Keputusan Bian dan Tiara untuk pindah ke Rumah Warisan Kakek di Desa Raga Pati adalah sebuah kesalahan fatal. Rumah itu ternyata berdiri di atas tanah yang terikat oleh sebuah sumpah kuno: Kutukan Arwah Tumbal Desa.
Gangguan demi gangguan yang mengancam jiwa bahkan menjadikannya tumbal darah selanjutnya, membuat mental Bian dan Tiara mulai lelah dan ingin menyerah.
"Jangan pernah mencoba memecahkan apa pun yang sudah ada. Jangan membuka pintu yang sudah terkunci. Jangan mencoba mencari tahu kebenaran yang sudah lama kami kubur. Jika kalian tenang, rumah ini akan tenang. Jika kalian mengusik, maka ia akan mengusik kalian kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tumbal Terakhir dan Ritual Keabadian
Tawa Ratih memecah kesunyian di Situs Kuno. Tawa itu dingin, panjang, dan penuh kemenangan. Bian, Tiara, dan Ibu Dwi membeku. Mereka baru saja berhasil melewati labirin ilusi yang mematikan, hanya untuk langsung jatuh ke dalam jebakan utama.
"Selamat datang di tempat peristirahatan terakhirmu, cucu Pranoto," sapa Ratih, berjalan keluar dari bayangan. Wajahnya berseri, tidak lagi diselimuti kemarahan seperti dulu, melainkan ambisi gila yang tenang. Ia ditemani oleh dua pengawal berjas hitam yang bergerak seperti mesin.
"Menyerahlah, Ratih!" seru Bian, mengangkat Liontin Suci di tangannya.
"Liontin Suci? Alat mainan yang mencoba memurnikan kotoran? Simpan saja," ejek Ratih. "Kau datang tepat waktu. Kau membawa darah Pawang murni yang aku butuhkan untuk menyempurnakan mahakarya ini."
Sebelum Bian dan Tiara sempat bergerak, pengawal Ratih bergerak cepat. Gerakan mereka tidak manusiawi, jauh lebih cepat dari yang Bian ingat dari pertemuan sebelumnya. Ini adalah sihir yang berbeda.
Swosss!
Bian merasakan pukulan keras di lehernya. Pandangannya berputar. Ia ambruk ke tanah.
Ketika Bian tersadar, tubuhnya sudah terikat kuat di atas altar batu yang dingin di Situs Kuno. Tangan dan kakinya diikat dengan rantai besi tua yang berkarat, dinginnya meresap hingga ke tulang.
Ratih berdiri di atasnya, memegang Tongkat Jaga yang kini bersinar hijau kotor.
"Kau tahu, Nak Bian," Ratih berbisik, membelai pipi Bian dengan ujung Tongkatnya. "Ayahmu dan kakekmu terlalu naif. Mereka hanya ingin menutup Gerbang. Tapi aku? Aku ingin menjadi Penjaga Abadi. Dan untuk itu, aku butuh Liontin Jiwa yang disucikan oleh darahmu."
Ratih menunjuk ke Cincin Perunggu yang tergeletak di dekatnya.
"Cincin Perunggu ini adalah kunci pengikat Klan Pawang yang paling kuno. Ia mampu mengikat jiwa-jiwa murni (Wina, Rendra, Joni) yang sudah kupanen, menjadikannya 'makanan' bagi Entitas Yang Tua. Tetapi untuk mengunci jiwa-jiwa itu ke dalam Cincin selamanya, aku butuh darah Pawang yang memiliki kepekaan Gerbang. Darahmu."
Bian merasakan tarikan kuat di dadanya. Jiwanya mulai ditarik keluar, ditarik menuju Tongkat dan Cincin Perunggu.
"Tiara! Dwi!" Bian mencoba berteriak, tetapi suaranya lemah.
Tiara dan Ibu Dwi juga sudah terikat, tetapi tidak seerat Bian, di tepi Situs Kuno. Mereka berjuang melawan belenggu mereka.
Tiba-tiba, Situs Kuno diselimuti kegelapan yang bukan dari malam. Kegelapan itu adalah Entitas yang Bian lihat dalam mimpinya.
Ggggrroooaaarrr!
Suara geraman yang dalam, yang menyerupai gemuruh perut bumi yang lapar, bergema. Makhluk Hitam Besar itu muncul. Ia tidak memiliki bentuk yang jelas, tetapi Bian melihatnya terbuat dari kabut hitam pekat yang memancarkan aura dinginnya kematian. Matanya adalah dua lubang api kuning yang menyala.
Makhluk itu bukan hanya ilusi, ia adalah penjaga fisik dari ritual Ratih, manifestasi dari kekuatan Tongkat Jaga yang disalahgunakan.
"Jangan buang energimu, Pengimbang," tawa Ratih. "Dia adalah Tuan Sumpah Gelap. Dia akan memastikan ritual ini tidak diganggu."
Makhluk Hitam itu bergerak. Langkah kakinya tidak menimbulkan suara, tetapi tanah di bawahnya berderak seolah membeku dan retak.
Krekkk... krekkk...
Tiara, meskipun terikat, meraih Liontin Suci di lehernya. Ia memusatkan energi Pengimbang.
"Jangan sentuh dia, Ratih!" teriak Tiara.
Makhluk Hitam itu mengabaikan Tiara. Ia melayang ke arah Dwi, yang berjuang melepaskan ikatan.
"Lepaskan aku! Bajingan tua!" teriak Dwi.
Makhluk Hitam itu mengangkat tangan besarnya yang kabur, menuding Dwi. Dwi tiba-tiba menjerit, bukan karena sakit fisik, tetapi karena teror psikologis yang luar biasa.
"Aku melihatnya!" teriak Dwi, matanya melotot. "Aku melihat Rendra... Wina... mereka ada di dalam kabut itu! Mereka menjerit di sekelilingku!"
Makhluk Hitam itu menggunakan duka kolektif yang dipanen Ratih untuk menyerang mental Dwi. Dwi ambruk, jiwanya terguncang.
Tiara tahu dia harus bertindak. Dia memusatkan energi Liontin Suci dan memproyeksikan kehangatan ke arah Dwi.
Sssshh...
Energi Pengimbang Tiara berfungsi sebagai perisai mental.
Dwi sedikit pulih. "Terima kasih, Tiara..."
Melihat serangan mentalnya gagal, Makhluk Hitam itu kini mengincar Tiara.
Makhluk itu mengeluarkan cakar panjang dari kabutnya dan menyabet ke arah Tiara.
Syuuutt! Udara terbelah. Tiara menghindar secepat yang ia bisa, tetapi cakar itu merobek kulit di bahunya.
Srett!
Darah segar Tiara menetes ke tanah. Makhluk Hitam itu menggeram, tertarik pada darah yang memiliki energi Pawang.
Ratih, yang terhibur oleh kekacauan itu, mengabaikan perjuangan mereka. Ia memfokuskan dirinya pada altar.
Ratih mengambil Cincin Perunggu yang kotor dan meletakkannya di atas dada Bian. Cincin itu terasa dingin, seolah es.
Ratih mengangkat belati ritual yang diukir dengan simbol spiral.
"Waktunya habis, Pawang Ilmu," bisik Ratih. "Setelah aku membuka arteri lehermu, darahmu akan membasahi Cincin Perunggu ini, dan kau akan menjadi ikatan abadi untuk semua jiwa di dalamnya!"
Bian merasakan Liontin Suci di lehernya memanas, bereaksi liar terhadap ancaman belati.
Bian memejamkan mata, memusatkan sisa-sisa kekuatannya, bukan untuk melawan fisik, tetapi untuk berkomunikasi dengan Tiara melalui Pawang Ilmu.
Dia ingin aku... mengikat... jiwa-jiwa ini... Bian mengirimkan gambar mental yang kacau. Cincin itu... bukan untuk dihancurkan... tetapi...
Ratih mengangkat belati tinggi-tinggi. Cahaya Tongkat Jaga memuncak, dan Makhluk Hitam itu meraung, siap menyerang Tiara begitu ritual selesai.
Ggggrrrroooaarrrr!
Bian hanya punya waktu beberapa detik lagi. Ia tahu Cincin Perunggu itu bukan untuk dihancurkan, melainkan untuk diisi dan diputus ikatannya dari Ratih.
Bian menatap Tiara, yang matanya membelalak ketakutan, tetapi ia melihat tekad di sana.
Tiara! Isi Cincin itu! Dengan... Liontin Suci!
Ratih menurunkan belatinya.
Sret!
Belati itu merobek kulit Bian. Darah mulai mengalir, membasahi Cincin Perunggu.
Ritual keabadian Ratih sudah dimulai.
sampai di bab ini, setiap baca gw cuma bisa,
"woh... wah... wah!"