Bagi mata yang memandang hidup Runa begitu sempurna tapi bagi yang menjalani tak seindah yang terlihat.
Runa memilih kerja serabutan dan mempertahankan prinsipnya dari pada harus pulang dan menuruti permintaan orang tua.
"Nggak apa-apa kerja kayak gini, yang penting halal meskipun dikit. Siapa tau nanti tiba-tiba ada CEO yang nganterin ibunya berobat terus nikahin aku." Aruna Elvaretta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Net Profit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aman nggak?
Qian duduk di depan bank darah selepas membiarkan Runa masuk ke dalam sana seorang diri. Ada rasa bersalah membiarkan gadis yang ia bayar hanya untuk merawat mamanya malah berakhir menjadi pendonor. Baginya, Runa sudah sangat berjasa, sejak awal tak hanya merawat mamanya tapi dia juga menjaga Mayra hingga dirinya yang pingsan saat pertama mengantar cuci darah. Bukan tak ingin menemani Runa, tapi akan lebih merepotkan jika ia masuk. Sebelumnya saja tanpa melihat darah pun dirinya sudah lemas kala perawat hendak memasang jarum, bisa dibayangkan jika saat ini ia menemani Runa? mungkin pingsan part dua bisa saja terulang.
Qian berdiri dan menghampiri Runa ketika dia keluar dari bank darah dengan tangan kiri yang ditempel plester kecil. "Duduk dulu, takutnya pusing." Qian menuntuk Runa ke kursi tunggu.
"Minum dulu." selanjutnya Qian memberikan susu kotak rasa cokelat dan beberapa kue manis. Setelah mengantar RUna masuk, ia pergi ke ke kantin untuk membeli beberapa makanan manis. Setelah baca-baca di internet katanya orang yang selesai donor darah harus segera diberi makanan manis untuk menstabilkan kadar gula darah yang mungkin turun dan memberikan energi cepat sehingga mencegah pusing.
"Makasih, mas." Runa menyedot sedikit susu kotak pemberian Qian.
"Makan kue nya. Susunya juga abisin. Biar nggak pusing." Qian membuka cake slice yang yang baru ia buka dan menyuapkannya pada Runa.
"Ayo makan!" Runa yang semula sempat termenung karena Qian tiba-tiba menyuapkan kue padanya akhirnya membuka mulut dan menerima suapan demi suapan hingga satu potong kue itu habis.
"Lagi?" Qian hendak membuka satu slice lagi kue, kali ini tiramisu.
Runa menggeleng, "nggak mas, udah cukup, makasih."
"Kalo gitu abisin susunya. Tadi mau cari matha kesukaan kamu tapi nggak ada disini."
Runa tersenyum, "ini udah lebih dari cukup mas. makasih."
"Aku yang makasih. Kamu udah mau donor buat mama." jawab Qian, "kalo nggak suka susu cokelat aku juga beli jus mangga nih." lanjutnya sambil mencoba mengeluarkan jus mangga dari tote bag di samping tempat duduknya.
Runa menarik tangan Qian, "udah cukup mas."
"Tapi kamu harus banyak makan manis biar nggak pusing." jelas Qian.
"Aku nggak pusing mas. Lihat, aku baik-baik aja loh. Lagian aku udah biasa donor dari SMA, rutin setiap tiga bulan sekali."
"Oh." Qian mengangguk.
"Iya. Mas Qian mau coba donor?" tanya Runa. Ia ingin mencoba membujuk Qian untuk menghadapi rasa takutnya supaya bisa menghilangkan rasa bersalahnya karena tak bisa membantu mamanya disaat seperti ini.
Qian menghela nafas panjang, "tadi udah aku coba, Na. Tapi tenyata nggak bisa. Aku bener-bener nggak bisa diarepin yah."
"Gimana kalo coba donor darah sekarang? aku temenin." bujuk Runa.
"Aku mau, banget. Tapi takut ngerepotin, gimana kalo malah pingsan kali kayak di ruang HD tempo hari."
"Kita nggak tau selama belum dicoba mas." Runa meyakinkan, "bukannya aku maksa mas Qian. Maaf kalo aku terlalu ikut campur mas. Tapi aku yakin dalam hati mas Qian pasti kesel banget karena nggak bisa ngasih darah ke tante Retno." lanjutnya lirih.
Runa memegang bahu kliennya yang termenung sambil menatapnya, "aku nggak tau apa yang bikin mas Qian takut darah. Tapi ayo kita coba lawan rasa takut mas Qian itu, fokus demi tante Retno. Jangan pikirin soal darah, jangan liatin jarum suntiknya, jangan liatin selang darahnya, jangan lihat kantong darahnya juga." jelas Runa.
"Dulu pertama kali donor aku juga takut mas. Jangankan pertama kali donor, waktu ada cek kesehatan gratis di sekolah dulu aja sampe kabur-kaburan di kejar guru gara-gara takut mau diambil darahnya buat cek golongan darah sama cek kadar gula juga." Runa sedikit terkekeh mengingatnya. Astaga, dulu dirinya sangat konyol. Qian ikut tertawa mendengarnya.
"Jangan ketawa ih mas! Aku lagi nasihatin mas Qian juga nih. Biar nggak takut lagi." ucap Runa.
"Iya, maaf. Terus gimana hm?" tanya sedikit menahan tawa.
"Iya petugas kesehatannya baik banget. Dia nyaranin aku nggak fokus ke hal yang aku takutin tapi fokus ke hal yang aku suka. Karena dulu aku suka nonton drama korea akhirnya petugas nyuruh aku nonton lewat HP pas mereka ngambil darah. Dan itu emang ngaruh banget mas, sampe sekarang aku nggak takut lagi. Bahkan waktu pertama donor aja aku sambil nonton drakor, petugasnya udah hafal jadi nggak masalah. Lama kelamaan mulai terbiasa jadi nggak takut lagi."
"Mas Qian cobain deh, siapa tau bisa."
"Tapi kalo misal aku pingsan bakal ngerepotin kamu lagi. Nggak apa-apa?" tanya Qian.
"Nggak apa-apa, kita coba dulu yuk!" Runa beranjak berdiri, mengandeng Qian masuk ke bank darah.
Sampai dalam petugas langsung mengenalinya, "wah mas nya yang tadi."
"Mau coba lagi mba. Minta tolong yah." jawab Runa.
"Kalo gitu kita tensi dulu yah. Kayaknya sekarang bakal lancar nih soalnya bawa pacar." ledek perawat.
Qian hanya tersenyum kikuk, sama halnya dengan Runa.
"Tensinya bagus. Mas nya jangan tegang yah supaya pembuluh darahnya nggak menyempit." jelas perawat.
Qian sudah berbaring di ranjang, perawat mulai menyiapkan segala perlengkapan yang dibutuhkan dan meletakannya di samping ranjang.
"Siap yah mas, jangan tegang." Perawat mulai mencari pembuluh darah dan mengoleskan alkohol dititik yang dirasa tepat.
"Mas Qian jangan lihat kesana." ucap Runa saat Qian melihat ke arah lengan kirinya yang tengah dioles alkohol, "lihat aku aja mas." Runa mengambil lengan kanan Qian dan mengusap punggung tangannya dengan lembut.
Qian mengangguk, ia balas menggenggam tangan Runa dengan erat kala perawat mulai menusukan jarum.
"Rumah yang terakhir aku lihat di katalog itu berapa mas?" tak tau harus mengalihkan perhatian Qian bagaimana, Runa memutuskan membahas bisnis saja. Biasanya orang akan fokus saat diajak membahas pekerjaan.
"Yang mezzanine bukan?"
"Iya, itu." jawab Runa asal.
"Itu kisaran-"
"Hey jangan dilihat mas, lihat aku aja!" Runa buru-buru menyentuh wajah Qian yang hampir menoleh ke arah jarum. Darah mulai mengalir menuju kantong disana.
"Mas Qian liat aku aja. Kita bahas rumah." ucap Runa.
Qian mengangguk, ia semakin mengeratkan genggamannya.
"Wah ternyata bener harus ditemenin pacarnya dulu nih baru lancar." ledek perawat.
"Silahkan dilanjut bahas rumahnya. Saya tinggal dulu yah. kalo ada pusing atau mual kasih tau saya." lanjutnya.
Mendengar perkataan perawat keduanya hanya tersenyum canggung seraya saling tatap tanpa bicara. Qian terus menggenggam tangan Runa selama proses donor darah berlangsung. Tak banyak yang mereka bicarakan, keduanya nampak sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Aman nggak mas? kalo pusing kasih tau." sesekali Runa bertanya.
"Aman aja." jawab Qian.
"Syukur deh kalo gitu." Runa merasa lega, "tapi kayaknya gue yang nggak aman ini. Bisa-bisanya mas Qian lagi donor darah kagak berdaya aja keliatan ganteng." batinnya.
eh tapi ini kata ku ya, kalau Qian sama runa entah😁😁
dikira masalah dah beres ternyata tanpa kalian datang pun jadi nikah🤭
lah ya bener runa donk Qian dari pada puyeng mikirin yang dah pasti nikah, mending tidur🤭🤭
dah tenang aja pokoknya besok nikah🤭
dah lah mau berbagai macam cara km berkelit akhirnya keputusan ditangan orang tua kamu juga,,,, otw nikah nih
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
Semangat kak Net