NovelToon NovelToon
Maaf Yang Terlambat

Maaf Yang Terlambat

Status: tamat
Genre:Tamat / Konflik etika / Anak Kembar / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: Rianti Marena

Konon tak ada ibu yang tega 'membuang' anaknya. Tapi untuk wanita seperti Ida, itu sah-sah saja.
Lalu tidak ada yang salah dengan jadi anak adopsi. Hanya, menjadi salah bagi orang tua angkat ketika menyembunyikan kenyataan itu. Masalah merumit ketika anak yang diadopsi tahu rahasia adopsinya dan sulit memaafkan ibu yang telah membuang dan menolaknya. Ketika maaf adalah sesuatu yang hilang dan terlambat didapatkan, yang tersisa hanyalah penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rianti Marena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hati yang Hangat

Rani senang luar biasa. Semenjak memasuki kawasan pelabuhan hingga sedikit menjauh ke arah dermaga kecil dekat galangan kapal, senyum di wajahnya belum juga memudar. Ini adalah kesempatan yang sudah ia nantikan sejak lama. Butuh waktu bertahun-tahun bagi Rani untuk meyakinkan kedua orang tuanya agar dibolehkan mengunjungi galangan kapal. Hari ini harapannya terwujud lewat program sekolah.

Kini ia dan tim perwakilan sekolahnya sedang diarahkan untuk masuk ke dalam sebuah ruang pertemuan. Di sanalah mereka akan mendapat pengarahan singkat sebelum berkeliling di galangan.

Seluruh pelajar, termasuk dirinya, juga guru pendamping disambut oleh seorang PRO - Public Relations Officer. Rani jadi lebih bersemangat karena sang staf adalah perempuan. Usianya mungkin beberapa tahun lebih tua dari kakaknya yang sulung. Beliau mengenalkan diri sebagai Clarentia.

Ibu Clara, demikian Rani dan teman-temannya memanggil Beliau. Kulitnya gelap, senyumnya manis dengan gigi putih yang berbaris dengan satu gingsul di atas kiri. Rambutnya keriting, tebal, khas Indonesia Timur. Suaranya merdu tapi tegas.

Beberapa foto dijepret Rani dengan kamera ponselnya. Ia berencana menjadikan foto-foto itu sebagai bukti bahwa dunia perkapalan yang di balik layar juga bisa dilakukan oleh perempuan. Nantinya ia pamerkan semua foto kepada kedua orang tuanya, terutama ibunya. Bukan apa-apa. Selama ini ibunyalah yang paling terlihat cemas dengan kesukaannya pada kapal.

Menyerempet sedikit soal sikap waswas sang ibu. Kalau boleh jujur, Rani ingin sekali bilang kepada ibunya bahwa kekhawatiran ibunya itu agak sukar diterima logikanya. Menurut nalar si bungsu, setiap orang bebas punya minat. Termasuk dirinya yang berminat pada kapal dengan segala jenis dan spesifikasinya.

Rani suka mengumpulkan miniatur, mainan rakit, hiasan tiga dimensi, dan aneka lukisan kapal. Buku-buku dan ensiklopedi bergambar tentang kapal menjadi koleksi yang mencolok di rak buku yang ada di kamar tidur Rani. Itu belum termasuk buku-buku tentang kapal yang ada di ruang keluarga. Rak besar yang sengaja dibuat Bapak di ruang keluarga memang diperuntukkan bagi setiap penghuni rumah menyimpan buku-buku dan majalah kesukaan mereka.

Tentu saja Rani masih cukup perhitungan setiap kali membeli kesukaannya itu. Selain dari hasil menyisihkan uang saku yang diberikan Bapak setiap bulan, Rani juga mengumpulkan uang hadiah. Aneka lomba desain kerap dicobanya. Gambar dasar andalannya adalah kapal.

Hasilnya, tidak semua berhasil sesuai yang ia harapkan, sih. Namun semakin sering mencoba, Rani semakin mahir. Mulailah desainnya mendapat apresiasi dan pengakuan, menang di lomba ini dan itu, mulai dari juara harapan kesekian, hingga juara pertama.

Dari prestasi yang kian bertambah itulah akhirnya Bapak dan Ibu mulai memberi kelonggaran kepada Rani. Khususnya Ibu. Mulailah Ibu memberi kebebasan bagi si bungsu untuk memilih sekolah kejuruan yang mengharuskannya banyak bermain dengan pernak-pernik elektronik, logam, dan percikan api dari mesin las. Walau demikian, Rani mendapat pengawasan ketat mengingat fobianya terhadap api cukup mengkhawatirkan.

Oleh karena itu, keinginan Rani untuk melihat sendiri seperti apa galangan kapal yang sesungguhnya bisa dikatakan kelonggaran terindah dari Bapak dan Ibunya, sejauh ini. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas, Rani mengamati dan mengikuti arahan dengan serius. Ia pun banyak bertanya, mencatat, dan beberapa kali minta diarahkan secara spesifik.

Dari Ibu Clara mereka mendapat keterangan seputar sejarah berdirinya galangan kapal itu. Meski awalnya milik perorangan, kehebatan sang pemilik dalam membuat kapal membuatnya meluaskan ruang gerak dan area galangan secara bertahap. Terlebih ketika permintaan perbaikan dan pembuatan kapal terus meningkat dari waktu ke waktu. Kini tempat itu menjadi salah satu galangan kapal swasta yang sibuk. Menjadi lebih sibuk semenjak diakui kualitasnya dalam dunia perkapalan Indonesia.

"Baik, Adik-adik sekalian. Pengarahan dari saya kiranya cukup. Selanjutnya kita akan berkeliling. Kali ini Adik-adik sangat beruntung. Kepala Galangan sendiri yang akan menyambut dan memimpin tur kita di galangan hari ini," ujar Bu Clara. "Mari kita sambut dengan penuh semangat, Kepala Galangan kita. Silakan masuk, Bapak!"

Lalu seorang laki-laki paruh baya sudah dengan pakaian dengan pelengkap keamanan standar memasuki ruangan. Laki-laki itu tersenyum ramah. Tubuhnya tegap, gagah. Semua orang di dalam ruangan berdiri bertepuk-tangan riuh menyambutnya. Begitu melihat wajah orang itu, Rani terpana. "Haah?"

"Selamat pagi, Anak-anak. Saya Yunus. Pagi ini Saya senang sekali boleh memimpin tur kalian di galangan ini. Jangan lupa pakai pengaman dan ikuti aturan sesuai yang tadi sudah disampaikan oleh Ibu Clara, ya."

...*...

"Nah, ini kantin kami. Kita istirahat dulu. Ayo, silakan mengambil makanan dan minuman yang sudah disediakan," Yunus menyilakan anak-anak yang diajaknya berkeliling untuk berbaris mengambil makanan.

"Halo, Pak Yunus. Bapak ingat saya, nggak? Kita pernah bertemu di panti asuhan Pak Dion sebelum ini," sapa Rani. Ia memberanikan diri mendekati Yunus.

"Emm, ooh, yang jadi relawan dapur waktu perayaan ulang tahun panti tempo hari, ya?" Yunus menebak.

"Yak, benar! Bapak berhak mendapatkan segelas air mineral," canda Rani. Yunus tertawa. "Yah, nggak seru. Bapak kok langsung ingat, sih?"

"Lho, bukannya malah bagus. Artinya Bapak masih ingat kamu. Namamu Rani, 'kan?" Yunus menebak lagi.

"Kok Bapak masih ingat nama saya?" Rani bertanya heran.

Yunus tertawa kecil. "Sebetulnya saya lupa nama kamu, Nak. Tapi saya 'kan bisa baca. Tuh, tertulis dengan jelas. Namamu: RANI." Yunus mengarahkan dagunya ke kartu Identitas pengunjung yang disematkan pada saku blus Rani. Otomatis Rani mengikuti arahan Yunus.

"Yah, Bapak curang. Ini, sih, namanya nyontek," protes Rani sambil tertawa. Yunus kembali tertawa melihat tawa Rani.

"Kok bisa ya, kita ketemu lagi? Di sini, pula," heran Yunus.

"Ya bisa, dong, Pak. Pak Yunus berarti kerjanya sehari-hari di sini?"

"Iya. Dulu. Kalau sekarang, sudah tidak setiap hari. Ada wakil saya di tiap bagian. Secara periodik saya ke sini untuk kontrol, terima laporan, diskusi lapangan bersama teman-teman, evaluasi on site, yah, semacam itu." Yunus menjelaskan. Rani menyimak dengan antusias. "Memangnya kamu tertarik bekerja di tempat seperti ini?"

"Iya, Pak. Ya, nggak harus di galangan juga, sih, Pak. Minimal saya bisa paham struktur dan kerja teknis kapal. Soalnya saya punya cita-cita bikin kapal sendiri, Pak."

Yunus cukup kaget mendengar perkataan Rani. "Wah! Bikin kapal sendiri? Kapal apa? Kapal kertas apa kapal mainan?"

"Kapal beneran, dong, Pak! Kapal api juga boleh, deh, asal saya nggak lihat apinya langsung."

Yunus terkekeh geli, "Mana ada kapal api nggak ada apinya? Namanya aja kapal uap, ya harus ada yang dibakar untuk bisa menghasilkan uap."

"Ya pokoknya saya bagian bikin aja, deh, Pak. Nggak usah lihat apinya," Rani bersikukuh.

"Memangnya kenapa? Takut hitam kena panas bakaran?" goda Yunus.

Rani menggeleng. "Bukan gitu, Pak. Saya takut api. Fobia akut."

"Hah? Lha kamu gimana, dong, jadinya? Mau bikin kapal betulan tapi fobia api. Kayaknya bakalan susah untukmu mewujudkan cita-cita membuat kapal sendiri," ucap Yunus realistis mengikuti logikanya.

Namun Rani tersenyum. "Tenang aja, Pak. Saya yakin, pasti bisa. Besok kalau berhasil bikin kapal sendiri, Bapak adalah orang pertama yang saya undang untuk naik ke kapal saya. Janji, nih, Pak! Kalau Tuhan mengizinkan, lo, Pak," kata Rani lagi. Kali ini ia mengucapkan kata-katanya dengan sungguh-sungguh.

Yunus semakin tertarik dengan rekan berbincangnya. Oleh suatu sebab yang tidak dapat ia definisikan, Yunus enggan mengalihkan perhatiannya dari Rani. Ada sesuatu dalam diri remaja putri itu yang membuat hatinya terasa hangat. "Rani. Bapak tanya serius, nih. Kamu betulan suka kapal?"

Rani mengangguk. "Suka banget, Pak."

"Kenapa suka banget?"

"Kapal itu bagus. Keren aja, ada benda mengapung yang bisa bawa benda-benda lain di atas air. Kadang butuh berkompromi dengan angin, memanfaatkan arus air, pintar-pintar menguasai navigasi di tempat yang kadang kita nggak bisa lihat batasnya."

Yunus tersenyum. Matanya tak bisa lepas dari sosok remaja putri yang sedang menjadi rekan berbincangnya. "Ran, bikin kapal itu susah, lho!"

"Lah, yang bilang gampang siapa, Pak? Emang ada orang yang berani bilang bikin kapal gampang, Pak?" tanya Rani dengan ekspresi polos. Yunus jadi tertawa melihatnya.

'Anak ini, bercanda tapi wajahnya serius. Diajak bicara serius, eh dia jawabnya ringan seperti bercanda. Aku jadi ingat diriku yang dulu. Mirip sepertinya. Ehh? Diriku yang dulu? Apakah barusan aku mengingat sesuatu soal aku di masa lalu?'

"Bapak nggak haus dan lapar?" suara Rani memutus lamunan Yunus.

"Kenapa? Kamu mau mengambilkan untuk saya?" canda Yunus dengan ekspresi serius. Ceritanya ia membalas candaan Rani dengan ekspresi yang sama.

"Kalau saya ambilin buat Bapak, saya udah pasti boleh magang dan kerja di sini, nggak, Pak?" tanya Rani. "Ini bercanda tapi serius, lho, Pak. Kalo iya, saya ambilin sekarang. Bapak mau makan apa? Minumnya apa, Pak?" tanya Rani lagi, membalas candaan Yunus dengan ekspresi senada.

Yunus tidak tahan untuk tidak tertawa lepas. "Wah, payah ini! Belum-belum udah negosiasi magang dan kerja. Makan dulu, deh! Ayo! Kalau sudah makan... "

"Kita bicarakan lagi, Pak?" sambung Rani.

"Kalau sudah makan, kenyang, pulang," goda Yunus lalu terbahak-bahak.

Rani pun protes, masih bercanda juga. "Yah, kok gitu, Pak?"

"Udah, ayo makan. Sini, Rani, baris di depan saya!" Ia melangkah mendului Rani masuk dalam barisan antrian untuk mengambil makanan.

Dengan senang hati Rani menyusulnya. "Siap, laksanakan, Pak Kepala!"

...*...

1
Sabina Pristisari
yang bikin penasaran datang juga....
Rianti Marena: ya ampun.. makasih lo, udah ngikutin..
total 1 replies
Sabina Pristisari
Bagus... dibalik dinamika cerita yang alurnya maju mundur, kita juga bisa belajar nilai moral dari cerita nya.
Sabina Pristisari: sama-sama... terus menulis cerita yang dapat menjadi tuntunan tidak hanya hiburan ya kak...
Rianti Marena: makasih yaa..
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!