Mereka terpaksa menikah meski sudah berjanji tidak akan menikah lagi setelah menjanda dan menduda untuk menghormati pasangan terdahulu yang sudah tiada.
Tetapi video amatir yang tersebar di grup RT mengharuskan mereka berada dalam selimut yang sama meski sudah puluhan tahun hidup di kuali yang sama.
Ialah, Rinjani dan Nanang, pernah menjadi cinta pertama dan hidup saling membutuhkan sebagai saudara ipar. Lantas, bahagia kah mereka setelah menyatu kembali di usia kepala lima?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skavivi selfish, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepompong Malu
Dan sekali lagi, ketika sepanjang jalan kenangan yang dilalui penuh renjana itu musnah oleh keheningan, Nanang bernyanyi dalam hati.
‘Sepanjang jalan kenangan, kita selalu bergandengan tangan. Sepanjang jalan kenangan, kau peluk diriku mesra. Hujan yang rintik-rintik di awal bulan itu, menambah nikmatnya malam syahdu.’
-
“Kalian pastikan anak-anakku sudah tidur atau belum.” Rinjani menyuruh penjaga rumahnya setelah dia menginjakkan kaki di tanah kekuasaan yang tidak lagi dikuasainya.
“Kalau mereka belum tidur, suruh mereka ke kamar masing-masing untuk istirahat.”
Nanang yang mendengar titah konyol itu mendengus sambil mengulurkan kunci motornya ke penjaga rumah sebelum menggenggam tangan Rinjani dan menariknya ke dalam pelataran rumah.
“Kamu ini malu apa kenapa toh? Kenapa anak-anakmu tidak boleh tahu kamu sudah mau berkunjung di kamarku? Ada yang salah dari pilihan itu?”
Rinjani mendesis sambil menatap tangan mereka yang menyatu. “Tadi di peluk tidak mau, sekarang pegang-pegang. Maksudmu apa?”
Sontak Nanang melepas tangannya. “Nggak sengaja kok aku, refleks.” akunya dengan nada heran yang dibuat-buat.
“Halah...” Rinjani menatap sekeliling. Rumahnya penuh cahaya, sunyi, dan sejuk seperti biasanya. Tetapi hatinya gelisah manakala kendaraan anak-anaknya masih asyik nongkrong di depan garasi mobil.
“Kita lewat samping saja ya, mengendap-endap gitu?” tawar Rinjani berniat menghindar lagi. “Aku belum siap bilang ke anak-anak kalau ayah mereka aku duakan, aku takut mereka bersedih atau kamu mau bantu sundul masalah ini?”
“Sundal-sundul... sundal-sundul...” sahut Nanang cepat. Ngegas lagi. Bahkan dia terlihat ingin mencengkeram rambutnya, tapi kemudian tangannya hanya menggantung di udara.
“Masalah itu harusnya selesai, aku sudah bilang ke anak-anakmu kalau kamu sudah sepenuhnya milikku!”
“Terus apa respon mereka?” tanya Rinjani sambil melangkah, mengikuti Nanang melewati taman yang melingkari rumah mereka. “Jalannya pelan-pelan, Mas Nanang, jangan ngebut.”
“Kamu saja yang jalannya seperti siput!”
“Kok kamu gitu toh!” Rinjani menarik kain songketnya ke atas agar kakinya dapat melangkah lebih lebar. “Kamu tidak tahu apa perjuanganku untuk bisa jalan seperti ini, berjuta-juta gerutu aku lakukan, berjuta-juta doa aku sempatkan! Kamu malah ngece aku seperti siput. Kamu ini sebenarnya cinta tidak?
Nanang berhenti melangkah, Rinjani susah mengerem langkah. Alhasil keduanya bertubrukan di bawah lampu taman. Keduanya mendengus, meski dari jauh, kejar-kejaran yang mereka lakukan terlihat romantis bagi banyak pasang mata ngintip dari balik pintu, pinggir jendela, belakang pohon dan belakang tiang.
“Kamu tanyakan cinta setelah sekian lama aku banting harga untuk tetap melihat dan menerima setiap tangis dan tawamu dari jatuh? Tolong yang pintar sedikit toh, Ri. Kurang jelas apa cintaku ini?”
Rinjani pindah ke hadapan Nanang lalu berkacak pinggang, sepasang matanya menentangnya lekat-lekat.
“Menurutmu aku bodo apa? Aku ini cuma nanya, kok kamu ngece aku mirip siput?”
Nanang ikut berkacak pinggang, melupakan usia sebab melihatnya tetap fasih ngoceh dan bertingkah seperti waktu muda membuatnya enggan menua dan berwibawa lebih cepat.
“Aku sudah bilang santai saja, jangan apa-apa di masukan hati. Nggak bisa apa selow sedikit kamu ini?”
Rinjani menggeleng keras kepala. “Pokoknya aku bukan siput. Hayo, ralat dulu ucapanmu sebelum masuk ke rumah!”
Nanang menjentikkan jarinya di kening Rinjani. Jengkel, baru sehari jalan berdua bawaannya pingin mengeluarkan isi KBBI dan menjadikannya rangkaian kalimat panjang yang meluapkan isi hatinya.
“Pokoknya kamu itu mirip siput, sinis putih dan imut.” Nanang cekikikan sendiri dengan ucapannya, sedang Rinjani menurunkan tangannya ke sini tubuh seraya mendahului Nanang pergi ke rumah.
“Welcome home, Bunda.”
Membeku, terdiam, dan tersentak. Rinjani tak tahu harus apa selain hanya mengedipkan mata saat melihat anak-anaknya justru berada di rumah Nanang daripada rumah Ayahnya.
“Kayaknya ada yang beda dari rambut bunda. Habis ke salon ya?” ucap Dalilah dengan semringah.
“Iya itu Mbak. Rambut Budhe kelihatan habis dikruwel-kruwel, kayak cabai keriting, wangi juga yoh.... wangi bunga-bunga.” sahut Jalu Aji sambil mendekati Rinjani dan menarik tangannya yang dingin agar masuk ke dalam.
“Dikruwel-kruwel Bapak paling, Lu. Jadi kelihatan berantakan tapi tetap ayu. Oh... aku tahu maksudnya...” Pandu terlihat cengengesan.
“Paling Bapak sama kayak aku, seneng lihat rambut istri awut-awutan waktu bangun tidur. Kelihatan gemesin terus pingin ngerayu sambil pura-pura ngerapiin rambutnya.”
Jalu Aji iya-iya saja wong dia juga tidak paham kesenangan macam apa yang bangkit sewaktu pasutri bangun tidur.
“Bapak mana, Bu?” tanya Jalu Aji.
Rinjani kesulitan membuka mulutnya karena semua mata tertuju padanya. Bahkan canda yang dilontarkan anak bungsunya terasa mengigit keberaniannya bersuara.
‘Apa Nanang mikirnya begitu juga?’
Rinjani menoleh waktu Nanang muncul sambil terbatuk-batuk. Sengaja dia biar semua mata tertuju padanya.
“Kok ramai-ramai ini, ada apa?”
“Momong adik karena Bapak dan Budhe pergi dari rumah!” sembur Arunika. Matanya menatap tangan Bapaknya, “Bapak nggak bawa jajanan, oleh-oleh gitu? Katanya pergi cari wangsit, mana wangsitnya?”
“Wangsitnya baru Bapak order, kalian tunggu saja.”
“Ye... ye... Makan wangsit.”
Gelak tawa mengisi ruang-ruang klasik di rumah itu sedang Arunika tetap ngotot wangsit adalah makanan di depan Swastamita.
“Wangsit kok di makan, Run... Run... Kamu ini selain ngeyel juga keras kepala.” Pandu membopong adiknya, “Yang bisa di makan itu pangsit yoh, kupingmu nanti di periksa Mas Jati.”
Nanang menyunggingkan senyum seraya memanggil Anjana dan Anjani yang baru repot menguasai sendok dan garpu di kursi makan mereka. Dia meninggalkan Rinjani yang tetap mematung seolah enggan bergerak atau takut bergerak.
“Ibu kalian itu kalau tidak aku bawa pulang cepat-cepat, pasti minta kabur lagi keliling kota. Nggak mau pulang katanya, maunya cuma berduaan terus.”
Dalilah, Suryawijaya, Pandu, Bimo, Nawangsih, dan Citra selaku anak dari Rinjani Alianda Putri yang saban hari mengerti watak sang Ibu dari ujung kaki sampai kepala saling bertatapan.
“Kenapa Om nggak bawa Bunda ke hotel lagi? Bukannya bagus ada waktu bersama?” tukas Dalilah.
Rinjani seketika memberi tatapan bombastis side eye kepada Nanang. ‘Dia cerita ke anak-anak tadi habis kabur ke hotel? Parah...’
Nanang membersihkan wajah dan tangan anak kembarnya dengan tisu basah sembari meringis. Tatapan Rinjani itu sudah mengisyaratkan pertengkaran lagi.
“Ya memang bagus, tapi aku takut kebablasan, takut jantungku kenapa-kenapa.” Nanang menurunkan Anjani dan Anjana dari meja makan mereka sebelum mendekat Rinjani tapi tatapannya ke arah anak-anaknya.
“Ibumu itu kalau di luar genit, sudah berani peluk-peluk Bapak terus bilang, sebelum kita mati aku ingin melihat matamu dalam-dalam.”
Alih-alih menjerit dan mengutuk mulut suaminya yang bocor banget itu, Rinjani ambruk tanpa aba-aba hingga menimpa Jalu Aji yang nyantai di bawahnya.
Jalu Aji gugup dan cemas setelah kejatuhan burus yang tidak berat-berat amat baginya. “Pak'e, budhe lho, aku takut.”
Nanang menggelengkan kepala. “Bopong dia ke kamar, habis itu rapat keluarga!”
Suryawijaya dan Bimo gegas membawa ibu mereka ke kamar sambil tersenyum-senyum geli.
“Ibu tanpa ayahanda mirip kepompong yang malu-malu keluar dari cangkang.”
-
Nanang juga bilang Rinjani kurang asem.
Kecut semua dong ha haaaa
Semakin tidak sehat tuh jantungnya.
kangen sama mas Kay pastinya
Saking senengnya gak konsen nyopir sampai nubruk motor noh....
Weeehhh ada putrinya yg tidak setuju bapak e nikah lagi. Lucuu Arunika wkwkwk