NovelToon NovelToon
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Poligami
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Naim Nurbanah

Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.

Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15

Hari itu, suasana di rumah Nay dan Umar dipenuhi tawa dan suara riang dari sanak keluarga yang berkumpul. Di balik keramaian, Nay menggenggam tangan Umar erat-erat, detak jantungnya terasa berdentang cepat seperti mencoba meloloskan diri dari dada. Matanya berkaca-kaca menatap Umar yang juga tampak tegang, namun senyumnya tulus.

"Ini nyata, ya? Akhirnya kita sah," bisik Nay dalam hati sambil menelan getar bahagia. Umar menarik napas dalam-dalam, merasakan campuran lega dan haru.

"Setelah segala rintangan yang kita lewati, ini bukan akhir, tapi awal yang baru," pikirnya penuh tekad. Keduanya saling bertukar pandang, seolah menguatkan janji untuk terus melangkah bersama, menjaga cinta yang kini sudah resmi terikat.

Di balik gemerlap lampu dan tawa tamu yang memenuhi ruang pesta, Umar menatap Nay. Senyum lebarnya mengembang tulus, matanya berbinar seakan mengucapkan seribu kata tanpa suara. Napasku sedikit terhenti, terhanyut dalam kehangatan momen ini yang terasa begitu suci dan penuh harap.

“Setelah semua rintangan yang kita lewati, akhirnya kita di sini,” batinku pelan.

Hati mereka dipenuhi cinta yang dalam, rasa hormat yang tak tergoyahkan, serta impian membangun masa depan yang sama. Tangan Umar meraih tangan Nay erat, mereka tak perlu kata-kata lagi. Di dadanya, doa yang sama mengalun,

"Tuhan, terima kasih atas anugerah ini. Jadikan kami pasangan yang selalu saling percaya, setia, dan saling menjaga."

Perlahan, rasa lega dan bahagia mengisi ruang hati kami, menyambut awal baru yang kami arungi bersama sebagai suami istri.

Seiring doa yang mengalir dari bibir mereka berdua, Nay dan Umar saling berpandangan, mata mereka menatap penuh harap dan tekad. Nafas mereka bergema seirama, seolah menenun janji untuk terus berjuang demi kesuksesan pernikahan ini.

Meski acara berlangsung sederhana, suara langkah kaki yang terus berdatangan membuat hati Nay berdebar. Tamu-tamu hadir satu per satu, membawa senyum, doa, dan restu yang membuat udara terasa hangat.

Nay menggenggam tangan Umar erat-erat, matanya berkilat saat melihat tumpukan kado di sudut ruangan.

"Padahal kita nggak undang resmi, ya... Tapi ini anugerah yang luar biasa," bisiknya pelan, napasnya tersendat oleh haru. Hatinya mekar penuh rasa syukur, seperti bunga yang mekar di pagi hari.

Di dapur, aroma masakan yang sedap menguar, pertanda keluarga Nay sudah menyiapkan lebih dari cukup.

“Alhamdulillah,” gumam Nay dalam hati, senyum kecil mengembang di wajahnya. Semua ini, katanya pada dirinya, adalah awal dari kisah bahagia yang akan mereka rajut bersama.

Nay berdiri di tengah keramaian kampung yang mulai larut dalam riuh tawa dan obrolan hangat. Matanya berkaca-kaca saat menatap wajah-wajah yang begitu akrab dan mengisi hari-harinya, teman lama, saudara, tetangga yang selama ini hanya ia lihat dari kejauhan.

"Apakah ini cara Tuhan mengirim berkah pada hari istimewa kami?" gumamnya lirih, dada bergetar oleh perasaan hangat dan haru yang tak terduga.

Seketika, Nay mengangkat tangannya, seolah ingin menyimpan momen ini dalam hati selamanya. Ia pun menutup mata dan mengucap doa dalam sunyi,

"Semoga pernikahan kami mendapat ridho-Nya, dan dijauhkan dari segala rintangan yang mungkin datang. Bahagia ini semoga bukan hanya milik kami, tapi juga bagi setiap tamu yang hadir dengan doa dan restu tulus."

Di sampingnya, Umar mengangguk penuh keyakinan, suaranya lembut mengaminkan doa itu. Nay tersenyum tipis, rasa syukur membuncah membasuh keraguan yang sempat singgah.

Umar menundukkan kepala, suaranya serak berbisik, "Apakah kamu bahagia, Nay, sudah jadi istriku?"

Matanya menatap tajam, penuh harap pada sosok di depannya. Nay membalas dengan senyum simpul, bibirnya melengkung tipis sembari menatap dalam ke matanya yang penuh canda.

"Alhamdulillah, aku bahagia, Mas. Bersyukur banget kita berjodoh," katanya pelan, suara lirih penuh kehangatan.

"Semoga jodoh kita awet sampai dunia akhirat, ya, Mas." Umar menghela napas lega, bahunya sedikit rileks. Tapi matanya tetap berkilat ingin berbicara lebih banyak, walau hanya lewat bisikan.

"Jadi, nanti malam kita bisa..." Umar menggoda pelan, tiba-tiba sebuah cubitan kecil mendarat di pinggangnya.

"Ehh, jangan gitu dong!" ujarnya sambil tersenyum malu.

Umar menatap Nay yang mengenakan kebaya putih berpayet kebiruan, modelnya longgar tapi tetap memancarkan keanggunan. Wajah Nay yang jarang berdandan berlebihan tampak berbeda kali ini, sentuhan makeup tipis membuat kecantikannya semakin menonjol, seperti bunga yang mekar perlahan di pagi hari. Di sampingnya, Umar mengenakan jas hitam dengan kemeja biru muda yang rapi, sesekali ia menghela napas pelan sambil memandang istrinya.

Di sudut ruangan, Pak Usman dan Pak Rahmat saling bertukar pandang, hati mereka dipenuhi harapan.

“Semoga mereka bahagia… selalu,” bisik mereka dalam hati tanpa suara.

Tidak jauh dari sana, Bu Rokaya dan ibu Nay menahan air mata bahagia, tangan mereka berpegangan erat, seakan ingin menyimpan momen ini selamanya. Suasana haru itu mengalir perlahan, seiring acara akad nikah yang berjalan lancar, menutup bab lama dan membuka lembaran baru penuh harapan.

*****

Di rumah kayu yang cukup luas itu, Nay dan Umar akhirnya diperbolehkan berbagi kamar malam ini. Udara malam yang hangat tak mampu mengusir kecanggungan yang terasa pekat di antara mereka.

Nay duduk di ujung ranjang, tangannya lantas menyentuh kain pakaian santai yang baru dipakai, mencoba menenangkan diri. Umar, di seberangnya, mengusap lehernya pelan, matanya sesekali menatap lantai sebelum berani bertemu pandang Nay.

Sejak pagi mereka berdua kelelahan, dari menerima pelukan, ucapan selamat, hingga doa restu yang terus mengalir dari keluarga dan kerabat. Nay menghela napas pelan, membayangkan keramaian tamu-tamu yang silih berganti datang.

“Ini pasti karena keluarga besar yang saling terkait satu sama lain,” pikirnya dalam hati sambil tersenyum simpul, berusaha menepis rasa canggung.

Umar kemudian memecah hening dengan suara pelan, mencoba melontarkan obrolan ringan. Senyuman kecil terukir di wajah Nay, seakan memberitahu dia siap melewati malam yang penuh ketidakpastian ini bersama suaminya.

Umar memandang Nay dengan mata yang sedikit berkilat, suaranya bergetar saat bertanya,

"Hei, kita akhirnya jadi suami istri, ya? Kamu senang?"

Nay menghela napas pelan, dada terasa sesak oleh kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. Matanya menatap jauh ke arah lain sejenak, lalu kembali menatap Umar dengan senyum tipis yang berusaha memercikkan keyakinan.

"Tentu saja, ini momen yang aku tunggu-tunggu," katanya lirih.

"Tapi jujur, aku juga merasa cemas. Ini awal baru yang berat untuk kita berdua."

Senyumnya melembut, mencoba meredakan udara tegang yang perlahan menyelimuti mereka.

Umar tiba-tiba meraih pipi Nay dengan dua tangannya, membelai lembut. Mereka berdua duduk berdekatan di pinggir tempat tidur yang empuk, di kamar pengantin yang dipenuhi bunga-bunga: melati putih, mawar merah muda, dan sedap malam dengan aromanya yang hangat memenuhi ruangan.

Mata mereka saling bertemu, dan Nay merasakan jantungnya berdebar keras. Wajah Umar begitu dekat, membuat tubuhnya sedikit gemetar.

Dengan keberanian yang baru tumbuh, Umar menundukkan kepala dan menciumnya di dahi. Sentuhan hangat itu terasa penuh makna, mungkin untuk pertama kali setelah resmi menjadi suaminya. Perlahan, bibir Umar menempel pada bibir kecil Nay, dan seketika ada getaran aneh seperti listrik mengalir di seluruh tubuhnya.

"Mas…" Nay memanggil pelan, suaranya penuh keraguan namun terselip harapan. Umar terkekeh, menatap wajah istrinya yang malu-malu, lalu membalas senyumnya dengan lembut.

"Kalau kamu belum siap, kita bisa tunggu setelah pesta pernikahan saja, bagaimana?” tanya Umar dengan nada lembut, mencoba meredam kegelisahan yang terpancar di wajah Nay.

Nay menghela napas panjang, matanya berkeliling menghindar, seolah takut menghadapi kenyataan.

“Kenapa harus tunggu lama? Maksudku, pelan-pelan saja, Mas. Di luar keluarga kita masih begadang. Aku… malu kalau…” suaranya tercekat, bibir mungilnya bergetar, kata-kata itu tak berani dia lanjutkan.

Tanpa pikir panjang, Umar menunduk, merapatkan bibirnya ke bibir Nay dengan lembut, seolah ingin menghapus semua keraguan dan rasa malu itu. Jantung Nay berdegup cepat, campur aduk antara takut dan ingin tahu. Meski belum pernah, naluri mereka bagaikan paduan halus yang mengarahkan langkah tanpa ragu.

“Bismillah,” Umar berbisik seraya menatap dalam mata Nay, “semoga ini menjadi ibadah kita, sayang,” sambil membimbing perlahan ke dalam kehangatan peraduan mereka.

1
Shaffrani Wildan
bagus
Dhani Tiwi
kasuhan nay... tinggal aja lah si umar nay..cari yang setia.
tina napitupulu
greget bacanya thorr...gak didunia maya gak didunia nyata banyak kejadian serupa../Grievance/
Usman Dana
bagus, lanjutkan
Tini Hoed
sukses selalu, Thor
Ika Syarif
menarik
Sihna Tur
teruslah berkarya Thor
Guna Yasa
Semangat Thor.
NAIM NURBANAH: oke, terimakasih
total 1 replies
Irma Kirana
Semangat Mak 😍
NAIM NURBANAH: Terimakasih banyak, Irma Kirana. semoga nular sukses nya seperti Irma menjadi penulis.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!