NovelToon NovelToon
Gadis Polos Itu Milik Tuan Muda Xavier

Gadis Polos Itu Milik Tuan Muda Xavier

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis
Popularitas:11.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nona Jmn

Xavier remaja dingin yang hidup dalam keluarga penuh rahasia, dipertemukan dengan Calista—gadis polos yang diam-diam melawan penyakit mematikan. Pertemuan yang tidak di sengaja mengubah hidup mereka. Bagi Calista, Xavier adalah alasan ia tersenyum. Bagi Xavier, Calista adalah satu-satunya cahaya yang mengajarkan arti hidup.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pelukan Sunyi.

Xavier mengajak Calista duduk di bawah rindangnya pepohonan taman. Dari dalam tas, ia mengeluarkan kotak bekal yang dibawakan oleh Omanya.

"Ini buat lo, di jamin sehat," ucapnya santai.

Calista menerima kotak itu dan segera membukanya. "Wah, roti pandan! Makasih, Vier."

"Hm, makan aja," jawab Xavier singkat.

Calista mengangguk lalu mencicipi roti tersebut. "Mmm, enak banget!" serunya sambil memakannya dengan lahap. Pipinya tampak menggemaskan ketika penuh, membuat Xavier tak tahan untuk meraih ponselnya dan memotret momen itu diam-diam.

"Xavier juga harus coba," ujar Calista kemudian, menyodorkan sepotong roti ke arahnya. "Aaaa, buka mulut."

Xavier pun menurut dan menerima suapan itu. Begitu roti menyentuh lidahnya, ia langsung mengangguk kecil—rasanya memang enak, khas buatan Omanya.

"Ini kamu yang bikin?" tanya Calista penasaran.

Xavier terkekeh pelan sambil menggeleng. "Bukan, ini buatan Oma gue."

Calista tersenyum tipis. "Pasti Oma kamu sayang banget sama kamu, ya."

"Jelas," jawab Xavier mantap.

Calista tersenyum samar. Andai saja Nenek Rosa bisa menyayanginya, mungkin ia akan merasa lebih tenang. Senyum itu perlahan meredup, meninggalkan gurat sendu di wajahnya. Xavier yang jeli menangkap perubahan itu langsung teringat pada Nenek Calista yang memang tak pernah bersikap ramah padanya.

"Lo mau gue kenalin ke Oma gue?" tawarnya hati-hati.

Calista cepat-cepat menggeleng. "Gak usah, Vier..."

Xavier menatapnya serius lalu memotong, "Dia gak seperti Nenek lo itu."

••

Di jam pulang sekolah, Xavier seperti biasa sudah berada di area parkiran. Ia duduk di atas motornya dengan wajah datar, kedua tangannya bertumpu santai di setang. Matanya sesekali melirik ke arah pintu gerbang, menunggu Calista yang katanya ingin ke toilet lebih dulu.

Xavier hampir heran—hampir setiap kali pulang sekolah Calista selalu singgah ke toilet. Tapi ia menggelengkan kepala, berpikir mungkin itu memang kebiasaan cewek pada umumnya.

Sementara itu, kabar kedekatannya dengan Calista sudah menyebar luas di sekolah. Bisikan, lirikan, bahkan tatapan iri dari beberapa siswa sudah jadi pemandangan biasa. Namun Xavier tidak peduli, selama itu tidak merugikannya, ia memilih diam.

"Vier..." suara familiar terdengar.

Xavier menoleh sekilas, mendapati Alvaro berjalan mendekat.

"Hm." sahutnya singkat.

Alvaro mencondongkan tubuh, suaranya diturunkan. "Opa Arya udah ngasih tahu lo?"

Xavier mengangguk pelan. "Iya."

Raut wajah Alvaro berubah. "Gue gak nyangka, ternyata kita keluarga mafia.... dan D'Angel bagian dari kita," bisiknya, nyaris tak terdengar.

Xavier menarik napas, menatap kosong ke arah jauh. "Gue juga. Sampai sekarang masih susah buat percaya."

Alvaro terkekeh hambar. "Lucu juga ya, waktu kecil kita main pura-pura jadi mafia... eh, sekarang malah beneran jadi bagian dari itu. Dan lebih parahnya," Xavier tersenyum miring, "gue yang harus jadi pemimpin."

Alvaro menepuk pundaknya, berusaha menyemangati. "Waktu Daddy gue cerita tentang Mommy lo, gue langsung yakin tante Angel pasti keren banget."

"Itu sudah pasti," sahut Xavier tenang.

Alvaro menatap serius. "Tapi sekarang saatnya lo turun tangan. Semangat, bro. Gue tahu ini berat, tapi gua yakin lo bisa. Aura pemimpin lo udah kelihatan dari sekarang."

Xavier tampak terdiam, lalu mengangguk kecil. "Thanks." suaranya tulus, meski tetap singkat. Ia melirik Alvaro, "Andai lo di posisi gue, gimana?"

Alvaro spontan menggeleng cepat. "Gak! Gue gak mau. Gue gak sanggup. Andai Opa Arya kasih jabatan itu ke gue, gue pasti langsung nolak mentah-mentah." Raut wajahnya jelas-jelas ngeri, seolah membayangkan saja sudah membuatnya merinding.

Xavier hanya terkekeh kecil, kali ini lebih dalam—tawa getir yang tidak sepenuhnya lucu.

••

Di dalam toilet wanita, Calista terduduk lemas di atas lantai dingin. Tubuhnya gemetar, keringat dingin membasahi pelipisnya. Baru saja ia memuntahkan isi perutnya, sementara kepalanya berdenyut hebat. Semua ini gara-gara ia telat minum obat.

Seharusnya tadi ia bisa segera menelan pil itu, tapi tugas tambahan dari Ibu Mawar membuatnya terlambat. Ia sempat ingin minum di kelas, namun cepat-cepat mengurungkan niat. Bagaimana kalau Xavier melihatnya? Pasti ia akan jijik, atau merasa kasihan. Calista tidak ingin itu terjadi. Ia ingin tetap terlihat seperti gadis biasa di hadapan Xavier, bukan seorang teman yang ringkih.

"Ya Tuhan... sakit sekali kepalaku..." desisnya lirih sambil menekan pelipis. Rasa nyeri semakin menusuk, membuatnya terbatuk keras—dan terbelalak kaget saat melihat darah kental keluar bersama batuknya.

"D-darah...?" bisiknya panik, matanya melebar penuh ngeri. "Ini pertama kalinya... aku batuk sampai keluar darah."

Tubuhnya melemah, jemarinya bergetar ketika menyentuh rambutnya sendiri. Beberapa helai rontok menempel di tangannya. Saat melihatnya, air matanya tak terbendung.

"Hiks... hiks... apa penyakitku sudah semakin parah?" suaranya pecah di antara tangis.

"Hidupku... tinggal sebentar lagi, ya?"

Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha meredam isakan. Namun suara tangis pelan tetap pecah di ruang sepi itu. Untuk pertama kalinya, Calista benar-benar merasa sendirian menghadapi takdirnya.

•○•

Di parkiran, Xavier terlihat sangat gelisah. Sudah hampir satu jam Calista tak kunjung keluar dari toilet. Sementara itu, suasana sekolah mulai sepi, hanya tersisa beberapa Pengurus OSIS yang masih sibuk rapat.

"Coba lo samperin deh, takutnya dia kenapa-napa," ucap Alvaro, ikut menunggu dengan wajah khawatir.

Tanpa pikir panjang, Xavier segera melangkah cepat menuju toilet wanita. Jantungnya berdegup tak karuan, pikirannya buruk terus menghantui. Baru saja ia ingin nekat masuk, pintu terbuka dan Calista keluar dengan wajah pucat pasi.

"Calista...lo gak apa-apa kan?" tanya Xavier cemas.

Calista berusaha tersenyum, meski terlihat jelas senyum itu dipaksakan. "Aku baik-baik aja kok, Vier. Maaf ya, kamu sampai nunggu aku lama."

Xavier mengamati wajahnya lekat-lekat. "Lo yakin? Muka lo pucat banget, Ca."

Calista menggeleng pelan. "Cuma sakit perut biasa...mungkin sebentar lagi halangan."

Xavier menghela napas panjang, jelas masih ada keraguan di matanya. "Ya udah, yuk balik aja," ujarnya, lalu meraih tangan mungil Calista yang terasa dingin.

Sambil berjalan beriringan, Xavier mencoba mencairkan suasana. "Eh, gue dengar ada cafe baru di daerah barat. Katanya mereka jual makanan sehat semua. Lo mau kesana gak? Jadi lo gak perlu khawatir soal makanan."

Calista menunduk sebentar, tersenyum tipis. "Boleh... tapi bukan sekarang ya." suaranya pelan, seolah menahan sesuatu. Padahal, dalam hatinya ia sangat ingin menghabiskan waktu bersama Xavier. Hanya dengan berada di dekatnya, ia merasa aman. Tapi kondisi tubuhnya jelas tidak memungkinkan.

Di parkiran yang sudah sepi, Xavier menuntunnya sampai ke motor. "Lo yakin kuat naik motor?" tanyanya khawatir.

Calista mengangguk kecil, tersenyum sekuat tenaga. "Aku baik-baik aja, kok."

Xavier membantu memasangkan helm di kepalanya dengan hati-hati, seolah Calista barang berharga yang tak boleh lecet sedikit pun. Setelah memastikan semuanya aman, ia naik dan menyalakan motor.

Begitu mesin berderu, Calista duduk ragu sejenak. Tapi begitu Xavier mulai melaju, tubuhnya spontan condong ke depan. Tangannya melingkar di pinggang Xavier, mencari pegangan sekaligus ketenangan.

Xavier terdiam sejenak, bisa merasakan betapa lemah dan dinginnya tangan itu. Ada rasa khawatir sekaligus hangat yang merayap di dadanya. Ia menahan diri untuk tidak menoleh, hanya fokus pada jalanan yang lengang.

Angin berhembus kencang, membuat rambut Calista sedikit terurai dari balik helm. Pelukannya semakin erat setiap kali motor melaju lebih cepat. Seolah-olah, dengan menggenggam Xavier seperti itu, rasa sakit di tubuhnya bisa sedikit berkurang.

Xavier menggenggam setang lebih kuat, menyalurkan tekad dalam genggamannya. Dalam hati ia berjanji, apa pun yang terjadi, ia akan menjaga gadis itu.

Perjalanan pulang terasa lebih panjang dari biasanya, bukan karena jarak, melainkan karena keheningan di antara mereka. Keheningan yang justru menghadirkan ketenangan—seakan-akan dunia mengecil, menyisakan hanya mereka berdua di atas motor itu.

1
kaylla salsabella
wah kirain yang lulus Xavier dan calista
kaylla salsabella
lanjut
kaylla salsabella
semoga jangan kambuh calista
kaylla salsabella
semangat calista😍😍😍
kaylla salsabella
pasti bella lagi rencana in sesuatu
kaylla salsabella
wah daddy leo ternyata kalah telak😁😁
kaylla salsabella
ayo vier...... semangat🤣🤣
kaylla salsabella
bagus opa... si calista juga di lindungi
kaylla salsabella
satu kata untuk Leon bodoh🤣🤣🤣
kaylla salsabella
lanjut thor.... jangan sampai bela nyentuh calista thor
kaylla salsabella
pasti si Ibu tiri Xavier
Lisa
Sombong banget cewe itu..mungkin fansnya Xavier tuh 🤭😊
Nona Jmn
Salting kak?😁
kaylla salsabella
cie... cie Xavier saling ya🤣🤣🤣
kaylla salsabella
semoga Bianca tulus meminta maaf sama calista
kaylla salsabella
wah..... kenapa cuman 1 part thor😭😭
Nona Jmn: Aamin😭
total 3 replies
Lisa
Wah Bianca sampe minta maaf seperti itu 🤭
kaylla salsabella
semoga sembuh
Nona Jmn
Mohon doanya gays, semoga dapat lolos penilaian🫶
kaylla salsabella
semoga calista sembuh
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!