Ada luka yang tak bisa sembuh oleh waktu. Ada perjalanan yang tak pernah direncanakan, tapi justru mengubah segalanya.
Ketika hidup menggiring Johan Suhadi ke dalam misteri yang tersembunyi di balik sunyinya Bukit Barisan, ia tak lagi sekadar mencari jawaban—ia mencari dirinya sendiri.
Bukit Takdir adalah kisah tentang kehilangan, keberanian, dan pilihan-pilihan sunyi yang menentukan arah hidup.
Karena terkadang, untuk menemukan cahaya, seseorang harus rela tersesat lebih dulu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Mengemis Ampunan"
SATU MINGGU SETELAH RAHASIA ITU
Satu minggu telah berlalu sejak langit mengungkapkan rahasianya yang paling kelam. Hari ini, hari yang tak pernah ingin ditulis siapa pun dalam takdir—hari eksekusi hukuman mati bagi ayah angkat Liana. Empat bulan silam, palu keadilan telah diketuk. Namun baru tiga hari yang lalu, permintaan terakhirnya dilayangkan dengan suara yang nyaris tidak terdengar oleh dunia: sarapan pagi bersama Liana, Johan, dan Bang Pandu. Sebelum ajal menjemputnya, ia ingin berbagi waktu terakhir. Ia ingin dimakamkan di samping Broto, tangan kanannya yang dulu setia hingga akhir hayat. Dan ia ingin meminta maaf secara langsung kepada Pandu—lelaki yang darahnya mengalir dalam diri Liana.
Setelah semua tersingkap, Novri Kharisma dipindahkan ke pulau sunyi bernama Nusakambangan. Sebuah pulau yang dikelilingi laut dan dijaga ketat oleh waktu. Di sanalah ia menanti detik terakhirnya. Di sel sunyi yang hanya dihuni oleh satu jiwa—one man one cell—ia menjalani hari-harinya seperti menghitung sisa napas yang dipinjam dari langit.
Tiga hari sebelum waktu itu tiba, undangan yang berat sebelah itu diterima oleh Liana, Johan, dan Pandu. Tanpa banyak bicara, mereka terbang dari Padang menuju Jawa Tengah. Pulau itu menyambut mereka dengan keheningan yang tajam dan angin asin yang menampar perasaan. Sebuah penginapan sederhana disiapkan untuk mereka, dan waktu perlahan menggerogoti keberanian yang tersisa.
Hari ini.
Angin berhembus pelan, menyentuh permukaan laut seperti seorang ibu yang menepuk punggung anaknya agar tenang. Tapi hati Liana tak setenang itu. Di ruang kecil yang disediakan negara untuk keluarga yang akan kehilangan, ia duduk dengan jantung yang berdetak tak karuan. Johan menggenggam tangannya—erat, seolah tak ingin membiarkannya jatuh ke dalam lubang kesedihan sendirian. Di hadapan mereka, Pandu duduk terdiam. Wajahnya membawa sisa-sisa masa lalu yang belum sempat diungkapkan. Matanya mencari... siapa yang telah menculik anaknya dua puluh tahun silam?
“Waktu akan segera tiba,” ucap Pandu lirih, nyaris seperti doa yang tak selesai. “Kita harus kuat. Ini sudah tertulis. Rentetan takdir yang membentang… seperti Bukit Barisan.”
Liana mengangguk pelan. Bukan karena yakin, tapi karena itulah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sekarang. Ia menarik napas dalam, berusaha mengunci segala kesedihan di balik dada. Ia teringat satu pesan ayah angkatnya: sarapanlah bersama, untuk terakhir kalinya.
Seorang petugas masuk dengan suara sepatu yang menggema. “Sarapan sudah disiapkan. Silakan mengikuti saya.”
Ketiganya berdiri. Langkah mereka pelan, nyaris seperti berjalan di atas pusara perasaan sendiri. Di ruang makan sederhana, sebuah meja terhidang. Makanan terlihat lengkap, bahkan mengundang selera—tapi tidak ada yang lapar hari itu, selain hati mereka yang merindukan keadilan, pengampunan, dan kelegaan.
Novri Kharisma sudah duduk di sana. Wajahnya tenang, tapi siapa pun tahu, di balik ketenangan itu, ada badai yang sedang menanti izin untuk menangis.
“Silakan duduk,” katanya. Suaranya ramah, namun sarat luka.
Mereka duduk, seperti keluarga yang dipaksa waktu untuk menyatu kembali sebelum terpisah selamanya.
Novri menatap Liana. Tatapan seorang ayah yang tahu ia bukan darah, tapi telah mencintai seolah begitu. “Maafkan aku, Lia... Aku terlalu banyak salah. Aku bukan orang baik, dan aku tahu itu.”
Liana menggigit bibirnya. Matanya basah. “Tak perlu meminta maaf, Yah… Kita semua punya masa lalu.”
“Tapi kesalahanku merusak hidupmu. Aku membawamu ke dunia yang kelam, aku membuatmu tumbuh dengan luka,” ucap Novri. Suaranya mulai pecah. “Aku tahu, mungkin tak cukup satu hidup untuk menebus semua ini... Tapi aku ingin kau tahu, aku mencintaimu—seperti anak sendiri.”
Liana menatapnya. Di antara keping-keping perasaan yang retak, ia merasakan sesuatu: kasih sayang yang tulus, meski datang di penghujung waktu.
Liana terdiam. Hening sejenak menyelimuti dirinya seperti kabut tipis di pagi hari—tak terlihat namun terasa menusuk. Kata-kata barusan masih menggantung di udara, belum benar-benar mendarat di hatinya. Ia tahu betul—ayah angkatnya bukan pria sempurna. Ia pernah salah, bahkan sangat salah. Tapi cinta... tak pernah sesederhana benar dan salah. Ada ruang di hati Liana yang tetap teduh untuk sosok yang membesarkannya.
"Aku memaafkanmu, ayah..." ucapnya akhirnya, dengan suara yang nyaris retak, seperti embun di ujung daun, "Kau telah menjadi ayah yang baik bagiku… meskipun dengan segala luka yang kau bawa bersamamu."
Wajah Novri Kharisma sontak melembut. Sebuah senyum lebar merekah di antara air mata yang jatuh pelan di pipinya—air mata yang tak lagi bisa disembunyikan oleh waktu atau martabat. Ia meraih tangan Liana, menggenggamnya dengan hangat, seolah ingin menyimpan kenangan itu di dasar jiwanya.
“Terima kasih, Lia. Terima kasih... Aku bersyukur, sangat bersyukur, Tuhan menghadirkanmu dalam hidupku, walau hanya sebagai anak angkat… tapi kau cahaya dalam hari-hariku yang kelam.”
Tak ada kata lagi. Hanya tatapan mereka yang saling bicara. Membiarkan waktu berhenti sebentar untuk memberi ruang bagi pengampunan. Johan memandang keduanya dengan mata yang berat, menahan emosi yang menyelinap masuk diam-diam. Sementara Pandu, dari seberang meja, memandangi Novri dengan tatapan yang sulit dibaca. Antara marah dan ikhlas. Antara masa lalu dan hari ini.
Tatapan itu ditangkap oleh Novri. Ia tahu waktunya belum habis. Ada satu luka lagi yang harus ia coba sembuhkan.
“Pak Pandu...” suaranya lirih, tapi jujur, “Izinkan saya meminta maaf. Dulu, ketika saya menjalankan misi itu... saya menghancurkan keluarga kecilmu. Saya tahu, permintaan maaf ini takkan mengembalikan segalanya. Tapi... dari lubuk hati terdalam saya, saya benar-benar minta maaf.”
Hening kembali mengisi ruang itu. Kali ini lebih panjang. Seolah seluruh alam menanti satu jawaban: akankah luka lama ini berakhir sebagai dendam, atau akan pulang sebagai pengampunan?
Pandu menarik napas. Dalam. Lalu menatap pria yang dalam hitungan jam akan diambil dari dunia ini.
“Semua orang... pernah berbuat salah, Pak Novri,” ucapnya tenang, suaranya seperti desir angin yang menyentuh lembut permukaan danau, “Yang lalu... biarlah berlalu. Saya sudah memaafkan. Saya percaya... semua ini bukan kebetulan. Ini bagian dari rentetan takdir yang kita tak bisa lawan. Ini... adalah kehendak Tuhan.”
Dan pada saat itu juga, langit di luar ruangan seolah ikut mendengarkan. Tak ada kilat. Tak ada badai. Hanya matahari yang menggantung tenang, dan angin yang mengalir perlahan, membawa kata-kata itu jauh ke tempat di mana luka bisa menjadi cahaya.
Setelah sarapan terakhir itu usai, mereka kembali ke ruang tunggu. Waktu seolah berhenti bergerak. Detik berubah menjadi menit yang panjang, menit berubah menjadi jam yang menyiksa. Di dalam ruang sempit itu, hanya keheningan dan ketegangan yang saling bersahutan.
Hingga akhirnya, pintu diketuk perlahan. Seorang petugas masuk, membungkuk sedikit, suaranya tenang tapi menusuk. “Sudah waktunya…”
Dan dunia pun menjadi senyap.
Mereka berempat melangkah menyusuri lorong-lorong sepi menuju ruang eksekusi. Cahaya lampu di sepanjang koridor memantul pucat di dinding—seolah ikut berduka. Liana menggenggam ujung baju Johan, tangannya dingin, tubuhnya gemetar. Tapi ia terus berjalan. Di sisi lain, Pandu menahan napas, menjaga langkahnya tetap tegak demi anaknya.
Sesampainya di ruangan itu, Novri Kharisma telah berdiri dengan tenang. Senyumnya tak lagi menyembunyikan apa pun—bukan lagi karena keberanian, melainkan keikhlasan. Wajahnya damai, seperti seseorang yang telah berdamai dengan hidup dan mati sekaligus.
Pemimpin eksekusi berbicara singkat. Suaranya bergema di ruang yang terlalu sunyi. Liana menutup matanya. Ia tak sanggup melihat, tapi tak mampu benar-benar berpaling.
Satu per satu, proses itu berjalan.
Sebelum segalanya berakhir, Novri menatap mereka bertiga. Tatapan yang dalam, mengandung seribu makna. Ia tersenyum pelan. Lalu mengangguk—seolah berkata: terima kasih... maafkan aku... jagalah hidup kalian baik-baik...
Dan kemudian…
“Duarrrrrr…”
Satu suara. Peluru laras panjang itu menembus udara dan langsung merobek keheningan. Menyentuh jantung pria yang pernah menanggung banyak dosa dan cinta dalam waktu yang bersamaan.
Tubuh Novri Kharisma terjatuh perlahan, seperti daun kering yang dilepaskan angin.
Hening lagi. Lebih sunyi dari sebelumnya. Waktu seperti ikut mengheningkan cipta.
Liana menjerit.
"Ayahhhhhhhhhh"
Ia berlari, memeluk tubuh ayah angkatnya yang kini telah dingin. Air matanya jatuh tak beraturan, mencium keningnya yang pucat, menggenggam tangannya yang telah kaku.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang…?” tanya Johan parau, berdiri di sisi ruangan dengan mata yang nyalang.
Pandu menatap ke depan. Lama. Lalu menghela napas panjang, seolah menarik seluruh kepedihan dunia ke dalam dadanya. “Kita harus memenuhi janjinya… Kita harus memakamkannya di sisi Broto—anak buah kesayangannya.”
Hari itu juga, jenazah Novri Kharisma diterbangkan ke Padang. Ke tempat di mana jasadnya akan beristirahat untuk selama-lamanya, di samping Broto, lelaki setia yang lebih dulu dijemput maut.
Perjalanan terasa panjang. Langit Padang menyambut mereka dengan mendung tipis yang menggantung seperti tirai berkabung. Mereka melangkah pelan menuju pemakaman, menyusuri tanah basah dan lampu-lampu kecil yang berpendar redup di antara nisan.
Liang kubur telah disiapkan. Tanah merah itu menunggu dengan sabar.
Pandu berdiri paling depan, memimpin doa. Suaranya pelan namun penuh keyakinan. Ia memohon kepada Tuhan agar Novri Kharisma diberi ampunan dan ketenangan di sisi-Nya. Johan dan Liana berdiri di sampingnya, air mata masih menetes, tak tertahan lagi oleh waktu atau gengsi.
Saat jenazah diturunkan ke liang lahat, Liana menggigit bibirnya kuat-kuat. Tapi tangisnya tetap pecah juga. Ia memandang tubuh ayah angkatnya itu untuk terakhir kalinya, menyaksikan bagian dari dirinya ikut terkubur bersama pria yang pernah mengisi hari-harinya.
Ketika tanah terakhir ditaburkan, malam semakin dalam. Bintang-bintang bergeming di langit. Liana berdiri mematung, tak ingin pergi. Seolah jika ia meninggalkan tempat itu, maka yang tertinggal hanyalah kenangan, dan itu membuat segalanya terasa lebih menyakitkan.
Pandu memeluk putrinya, menepuk pelan punggungnya. Johan menggenggam tangannya erat.
Mereka berdiri bertiga di sisi kubur itu, dalam hening yang panjang. Bukan karena tak tahu harus berkata apa, melainkan karena mereka tahu… inilah akhir dari satu babak. Dan di hadapan mereka, telah menanti babak selanjutnya—yang tetap harus mereka jalani, meski dengan hati yang belum pulih sepenuhnya.