NovelToon NovelToon
THE CITY

THE CITY

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Identitas Tersembunyi / Epik Petualangan / Keluarga / Persahabatan / Angst
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Kekacauan dunia telah melanda beberapa ratus tahun yang lalu. 30 anak remaja dikumpulkan oleh pusat mereka dari lima kota yang sudah lama dibangun. Sesuatu harus segera dicari, untuk menemukan wilayah baru, nantinya bisa digunakan untuk generasi selanjutnya.

Bersama anak laki-laki muda bernama West Bromwich, dia melakukan misi tersebut. Bagaimana caranya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

27

Jari-jari milik West Bromwich tidak bisa berhenti bergetar selama dirinya berdiri diam di tempat. Setelah West menerima pesan patah-patah melalui anak berkulit sawo matang, sekarang West menambah lagi beban di pikiran.

Anak itu berdiri lebih maju, dibandingkan anak-anak remaja lain, telah pergi menjauhinya. Sekarang, ruangan ini telah mengalami kekosongan.

Kepala ditundukkan, terlihat telapak tangan seakan melepas segalanya, West tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Seakan dirinya bersalah atas semuanya.

Satu perempuan datang kepada West, dan berdiri di sampingnya. Berkata pelan memastikan. "West? Kamu baik-baik saja?"

West melirik sebentar, dan berbalik menggerak kepala ke depan. "Aku tidak bisa menyelamatkan, Eme."

Anak laki-laki bermata biru, telah pergi tanpa berpamitan. Melihat wajah Eme yang sedih dan menghindari Erton yang menunggunya, tidak sempat baginya.

West tidak ingin diganggu oleh siapa saja. Pikirannya jenuh memusingkan. Ia terus menerima ingatan akan trauma penusukan di hadapan langsung, tanpa menutup atau menghindar.

Sekiranya pada kamar sepetak ber-semen polos, West menduduki kursi yang tersedia. Menempelkan kepala kepada kedua tangan. Mengelus kening, dan menyingkirkan rambut. Berlanjut menyatukan jari per jari, seakan memikirkan sesuatu.

Seakan matanya memiliki dendam, begitu seperti napasnya cepat bergerak naik-turun, West menarik paksa, gelang yang dimiliki.

"Kau alat sampah." West menarik sisi samping gelang berbentuk panjang, yang melingkari pergelangan tangan.

Ditariknya beberapa kali, gelang tadi kembali semula.

"Alat tak berguna!" Teriak dari mulutnya ketika selesai berkelahi.

Karena emosi yang membuatnya tak bisa mengendalikan pikiran, West memaksakan dirinya untuk bergegas keluar.

Tanjakan kaki seakan bergetar pada lantai satu. Tatapan tegas telah terpasang serius, selama menuju ruangan bulat. Dia berjalan sendiri tanpa ditemani siapapun. Sampai West datang ke ruangan itu, tidak ada orang di sana.

Lantai bulat bergerak turun, pada satu anak remaja tanpa ada yang menemani. Kini, West ditemani bunyi decitan besi-besi yang beradu, sekaligus mesin-mesin yang menyala, untuk membawanya turun.

"Mengesalkan."

Lantai berhenti beroperasi. Satu kaki dikeluarkan, menyusul lainnya. Secara otomatis, lampu-lampu panjang menyala terang, setelah kedatangannya.

Cepat bergerak, West menyusuri lorong panjang. Setelah sampai, anak itu langsung menuju bagian peralatan latihan. Membawa satu senjata api laras pendek.

Satu anak bekerja sendirian pada bawah tanah yang kosong. Mengisi peluru melalui kotak-kotak peluru, beralih tempat menuju sebuah meja.

Satu tangan bergerak memasukkan sekiranya tiga peluru. Ditutup lalu menarik bagian atas, untuk mengisi saya.

Pistol telah siap digunakan.

Satu senjata pada tangan West, diarahkan menuju tangan kanan di atas meja tadi. Tepat pada bagian gelang canggih.

Tangan berguncang, sampai menjalar pistol yang dipakai sekarang. Walaupun wajahnya terlihat sangat yakin, tapi dirinya meragukan apa yang dilakukan.

Satu anak menghentikan perbuatan ketika West kembali mengarahkan senjata tadi.

"Kamu gila, West." Eme membuang paksa pistol tadi.

West mengalihkan wajahnya, melihat Eme melotot tegang.

"Untuk apa kamu melakukan ini semua?!" Eme bertanya ketika West menunduk kepala. "Jawab aku, West!"

"Aku tidak bisa melihat orang-orang terluka lagi, Eme. Untuk apa mereka menyuruh kita berlatih?! Kau tau tujuan mereka, huh?"

Eme menjawab setelah menghembuskan napas lelah. "Aku juga berpikir seperti itu, West. Namun, kita harus tetap mengikuti peraturan disini. Jujur saja, aku bosan tinggal di sini."

West memandang Eme, sepenuhnya.

"Aku sedih melihat dirimu sekarang. Kalau kamu tidak ada, aku tidak bisa mengobrol denganmu lagi, West."

Lantai besi seakan mendengarkan percakapan mereka berdua. Mereka akhirnya berhasil mengungkapkan yang selama ini dipendam, karena hanya inilah kesempatan mereka untuk dapat mengobrol berdua.

Karena selama West, Eme, dan Erton bersama-sama, West tidak berani mengobrol lebih dalam tentang perasaannya, kepada perempuan yang dikenali.

Tentang pistol itu, West telah mengambil lagi. Eme membantu anak itu untuk mengembalikan ke tempat semula.

"Maaf, Eme. Aku tidak bisa mengontrol emosi." West berkata pelan, seperti meratapi akan rasa bersalah.

Eme bergerak maju, menatap wajah sedihnya West. "Aku tau, West. Tidak apa-apa, aku akan selalu membantumu, ya?"

West menaikkan kepala, berhadapan langsung dengan perempuan tadi.

"Izinkan aku untuk selalu hadir dalam kehidupanmu, West. Kamu tidak perlu meminta-minta kepada sahabatmu. Aku juga akan ada di sampingmu, selama yang kamu butuhkan."

"Baiklah. Terimakasih, Eme."

"Sama-sama." Eme bergegas menjauhi West, saat anak laki-laki masih diam di sana. "Mari kita kembali, sebelum yang lainnya tau.

West cukup lama berdiam diri, sampai akhirnya anak itu memberanikan diri mengucap sesuatu. "Tunggu, Eme."

Eme membalikkan badan. "Ada apa, West?" Berjalan menuju West Bromwich.

"Kau masih ingat dengan anak laki-laki berkulit sawo matang tadi?

"Yang melukai dirinya sendiri?" Eme menjadi tertarik, lantas datang lagi kepada West. "Aku ingat tadi. Ada apa?"

"Dia membicarakan tentang kebohongan kota ini, Eme."

"Kebohongan? Seperti apa?"

"Bahwa dia tau semua hal busuk di kota ini. Apa kau tidak merasa aneh, mengapa kita ada dalam daftar itu? Kau berkata tidak pernah mengajukan apapun ke pak walikota, kan? Aku dan Erton sama sepertimu."

"Jadi, apa yang akan kamu lakukan dengannya?"

"Aku akan bertanya padanya."

"Tapi sekarang... Dia berada di ruang perawatan. Belum bisa untuk membuka matanya, apalagi bangun."

West semakin mengelus dagu, dikala dirinya memikirkan sebuah cara baru. Eme menunggu temannya untuk sadar lagi.

"Bagaimana kalau kita menunggu seminggu lagi?"

"Itu terlalu lama, Eme."

"Tidak apa-apa. Sembari menunggu, kita lakukan kegiatan biasanya. Pastinya kamu tak akan sadar, bahwa waktu begitu cepat."

Napas berat dikeluarkan oleh West. Keputusan berat harus ditentukan kepada mereka berdua. Terlebih Eme memutuskan terlebih dahulu untuk mengubah taktik baru.

"Ayo kembali. Simpan nanti bicaranya." Tanpa Eme sadari, tangannya memegang telapak tangan West.

West kaget dengan yang dilakukan dari Eme. Bergerak canggung dengan menarik tangan, menyembunyikan di bagian belakang tubuhnya. Layaknya anak kecil yang ketahuan menyukai seseorang, namun tak bisa mengungkapkan.

"Ma-maaf, tak sengaja." Eme ikut menarik tangannya lagi, seperti yang dilakukan West Bromwich.

Kedua anak melanjutkan perjalanan yang terhenti. Kini, lantai bulat telah terisi dua anak remaja, tanpa bertatap wajah lagi. Digerakkan lantai itu, seperti biasa menggoncangkan tubuh mereka sesaat, setelahnya tenang dan diam. 

West tidak paham, mengapa setiap kali selalu berdua dengan remaja perempuan, dia selalu canggung dan kikuk. Meskipun West telah menganggap bahwa Eme adalah temannya, namun tetap saja muncul perasaan aneh, seakan memacu jantungnya untuk lebih berdebar dari biasanya. 

Lantai bulat berhenti, mengeluarkan dua anak menuju lantai satu. Beberapa remaja meramaikan lantai per lantai, seperti yang dilihat West hari ini. Bukan lagi udara dingin yang setiap hari bertemu, melainkan hawa panas, membuatnya berkeringat. Baju hitam membasahi tubuhnya. 

"Aku akan kembali," West mengecap bibir, sengaja berbincang sedikit. Sekedar melihat Eme, menyingkirkan anak rambut basah.

"Baiklah, sampai bertemu nanti." 

West mengamati jalan Eme, setelah selesai berbicara kepadanya. Dia terlihat kikuk bercampur cepat dalam berjalan, serta rambut hitam seperti ekor kuda, bergerak sesuai arah. Pada bagian belakang tubuhnya terpasang gambar tower kota valcon, dengan warna putih. 

West pun tak lama mengawasi perempuan itu dari belakang. Dia lebih memiliki kesibukan lain dibandingkan menontonnya saja. Mereka berpisah untuk mempersiapkan sesuatu.

Satu orang berjalan berbeda arah dari Eme yang menaiki tangga bagian tengah. Memasuki kamar miliknya, mengambil setelan baju dan menuju kamar mandi. Baju dan celana dilepaskan begitu air shower menyala. Rasa segar, terasa nyaman setelah seharian bergelut dan berkeringat. 

Memastikan bahwa semua kegiatan telah selesai, West bergegas pergi keluar untuk menuju ke area perawatan pada lantai satu, seperti yang dia lakukan sebelumnya.

Samping-samping dirinya, hanya sekedar mengobrol. Tak banyak dari mereka yang melirik sekilas. Melanjutkan kegiatan mereka. 

West tidak terlalu memperdulikan. Yang dia pedulikan, fokus mengobati luka-luka kecilnya lalu kembali beristirahat.

Anak itu tak bisa berhenti untuk merebahkan tubuhnya, sejak pertarungan-pertarungan itu.

West berjalan pada pintu yang membuka untuk dirinya. Belakangan ini, ia selalu mengunjungi ruang perawatan.

Dua kaki mendarat pada lantai ber-ruangan perawatan. Bertemu satu perawat yang meramu obat.

Perawat mempersilahkan West untuk duduk, sembari menunggu menyelesaikan obat tadi.

Satu hal yang cukup membuat West merasa mengasihani anak laki-laki yang ditemui tadi, adalah dia belum bisa membuka kedua matanya.

"Eme benar. Sepatutnya aku bisa mempercayai dirinya."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!