Jaysen Avshallom seorang pria tampan dan kaya raya yang menjadi buta akibat kecelakaan yang menimpanya. Tragedi itu terjadi di malam saat dia memergoki kekasihnya sedang berselingkuh. Dia berniat membalas dendam pada wanita yg membuat dunianya kini menjadi gelap.
Emily Vionetta yang baru tiba di bandara, di culik dan ditawan oleh orang tak dikenal. Ternyata mereka telah salah menangkap orang. Mereka mengira Emily adalah Eleanor saudari kembarnya. Dia terpaksa menjalani hari-hari menyakitkan dan ketakutan.
Ternyata Jaysen adalah dalang penculikannya. Tanpa dia sadari, perasaan cintanya tumbuh. Dia tahu kalau gadis itu bukan Eleanor. Dia tak ingin melepaskannya. Tapi demi balas dendamnya, dia menjebak Emily dalam pernikahan.
Hingga suatu hari Eleanor kembali dan menyesal. Dia ingin kembali pada Jaysen sehingga mengancam Emily. Akankah Eleanor berhasil merebut kembali Jaysen? Benarkah Jaysen buta atau hanya pura-pura buta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meta Janush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28. SEBUAH IDE
Deg!
Untuk sesaat Naura menahan napas tetapi perempuan berusia setengah abad itu buru-buru memasang wajah biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa.
“Apa benar seperti yang lelaki itu katakan? Bahwa mereka sedang…..bermesraan?” Titus sempat terdiam sesaat mencari kata lain yang lebih baik
“Itu tidak mungkin kan Naura? Eleanor memang jatuh kedalam pelukan lelaki iblis itu meskipun dia kabur tapi Emily tidak mungkin takluk begitu saja padanya.”
Sambil menelan ludah Naura tidak sanggup berkata apa-apa. Yang dilihatnya ditaman waktu itu memang sesuai dengan apa yang dikatakan Jaysen.
Naura melihat waktu itu bagaimana Emily mengejar kepuasannya diatas pangkuan lelaki buta itu. Bahkan sangat jelas terlihat olehnya ekspresi puas saat putrinya akhirnya mendapatkan pelepasan.
“Mereka sudah melakukannya,” bisiknya, teringat dengan banyaknya bercak merah yang terlihat jelas dikulit putih mulus putrinya.
Ini mungkin sudah hari ketujuh sejak Emily berada dirumah Wisesa dan kemungkinan sejak malam pertama, putrinya itu sudah berhasil digagahi oleh lelaki buta itu yang tidak kenal ampun dan selalu bersikap kasar serta keji pada siapapun.
“Entah sudah berapa kali mereka melakukannya,” gumamnya menggigit kuku tangannya. Didalam hati perempuan itu berpikir, apakah tepat bila mereka memaksa mengambil Emily dari tangan Jaysen? Toh, dari apa yang dilihatnya, putrinya itu juga tampaknya menikmati perlakuan lelaki buta itu padanya.
“Apakah tidak lebih baik kalau kita turuti saja permintaan keluarga Wisesa?” tanya Naura lirih penuh keraguan namun dia mencoba memikirkan itu.
“Apa maksudmu?” Titus sontak menjauh menatap istrinya dengan sepasang alis mengkerut.
“Tenanglah suamiku!” bujuknya meraih tangan Titus dan mengusapnya. “Dengarkan dulu penjelasanku. Setelah itu mungkin kamu bisa memikirkannya.”
Titus mendengus keras lalu memalingkan wajah, kedua tangannya kembali terkepal sementara urat didahinya berkedut-kedut. Saat ini dia benar-benar bisa kehilangan kendali jika dia tidak menahan dirinya untuk tetap tenang.
“Begini, Eleanor menghilang dan sampai sekarang kita masih belum menemukannya. Lalu, bukankah keluarga Wisesa meminta agar putri kita menikahi lelaki buta itu sebagai bentuk pertanggung jawaban? Jadi---”
“Naura!” bentak titus dengan suara marah. “Apa kamu berniat menyerahkan Emily sebagai ganti Eleanor huh? Bagaimana kamu bisa berpikir sepicik itu?”
“Bukan begitu Titus. Hanya saja kita tidak punya plihan saat ini.” sanggah Naura dengan bibir bergetar dan wajah memucat. “Kamu tahu kan bagaimana sikap keluarga Wisesa? Kita tidak akan selamat kalau terus melawan mereka!”
“Setidaknya aku akan mencoba untuk mencari pinjaman untuk membayar kompensasinya.” jawab Titus dengan sikap linglung, sekali lagi dia meremas rambutnya dengan frustasi.
“Iya tapi kemana? Sepuluh milyar itu dari mana kita bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Sedangkan batas waktunya sudah semakin dekat?”
“Tapi tetap saja, jika menyerahkan Emily---” ucap Titus tak melanjutkan ucapannya. Hanya membayangkan jika putrinya menikahi pria itu saja sudah membuatnya bergidik ngeri.
“Itu adalah pilihan terbaik yang kita punya saat ini. Dengar! Kita bisa meminta jaminan agar putri kita akan baik-baik saja sementara kita akan tetap berusaha mencari dan menemukan Eleanor.” ujar Naura berusaha menyakinkan suaminya untuk membuat pilihan.
Meskipun ada nada tidak yakin dalam suara Naura tetapi dia sangat paham apa yang baru saja dikatakannya tadi merupakan hal yang sangat mustahil.
“Setidaknya jika Eleanor sudah kita temukan, mungkin akan ada jalan keluar lain yang bisa kita pikirkan untuk menyelamatkan Emily.”
Titus tidak menanggapi perkataan istrinya, dia hanya terdiam dengan tatapan nanar begitu juga Naura pun akhirnya diam. Naura tahu kalau suaminya itu juga meragukan keputusan itu. Mungkinkah seorang jaysen Avshallom Wisesa akan bersedia menerima permintaan mereka begitu saja?
Rasanya lebih baik mereka berharap salju turun digurun sahara dibandingkan mengharapkan sedikit kebaikan dari hati lelaki iblis buta itu yang sangat kejam. Suasana hening, keduanya diam dengan pikiran masing-masing diruang tamu yang luas itu hanya terdengar detak jam dinding yang mendominasi.
Hingga terdengar suara keributan dari luar rumah memecahkan keheningan mereka. “Ada apa ini?” seru Titus sontak berdiri saat segerombolan orang memasuki kediamannya dengan memaksa. “Siapa kalian? Kenapa menerobos masuk kerumah orang seenaknya?”
“Kami tidak terlalu butuh sopan santun hanya untuk menghadapi orang seperti anda Titus Maleakhi!” sahut salah satu lelaki muda yang mengenakan kacamata hitam sambil berjalan kedepan. Dari gestur tubuhnya jelas sekali kalau dia memasang sikap meremehkan.
“Hati-hati kalau berbicara.” ujar Titus dengan emosi sementara Naura berdiri dibelakangnya dengan ketakutan. “Keluar dari rumahku sekarang!”
Dengus tawa mengejek terdengar sebelum lelaki dengan rambut terkuncir itu menjentikkan jarinya dan dari arah belakangnya berjalan beberapa orang petugas kepolisian.
“Titus Maleakhi! Dengan ini kami menangkap anda atas tuduhan kepemilikan obat terlarang.” ujar salah satu dari petugas polisi dengan nada datar.
“Aappaaaa? Apa maksudnya ini? Obat terlarang? Siapa yang-----”
“Silahkan ikut kami ke kantor polisi untuk proses penyelidikan lebih lanjut.” potong salah satu petugas. Bersamaan dengan itu beberapa petugas lain langsung mencekal tangan Titus dan menyeretnya.
“Lepaskan! Kalian tidak bisa menangkapku seenaknya begini! Ini fitnah! Semua itu tuduhan palsu!”
“Anda bisa menjelaskan semuanya nanti dikantor. Semua keterangan yang anda berikan akan kami catat dan silahkan hubungi pengacara anda nanti sesampainya dikantor.”
“Tidak! Pasti ada kesalahan! Suami saya tidak pernah berurusan dengan obat terlarang! Pasti ada orang yang sengaja memfitnah dan menjebak suami saya!” teriak naura terisak.
“Kalau Nyonya memiliki pembelaan, maka silahkan datang ke kantor. Sekarang saya mohon kerjasamanya dan jangan menghalangi kami. Atau Nyonya juga akan menerima tuntutan karena menghalangi petugas!” ujar seorang petugas lagi.
“Ta—tapi---”
“Saya harap nyonya tidak menghalangi petugas negara! Kami hanya menjalankan tugas saja disini.”
Naura langsung luruh ditempat. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya saat petugas polisi membawa Titus pergi.
“Kami permisi dulu.” pamit salah satu petugas. Diikuti oleh rekan-rekannya yang lain, mereka menunduk hormat kearah lelaki muda itu.
“Ya, ya...pergilah!” balas si lelaki muda melambaikan tangannya dengan santai. Sekilas dia melirik kearah naura yang masih syok dan kebingungan. Beberapa pelayan mencoba menenangkannya tetapi perempuan itu hanya diam membeku.
Tanpa acuh sedikitpun, lelaki muda itu lalu berbalik pergi. Sebelah tangannya meraih ponsel dan tidak lama dia menghubungi seseorang.
“Perintahmu sudah dilaksanakan!” lapornya pada lawan bicaranya diseberang telepon.
Sambil berbicara dia melepaskan kacamata hitamnya. Ada yang berbeda dengan warna mata lelaki itu, satu matanya berwarna hijau dan satu lagi berwarna coklat.
“Biarkan aku tidur nyenyak. Lagipula aku sudah menyesalinya. Maafkan aku oke?” ucapnya lagi.
Namun tidak ada sahutan yang terdengar dari seberang telepon kecuali suara telepon yang diputus secara sepihak. Sambil mendengus kesal, lelaki muda itu yang tak lain adalah Evan mengacak-acak rambutnya saking kesalnya.
nyesel kan jaysen,
semoga akhrnya nanti bahagia