Goresan ISENG!!!
Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.
Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.
Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.
Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Deep Talk Bikin Baper
Suara ketikan cepat di keyboard laptop seperti irama detak jantung Hania pagi itu, tangannya yang masih dalam genggam Sabil tidak mudah terlepas karena pria itu menggenggam tangan kanannya dengan erat. Sabil rela mengetik hanya dengan tangan kanan sementara tangan kirinya terus menahan telapak tangan Hania. Mereka duduk sebelahan di meja makan.
Sabil terlihat tenang dan asik saja mengetik laporan dan menerima telepon dari rekan sejawatnya di unit gawat darurat untuk melaporkan kondisi pasien, tanpa menghiraukan wajah cemberut Hania yang duduk di sampingnya.
Panggilan telepon diakhiri, Hania mulai bereaksi. Ia berdecak kesal mencari perhatian.
"Mas lepasin tanganku, aku mau balik ke kamar!" rengeknya
"Sebentar Nia, sabar ya... " Sabil menoleh ke arah Hania sambil menarik sudut bibirnya ke atas.
"Ck!" Hania mendengus kesal.
"Offering letternya sudah selesai kamu baca? Apa keputusanmu?" tanya Sabil.
"Masih ada beberapa point yang masih aku pertimbangkan, aku boleh menambahkan point lain, kan?"
"Bebas, terserah kamu."
Klik! Tombol power Sabil tekan untuk mematikan laptopnya. Layar laptop ditutup. Lalu ia masukkan dalam tas kerjanya. Sabil memiringkan wajahnya menatap Hania begitu lekat. Fokus memberi waktu yang semakin menipis untuk Hania.
"Sampai detik ini ada yang masih mengganjal di dadaku. Apa ini sebuah kebetulan atau hanya prasangkaku, kenapa kamu begitu akrab dengan tetangga baru kita?" tanya Sabil.
"Akrab dari mana, kami bertemu aja baru satu kali, semalam," bantah Hania.
"Tadi pagi... Aku jelas sekali melihat kamu bersamanya."
"Menurut logika dan ilmu kedokteran, mungkinkah aku bisa berada di dua tempat? Aku bukan hewan yang bisa membelah diri, mas."
"Baik, artinya aku salah lihat." katanya. "Pertanyaan lain... " Sabil diam sejenak, memainkan jari kelingking Hania tanpa sadar, lalu menghela napas dalam.
"Kenapa semalam kamu tiba-tiba jutek dan cemberut padaku? Kamu bikin malamku jadi begitu panjang untuk berpikir dengan perasaan galau."
"Pertanyaan macam apa ini!" keluh Hania semakin kesal sekaligus salah tingkah.
"Pagi ini wajah cemberut itu masih saja nempel di wajahmu, kamu bikin aku penasaran, apa salahku? Jangan uring-uringan dan memendamnya sendiri."
Bude Sunti baru turun dari lantai tiga langsung menyahut, "semalam ibu-ibu bergosip tentang kehadiran Hania di rumah ini, memangnya kamu bilang apa sama pak RT sampai ibu-ibu berprasangka bahwa Hania calon istri kamu, lebih parahnya bu emil terang-terangan mengatakan Hania wanita simpanan kamu," tutur Bude ikutan memasang wajah jutek pada Sabil.
"Wanita simpanan? Dia ngomong gitu ke kamu?"
"Mungkin dia hanya bercanda," sanggah Hania.
"Becanda apaan, aku nggak terima kamu digituin orang lain. Aku akan ngomong dan jelasin ke bu emil atau ibu-ibu lain."
"Trus kamu mau membungkam semua mulut ibu-ibu komplek?" tanya bude dengan nada meragukan.
"Jika itu perlu, aku akan datangi rumah mereka satu persatu."
"Tapi nggak perlu," sela Hania
"Perlu! Buat aku semua harus jelas agar mereka punya batasan pada kita."
"Mas mau meralat omongan sendiri di depan pak RT kalau aku adik angkat, anak bude atau sepupu atau pasien gila yang sedang dirawat khusus di rumah ini?" cecar Hania
"Aku ngga akan melakukan itu. Aku lebih memilih jujur kamu sepupu rekan kerjaku," jawab Sabil tegas.
Bude duduk di depan Sabil dan Hania sambil memandang tingkah keponakannya yang menahan tangan Hania lalu memainkan jari jemari gadis itu, ia melipat tangan di depan dadanya dengan menggelengkan kepalanya pelan.
"Bil, kamu pikir orang lain akan berhenti bicara jelek tentang Hania jika kamu jujur status Hania di sini, sementara di mata orang lain perhatian kamu dan cara kamu memperlakukan Hania se-mesra itu sangat tidak wajar!" bude menunjuk sepasang tangan yang masih saling menyatu.
"Mereka terlalu berlebihan," sangkal Sabil.
"Status nyonya rumah di sini masih dokter Danisha, seharusnya perhatian ini untuknya bukan untukku."
"Oke aku jelaskan di sini. Saat aku ke rumah pak RT memang aku berdiskusi untuk melepaskan atau menghapus Danisha dan Jordan dari kartu keluarga lalu minta surat pengantar sebagai salahsatu persyaratannya. Sebentar lagi putusan ceraiku akan keluar jadi aku harus mempersiapkan status baruku." Sabil menatap satu persatu wajah dua perempuan yang kini menatapnya penuh tuntutan.
"Gosip tentang Hania sebagai wanita simpanan— itu yang harus diluruskan," lanjutnya.
Sabil tahu jawabannya tidak bisa memuaskan Hania dan bude Sunti, ada kalimat yang menggantung di dadanya yang tidak bisa keluar melalui bibirnya saat ini. Tidak saat ini, dia harus bersabar sebentar lagi. Dia ingin mengatakan...
"Hania bukan wanita simpanan, tapi istri yang kelak akan mengisi kartu keluarga menggantikan Danisha." Kalimat inilah yang sempat ia katakan pada pak RT di sela obrolannya.
Jeda kosong itu seperti meniup gelembung ragu dan kecanggungan menggantung di antara mereka. Hania mendesah pelan lalu mengambil keputusan.
"Sebagai orang lain yang sedang menumpang di rumah ini, tampaknya aku sendiri yang harus beri batasan jelas, mas." Hania akhirnya angkat bicara nadanya penuh penekanan.
"Tidak ada physical touch di antara kita, eye contact yang menimbulkan kecurigaan orang lain, perhatian berlebihan apalagi kejadian seperti tadi pagi, marah-marah nggak jelas di depan rumah. Mas seperti suami yang sedang cemburu buta, tau gak sih!"
"Aku... Memangnya nggak boleh aku cemburu?" tanya Sabil seolah terpojok
Hania melirik bude mencari dukungan, lalu menunduk. "Nggak boleh! Jangan ada perasaan asing yang tumbuh dari dinding yang sudah retak. Aku akan memberi jarak mulai saat ini, tolong hargai privasiku. Kembali aku ingatkan, balikin ponselku mas. Banyak hal yang harus aku urus, tagihan hutang bank yang belum sempat aku selesaikan, penawaran harga jual rumah dari developer yang belum aku jawab, novel-novelku yang terbengkalai. Apa sebenarnya tujuan mas menyita barang pribadiku?"
"Kita nggak pernah ngobrol serius dan deep talk seperti ini, aku suka saat kamu kesal, semua jadi terbuka dan jelas. Jadi itu yang buat kamu uring-uringan dan cemberut padaku?" tanyanya dengan entengnya.
"Lebih kesal sama sikap kamu sih mas, kamu tuh... Nyebelin!" Hania menoleh ke arah lain lalu merengut lagi.
"Nyebelin nya gimana, bisa jelasin? Aku nggak bisa dengar isi hati kamu Hania, jadi nggak tahu kesalahanku dimana," pancingnya agar Hania mau terbuka lebih banyak dengannya tentang perasaannya.
"Kamu overthinking, posesif kamu ngga pada tempatnya, kamu seringkali melanggar privasiku padahal kita bukan siapa-siapa, kamu genit, kamu... jangan tatap aku seperti itu! Nanti aku baper!" Hania menutup wajahnya yang sedang di tatap penuh cinta oleh Sabil.
Sabil tertawa keras, semakin gemas dengan sikap marah Hania yang lucu. Ia melepaskan tangan Hania yang berubah suhu, keringat dingin Hania membasahi telapak tangannya.
"Aku notice bagian, kamu genit!" Sabil kembali tertawa sambil mengangkat cangkir kopinya yang sudah dingin.
Sejujurnya dia juga gugup dengan perasaannya sendiri. Kejujuran Hania seperti stimulator yang membuat perasaan cintanya semakin berkembang dengan sempurna.
"Hania, saat aku memutuskan mengambil alih tanggung jawab Wina terhadapmu, menjadi wali darimu, aku memutuskan untuk mengambil semua tanggungan dan masalah yang kamu hadapi. Semua hutang bank sudah aku selesaikan dan rumah orangtuamu yang ada di jalan Indraprasta akan aku beli, kebetulan harga yang kamu tawarkan pada developer sesuai budget ku, aku tidak ingin rumah bersejarah bagimu diambil alih orang lain."
"Mas, kamu... " tenggorokan Hania terasa tercekat.
"Sudah siang, aku berangkat kerja dulu, kesiangan dikit jalan tol Jakarta sangat macet. Nanti malam kita lanjut ngobrolnya."
Sabil mengangkat pergelangan tangannya melirik jam lalu berdiri mempercepat langkahnya, bukan karena macet sebagai alasan, tapi menghindari degup jantungnya yang berantakan terdengar oleh Hania. Dia tidak menoleh lagi, segera membebaskan dirinya dari perasaan gugup yang berlebihan saat di dekat Hania.
Di meja makan Hania masih mematung karena jawaban terakhir Sabil. Sementara bude hanya bisa geleng-geleng kepala, menyadari kehadirannya di sana seperti obat nyamuk bagi dua orang yang sedang saling mengupas dirinya, belajar untuk saling terbuka satu sama lain.
Satu jam dalam kecanggungan setelah kepergian Sabil, suara ketukan di pintu memecahkan keheningan di rumah itu. Hania bergegas berjalan ke depan untuk membukakan pintu, berharap dokter tampan itu kembali dan menjelaskan kata-kata terakhir yang dia ucapkan.
Namun, saat pintu terbuka, sosok perempuan cantik sambil menggendong batita membuatnya terkesiap.
"Sabilnya ada mbak?" tanya perempuan cantik itu dengan lembut.