Kadang aku berpikir, lebih baik aku membiarkan perusahaan ayah hancur. Setidaknya aku tidak perlu... tidak perlu hidup seperti ini."
"Jangan bilang begitu," kata Kiara lembut tapi tegas. "Ayahmu pasti bangga dengan pengorbananmu. Kamu bertahan demi mimpinya. Itu mulia, Alara."
Alara menggeleng. "Tapi dengan harga apa? Kebahagiaan aku? Harga diriku?"
Hening sejenak. Kiara menatap Alara dengan tatapan yang sulit dibaca—ada simpati di sana, tapi juga... ada yang lain. Sesuatu yang gelap, sesuatu yang terselubung.
"Nathan memang... sulit," kata Kiara akhirnya, nada bicaranya hati-hati. "Dia pria yang... complicated. Aku tahu itu."
Alara mengangkat wajah, menatap Kiara. Ada sesuatu di nada bicaranya. "Kamu... kenal dia?"
Kiara terdiam sejenak—terlalu lama. Lalu ia tersenyum tipis. "Aku pernah bekerja dengannya. Lima tahun lalu. Sebelum aku resign."
"Dia seperti apa... dulu?" Alara tidak tahu kenapa ia bertanya. Tapi ada bagian darinya yang ingin tahu—ingin tahu apakah Nathan pernah... berbeda.
Kiara menatap ke arah jendela, pandangannya jauh. "Dia... lebih hangat. Masih bisa tersenyum. Masih bisa tertawa." Ia berhenti sejenak. "Tapi ada... kejadian yang mengubahnya. Sesuatu yang membuatnya membangun tembok tinggi di sekitar hatinya."
"Kejadian apa?" Alara berbisik, jantungnya berdegup kencang.
Kiara menatap Alara lama—tatapan yang penuh perhitungan, meski wajahnya tetap lembut. "Dia... ditinggalkan oleh seseorang yang sangat ia cintai."
Jantung Alara berhenti sedetik. Foto itu. Foto yang Nathan marah besar waktu ia sentuh.
"Wanita di foto itu..." Alara tidak menyadari ia berbicara keras. "Wanita berambut panjang... di ruang kerjanya..."
Kiara tidak menjawab langsung. Tapi senyumnya memudar—digantikan ekspresi sedih yang... terlalu sempurna.
"Aku tidak tahu foto mana yang kamu maksud," kata Kiara pelan. "Tapi Nathan pernah jatuh cinta. Sangat dalam. Dan wanita itu... meninggalkannya tanpa penjelasan. Sejak itu, dia tidak pernah sama lagi."
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk perlahan.
Alara merasakan dadanya sesak—bukan karena cemburu. Tapi karena sakit. Sakit menyadari bahwa Nathan pernah mencintai seseorang dengan sepenuh hati. Tapi tidak akan pernah mencintainya.
"Mungkin..." Kiara melanjutkan dengan nada yang sangat lembut, "mungkin sebagian alasan dia menikahinmu adalah untuk melindungi dirinya. Pernikahan kontrak itu aman baginya. Tidak ada risiko terluka lagi."
Alara menunduk, air matanya jatuh ke atas meja. "Jadi aku... aku hanya perisai. Alat untuk melindungi hatinya yang sudah hancur."
"Bukan begitu—"
"Lalu apa?" Alara menatap Kiara dengan mata penuh luka. "Aku bukan istri. Aku bukan teman. Aku bahkan bukan manusia di matanya. Aku hanya... kontrak. Hanya kertas yang bisa dibuang kapan saja."
Kiara menggenggam tangan Alara lebih erat. "Alara, dengarkan aku. Kamu berharga. Kamu layak dicintai. Nathan hanya... dia butuh waktu. Mungkin suatu hari dia akan melihatmu. Benar-benar melihatmu."
"Tapi bagaimana kalau tidak?" bisik Alara, suaranya putus asa. "Bagaimana kalau dua tahun berlalu dan aku hanya... menua dalam kekosongan?"
Kiara menatapnya dengan tatapan yang penuh simpati—simpati yang begitu sempurna, begitu meyakinkan.
"Maka kamu harus memutuskan," kata Kiara pelan. "Apakah kamu mau bertahan dalam pernikahan yang membunuhmu... atau kamu mau mencari kebahagiaanmu sendiri."
Kata-kata itu tertanam dalam di benak Alara. Seperti benih yang ditanam—pelan, halus, tidak terlihat berbahaya.
Tapi racun.
Racun yang suatu hari akan tumbuh dan meracuni segalanya.
---
**MALAM ITU, MANSION**
Alara pulang dengan pikiran yang kacau. Percakapan dengan Kiara terus berputar di kepalanya.
*Nathan pernah jatuh cinta. Sangat dalam. Dan wanita itu meninggalkannya.*
Siapa wanita itu? Kenapa dia pergi? Dan yang paling menyakitkan—apakah Nathan masih mencintainya?
Alara memasuki mansion yang sunyi. Nathan belum pulang—seperti biasa. Ia naik ke kamarnya, berganti pakaian, lalu duduk di tepi tempat tidur dengan pikiran yang tidak bisa tenang.
Tanpa sadar, kakinya melangkah keluar kamar. Menyusuri koridor. Berhenti di depan pintu ruang kerja Nathan.
*Jangan masuk. Dia akan marah lagi.*
Tapi tangannya sudah memutar kenop pintu.
Ruangan itu gelap. Alara menyalakan lampu kecil di sudut—cukup untuk melihat, tapi tidak terlalu terang.
Matanya langsung tertuju pada rak—tempat foto itu berada.
Ia melangkah mendekat, jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar mengambil bingkai foto itu.
Dan kali ini, ia benar-benar menatapnya.
Wanita cantik berambut panjang. Senyum yang sempurna. Dan Nathan—Nathan yang tersenyum lebar, mata berbinar bahagia.
Alara belum pernah melihat Nathan tersenyum seperti itu.
Dadanya sesak. Tangannya menelusuri wajah wanita di foto itu—wanita yang pernah membuat Nathan bahagia. Wanita yang pernah dicintai Nathan.
*Aku tidak akan pernah bisa menandinginya.*
Air matanya jatuh di atas kaca bingkai foto itu.
"Kenapa kamu meninggalkannya?" bisik Alara pada foto itu. "Kenapa kamu buat dia jadi seperti ini? Kenapa kamu hancurkan dia sampai dia tidak bisa mencintai lagi?"
Tidak ada jawaban. Hanya hening dan foto yang terus menatapnya dengan senyum yang menyakitkan.
Alara meletakkan foto itu kembali dengan tangan gemetar. Ia berbalik untuk pergi—
Dan terdiam.
Nathan berdiri di ambang pintu.
Wajahnya gelap. Rahangnya mengeras. Tangannya mengepal.
"Aku bilang jangan pernah masuk ruangan ini lagi," katanya dengan suara rendah—rendah tapi penuh amarah yang tertahan.
Alara membeku. Jantungnya berdetak keras. "Nathan, aku—"
"Keluar."
Satu kata. Dingin. Final.
Alara melangkah maju, mencoba menjelaskan. "Aku hanya ingin—"
"AKU BILANG KELUAR!"
Teriakan itu membuat Alara tersentak. Tubuhnya bergetar.
Nathan melangkah masuk, meraih lengan Alara—tidak kasar, tapi tegas—dan menuntunnya keluar ruangan. Begitu Alara di luar, Nathan membanting pintu.
Bunyi pintu tertutup keras itu bergema di koridor.
Alara berdiri membeku di luar pintu tertutup itu. Tangannya masih gemetar. Dadanya sesak.
Dari dalam ruangan, ia mendengar suara—suara Nathan yang berat, napas yang tersengal, dan... suara benda yang jatuh.
Nathan menghancurkan sesuatu di dalam sana.
Dan Alara... Alara hanya bisa berdiri di sana, menangis dalam diam.
Karena ia baru mengerti—Nathan tidak hanya membangun tembok di sekitar hatinya.
Nathan mengunci hatinya dalam kubah besi yang tidak bisa ditembus.
Dan Alara... Alara tidak akan pernah bisa masuk.
Tidak peduli seberapa keras ia mencoba.
---
**[BERSAMBUNG KE BAB 10]**