Menjadi penghalang bagi hubungan saudarinya sendiri bukanlah pilihan yang mudah. Mau tidak mau Ran relakan dirinya demi keutuhan keluarga. Cacian, hinaan, tak dianggap, itu bukanlah hal yang baru. Ran memasang wajah palsu yang ia pertontonkan pada siapa pun.
“Di sini aku Ran. Apa kalian melihatku? Aku ada dan hidup di planet yang sama dengan kalian, tolong jangan abaikan aku ... aku sendiri.”
Setelah menikah apa hidup Ran akan berubah? Atau malah sama saja? Menjadi sosok yang dibenci banyak orang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rinnaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Saat mendengar nama itu, suara-suara seorang gadis terngiang di telinga. Seperti, Menyapa, bercerita, mengobrol, dan tiba-tiba ... rintihan.
“To—long aku, R—an.”
Ran menutup kupingnya, meringkuk di antara lutut dan juga menangis. Bukan suara saja yang ia dengar sekarang, tapi juga wajah gadis itu.
Gadis itu terkapar di hadapan seseorang dengan mata yang tertuju pada Ran yang sembunyi di balik batu tepi sungai. Dia sangat berharap Ran menolongnya, tapi Ran tidak bergerak dari tempat, dia hanya menyaksikan bagaimana tersiksanya gadis itu.
Ran menggelengkan kepala saat gadis itu menatap dengan nanar memohon. Gadis itu langsung kecewa pada Ran, tiba-tiba telunjuk gadis itu lurus ke arah Ran agar pria yang menyiksanya melihat dan menangkap Ran juga.
Seketika Ran langsung menyempurnakan posisinya di sisi batu agar tidak terlihat. Tubuhnya gemetar ketakutan, hingga tubuhnya mendingin seperti mayat.
“Ada ... ada se-seorang di sana. Ta-tangkap dia,” ucap gadis itu berharap si pria mengalihkan perhatian pada Ran.
Ran dapat mendengar suara itu. “Tidak Olif, jangan bawa aku.” Ran menangis dalam diam. Dia menggenggam batu bersiap jika pria itu mendekat, maka Ran akan mencoba melawan.
Tapi sudah beberapa menit dia menunggu, pria itu tidak datang. Selanjutnya terdengar suara pekikan terakhir Olif yang meminta ampun.
Ran mengintip untuk melihat apa yang terjadi. Mata Ran langsung tertuju pada mata pria itu yang menatap Olif yang bergenangan darah seperti hewan buas yang menetapkan mangsa.
Syok. Ran merasa ada hantaman yang mengguncang mentalnya. Bahkan saat Ran berhasil pulang pun dia tidak bisa melupakan tatapan itu juga rasa bersalahnya pada Olif.
“Maaf. Maaf. Maaf ... Olif.”
Beberapa kali Polisi datang ke rumah untuk berurusan dengan Ran. Mereka terus menanyakan keberadaan Olif, sebab diduga terakhir kali Olif main bersama Ran.
“Ran, jawab!” bentak Salsa. Dia geram karena Polisi selalu mendatangi rumah ini, membuat tetangga membicarakan yang tidak-tidak tentang keluarga mereka.
Ran selalu diam dengan tatapan kosong, dia tidak pernah memberi jawaban petunjuk bagi Polisi.
“Olif ... siapa?” Ran terlalu tertekan. Titik terakhirnya, otak Ran langsung menghapus semua ingatan tentang sosok yang selalu ditanyakan orang padanya.
“Dia temanmu,” jawab Polisi.
“Teman? Aku ... punya teman?”
Polisi langsung merasa bersalah. Dia memiliki seorang istri yang merupakan dokter psikologis. Dia pernah diperingati oleh sang istri untuk tidak terlalu menekan saksi yang menyaksikan hal buruk, atau hal tak diinginkan akan terjadi.
Dan sekarang hal itu terjadi.
“Di mana temanmu Ran! Cepat jawab! Tetangga membicarakan kita terus.” Salsa memaksa Ran menjawab padahal gadis itu tidak pernah bersikap normal semenjak hilangnya Olif.
“Buk, hentikan. Sebaiknya Ibu Bapak membawa Ran ke Psikolog. Dia, tidak baik-baik saja.”
Ran menangis histeris, dia terus berteriak tidak tahu dan tidak tahu bahkan di saat semua orang sudah diam.
“Aku tidak tahu. Tidak tahu. Siapa Olif? Aku tidak—”
“Ran!”
Ran tersentak membeku di hadapan dua teman yang panik sebab Ran berteriak histeris dan tidak mendengar suara mereka.
“Aku tidak tahu,” ucap Ran sekali lagi. Dia kembali menyembunyikan kepala di antara lutut yang ditekuk. Matanya sudah banjir, sekarang dia ingat siapa Olif dan apa yang terjadi dengannya.
“Ran apa yang kau kata—”
“Olif, sudah mati ... dia dibunuh di pinggir sungai, Pak Polisi.”
Aldo dan Risti saling pandang. Sepertinya ada yang salah dengan Ran, setelahnya Ran diam tidak bergeming, tubuhnya beringsut jatuh ke lantai ... dia tidak sadarkan diri.
***
Matahari sudah mulai terbenam, suasana menjadi lebih sejuk dari sebelumnya. Guren melilitkan selimut ditubuh Ran, dia mengangkat gadis itu keluar dari ruang UKK.
Ran belum sadar, kata dokter biarkan saja dia tertidur sampai dia bangun sendiri.
“Pulang sekarang?” tanya Miztard yang duduk di atas mobil bersama Risti. Mereka akan mengantar Guren dan Ran pulang, setelah sabar menunggu sejak siang tadi.
Ya, seharusnya siang tadi sudah bisa dibawa pulang, tapi Guren membiarkan dan menemani Ran sepanjang hari karena Ran tampak nyaman dengan posisinya.
“Iya,” jawab Guren.
Sampai di apartemen Guren menyuruh pasangan kekasih itu untuk langsung pulang, dia tidak ingin ada keributan di rumah.
Mengerti maksud Guren, Miztard menurut memaksa Risti yang ingin menunggu Ran sadar untuk pulang sekarang.
“Olif,” gumam Miztard sembari menyetir. Risti menoleh, dia menatap mata Miztard yang tampak mengkhawatirkan sesuatu.
“Kamu belum memberitahu aku alasan kenapa aku tidak boleh cerita pada Guren tentang teman lamanya Ran itu,” tuntut Risti. Dia tidak mengerti kenapa ini malah menjadi rahasia yang anehnya dia tidak tahu jalan rahasia ini.
“Mayat utuh Olif belum ditemukan sampai sekarang ... tidak ada yang tahu apa yang terjadi dan di mana dia mati.”
“Ja-jadi?” Risti jadi gugup. Entah kenapa ini menegangkan, ditambah dengan cara Miztard yang menyampaikan terkesan horor, mata pria itu lurus ke depan, tatapannya datar tidak seperti biasa.
Tiba-tiba Miztard memberhentikan mobil di tepi jalan yang sepi, jarang dilalui orang lain. Risti sontak melihat lingkungan sekitar ... ini bukan jalan ke rumahnya ataupun ke rumah Miztard.
“Ki-kita mau ke mana?”
“Ke tempat bagian tubuh Olif ditemukan, kepalanya.”
Risti merinding. “Kau tahu dari mana?”
“Arif, abangnya Olif.”
Satu kejutan lagi. Otak Risti pening untuk mencerna semuanya, apalagi informasi Miztard yang patah-patah. “Jelaskan padaku!”
Terdiam sesaat, kemudian Miztard membuka suara. “Olif adiknya Arif juga mantannya Guren, dan fakta barunya adalah Ran yang ternyata sahabat Olif ... mungkin juga satu-satunya saksi atas kematian Olif. Maka dari itu jangan sampai fakta itu diketahui Guren.”
“Kenapa?”
“Karena pelakunya belum ditemukan.”
“Apa hubungannya dengan—hah! Jadi pelakunya—”
“Belum jelas. Maka dari itu tutup mulut saja dulu. Jawaban ada di tangan Ran, tapi sepertinya gadis itu mengalami masalah ingatan.”
Risti diam, yang dikatakan Miztard benar juga. Sepertinya ini akan semakin sulit mengingat reaksi Ran tadi siang ketika mendapat sedikit ingatannya. Bisa dibilang masalah ini merupakan salah satu trauma bagi Ran, jadi tidak akan mudah bertanya pada Ran.
Cengkeraman tangan Risti mengerat pada ujung baju, dia gigit bibirnya karena perasaan cemas serta takut. “Ki-kita pulang saja, Miztard. Ini di luar kendala kita, iya, kan?”
Miztard berpikir cukup lama, keheningan mereka berlangsung selama sepuluh menit. Kemudian dia memutar kembali setir mobil, menyadari kekhawatiran Risti dia jadi tidak tega.
“Maaf,” kata Miztard.
Seharusnya dia tidak menyeret Risti sampai sejauh ini. Entahlah, Miztard sebenarnya hanya ingin menghapus bukti jika benar Guren pelakunya.
Dan dia menyesal bicara terlalu banyak pada Risti.
“Ris,” panggil Miztard.
“Iya?”
“Jangan bilang pada siapa pun tentang masalah ini ... termasuk Polisi. Siapa pun tidak boleh.”
“Kenapa?”
Miztard langsung memutar kepala tajam. Risti menunduk, kemudian menganggukkan kepala. Seram sekali jika ekspresi Miztard yang seperti itu.
Bersambung
akhir yang manis.
semangat💪🏻💪🏻💪🏻 selalu untuk karya2 mu yg lain.
perbaiki masa lalu kamu.
terbuka lah dg ran.
semangat up kak author
guren cinta sama kamu ran jadi tidak akan menyakiti kamu, semoga arif dapet balesan nya.
dan guren mau mendengarkan alasan dn penjelasan dr ran kenapa ran sampai pergi.
kasih pelajaran buat arif mak othor.
kuranga ajar si arif mau misahin ran sama guren kan kasian bayinya.
mak othor semoga sehat selalu😘😘😘.
syemangat💪🏻💪🏻💪🏻💪🏻
jangan lama2 yah thor buat ran perginya