Nilam rela meninggalkan panggung hiburan demi Indra, suaminya yang seorang manager di sebuah pusat perbelanjaan terkenal. Sayangnya, memasuki usia dua tahun pernikahan, sang suami berulah dengan berselingkuh. Suaminya punya kekasih!
Nilam yang kecewa kepada suaminya memutuskan untuk kembali lagi ke panggung hiburan yang membesarkan namanya dulu. Namun, dia belum mampu melepaskan Indra. Di tengah badai rumah tangga itu, datang lelaki tampan misterius bernama Tommy Orlando. Terbesit untuk balas dendam dengan memanfaatkan Tommy agar membuat Indra cemburu.
Siapa yang menyangka bahwa lelaki itu adalah seorang pengusaha sukses dengan masalalu kelam, mantan pemakai narkoba. Mampukah Tommy meraih hati Nilam yang terlanjur sakit hati dengan lelaki dan bisakah Nilam membuat Tommy percaya bahwa masih ada cinta yang tulus di dunia ini untuk lelaki dengan masa lalu kelam seperti dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lemari Kertas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Cincin
Nilam tengah menguak tirai, berduyun-duyun iringan kendaraan datang. Ruang tengah telah disulap dengan dekorasi beberapa hari yang lalu. Acara akad akan dilangsungkan di rumah itu. Nilam telah cantik dengan kebaya. Rambutnya telah digelung sedemikian rupa. Harum tubuhnya semerbak mewangi, sang perias sampai sering salah kira, mengira Nilam lah pengantinnya. Ya, dia hanya pendamping, pendamping bagi suami yang akan menikahi madunya. Tapi, Nilam tak mau menunjukkan hatinya yang terluka, tatapannya tenang meski dadanya bergemuruh.
"Lalu kenapa kau merelakan tempat ini mereka jadikan tempat untuk akad, Lam?" tanya Yuki, dia yang sedari tadi tak rela dengan apa yang akan disaksikan Nilam hari ini. Yuki juga sudah didandani. Nilam memintanya untuk menemani agar ia kuat.
Keluarga Nilam tak satupun yang datang. Ibu syok berat ketika dua hari yang lalu Nilam mengabarkan berita menyakitkan itu. Ayah Nilam murka, tetapi Nilam melarang untuk menggunakan kekerasan. Nilam sudah mengatakan yang sebenarnya juga perihal surat kuasa yang masih jadi rahasia.
"Tak apa, Mbak, biarkan mereka merasa menang saat ini. Toh, tak lama lagi mereka juga akan tertendang dari rumah ini. Uang Indra tak seberapa ketika membeli rumah ini, Mbak. Mbak tahu sendiri kisahnya seperti apa bukan?"
Yuki mengangguk, ada airmata jatuh di pipi Yuki, membayangkan sedih hati Nilam kini. Nilam menatap manager sekaligus sahabatnya itu lantas memeluknya erat.
"Aku butuh bahu untuk bersandar, Mbak. Semua ini berat, tapi aku tak akan membiarkan aku kalah begitu saja." Nilam tersedu sedan di pelukan Yuki. Keduanya berpelukan lama sekali. Yuki hanya bisa menenangkan Nilam dengan kata-kata bijaknya. Dia tahu, begitu sakit rasanya diduakan, apalagi berpura-pura ikhlas padahal hati tak rela.
"Kau harus kuat, jangan pernah menjatuhkan setitik airmatapun di depan mereka!" bisik Yuki. Nilam hanya mengangguk, berusaha menenangkan dirinya sesaat.
Tubuh sintal Nilam yang berbalut kebaya membuat siapa saja berdecak kagum ketika dia turun dari tangga menuju ruang tengah. Ada raut tak enak di wajah kedua orangtua Marissa juga kedua orangtua Indra sendiri. Nilam mengabaikan mereka, tatapannya lurus ke arah dua orang yang akan segera mengucapkan akad.
Bisa Nilam lihat, mata Indra fokus menatapnya yang tampak begitu cantik. Bahkan kecantikannya tentu mengalahkan Marissa yang kini selalu menjadikan kehamilan sebagai tameng agar Indra lengket kepadanya.
"Sudah bisa kita mulai?" tanya penghulu kepada Indra. Indra mengangguk. "Anada Nilam Asmarani, rela dengan pernikahan ini?" tanya penghulu lagi. Nilam menatap sebentar semua orang, kemudian dia tersenyum dan mengangguk.
"Saya ikhlas, Pak penghulu," kata Nilam masih dengan senyumnya yang anggun.
Acara itu mulai berlangsung, pernikahan dua orang yang telah menyakiti hati Nilam akan terjadi. Indra mengucapkan akad dengan lancar. Nilam memejamkan mata, akad yang Indra ucapkan seperti membawa memori kenangan dua tahun yang lalu ketika dia pun pernah berada di posisi Marissa.
Nilam menguatkan hati, hampir saja menetes airmata. Namun, Nilam tidak akan membiarkan satu tetes pun jatuh. Ia ingin semua orang melihatnya sebagai orang yang tak akan tertindas karena pernikahan suaminya.
Cincin telah disematkan di jari manis Marissa. Nilam kembali merasa hatinya bergemuruh hebat, ia tanpa sadar mengusap cincin yang berada di jarinya sendiri. Betapa sakit hatinya, mendapati satu kenyataan, ada dua jari yang tersemat cincin dari dua wanita yang berbeda, dalam ikatan rumah tangga yang ternyata penuh dengan dusta.
"Kuat, Lam." Yuki berbisik, seraya menggenggam jemari Nilam dengan erat. Nilam menoleh, lalu mengangguk perlahan.
Lalu acara berlanjut dengan merayakan pernikahan itu. Semua keluarga nampak berbahagia, taman indah Nilam dihias untuk jadi tempat pelaminan. Nilam menebar senyum kepada siapa saja yang dijumpainya, ia tak akan membiarkan orang memandangnya iba, karena bukan dia yang akan kalah, tapi dua orang di atas pelaminan itulah yang akan merasakan akibatnya.
Langkah Nilam tercekat, saat seseorang nampak hadir di acara pernikahan itu. Indra mengerutkan dahi, ia tak kenal siapa lelaki tampan dan terlihat tak biasa itu. Indra memang hanya mengundang orang-orang terdekatnya. Tentu Indra tak mengenalnya, tapi Nilam lah yang mengenalnya.
"Tom ..." Nilam mendesis pelan, melihat Tommy berjalan ke arahnya.
Semua orang memang fokus dengan dua orang di atas pelaminan, tetapi Indra saat ini menangkap sesuatu yang lain dari Nilam dan Tommy. Hatinya terbakar cemburu.
"Rileks, Nilam. Aku bangga kepadamu yang tampak sangat cantik dan kuat hari ini," bisik Tommy penuh perhatian. Kalau saja Tommy boleh, akan dipeluknya Nilam erat. Sayangnya, dia tahu belum saatnya dia melakukan itu.
"Aku baik-baik saja, kok." Nilam terkekeh, sembari memberi segelas minuman untuk Tommy yang gegas menerimanya dengan senyuman.
Kehadiran Tommy tak urung menjadi sesuatu yang menenangkan saat ini. Tommy sendiri sekarang beradu pandang dengan Indra yang masih menatapnya dari kejauhan. Lelaki itu tersenyum sinis kemudian mengalihkan lagi perhatiannya kepada Nilam.
Lalu Nilam memilih untuk duduk di sebuah bangku yang jauh dari tempat acara itu. Ia tak merasa gusar ketika Tommy mengikutinya. Indra tak fokus sama sekali, saat fotografer sedang mengarahkan kamera, Marissa beberapa kali menegur Indra yang matanya tampak celingukan mencari-cari.
Nilam melepas cincin di jarinya, Tommy mengangkat alisnya melihat hal itu.
"Kenapa kau melepasnya?" tanya lelaki itu.
"Aku tidak suka melihatnya lagi di sini."
"Aku akan menggantinya dengan yang lebih indah," ujar Tommy.
"Aku sedang tak butuh cincin pengganti," balas Nilam.
"Suatu saat, aku yang akan menyematkannya untukmu."
Nilam memandang Tommy dengan mata berkaca-kaca.
"Terimakasih sudah menghiburku, Tommy," Nilam berkata lirih, pelan, hampir tak terdengar.