Rindi, seorang perempuan berusia 40 tahun, harus menelan pahitnya kehidupan setelah menjual seluruh hartanya di kampung demi membiayai pendidikan dua anaknya, Rudy (21 tahun) dan Melda (18 tahun), yang menempuh pendidikan di kota.
Sejak kepergian mereka, Rindi dan suaminya, Tony, berjuang keras demi memenuhi kebutuhan kedua anaknya agar mereka bisa menggapai cita-cita. Setiap bulan, Rindi dan Tony mengirimkan uang tanpa mempedulikan kondisi mereka sendiri. Harta telah habis—hanya tersisa sebuah rumah sederhana tempat mereka berteduh.
Hari demi hari berlalu. Tony mulai jatuh sakit, namun sayangnya, Rudy dan Melda sama sekali tidak peduli dengan kondisi ayah mereka. Hingga akhirnya, Tony menghembuskan napas terakhirnya dalam kesedihan yang dalam.
Di tengah duka dan kesepian, Rindi yang kini tak punya siapa-siapa di kampung memutuskan untuk pergi ke kota. Ia ingin bertemu kedua anaknya, melepas rindu, dan menanyakan kabar mereka. Namun sayang… apa yang dia temukan di sana.........
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. RUDY KRITIS.
Kring… kring…
Terdengar suara ponsel dari atas nakas.
“Berisik… siapa sih yang menelepon larut malam begini?” gerutu Rika sambil menutup telinganya dengan bantal. Namun dering itu tak kunjung berhenti, terus berulang-ulang tanpa henti hingga membuatnya kesal.
Dengan malas, Rika akhirnya meraih ponsel di atas nakas. Matanya yang masih setengah terpejam memandang layar. Nomor tak dikenal terpampang di sana.
“Nomor siapa lagi ini?” gumamnya pelan.
Ia hampir saja meletakkan kembali ponsel itu, tapi entah kenapa ada perasaan tak enak yang membuatnya mengurungkan niat. Rika akhirnya menekan tombol hijau dan mendekatkan ponsel ke telinga.
“Halo…” suaranya terdengar malas.
Namun tak ada jawaban selama beberapa detik, hanya suara nafas berat di seberang.
“Halo? Ini siapa?” ulangnya dengan nada lebih tegas.
Hening sejenak, lalu terdengar suara laki-laki di ujung telepon, terbata dan berat,
“Bu… ini dari kepolisian. Kami menemukan kecelakaan di dekat jalan tol barat. Apakah Anda kenal dengan seseorang bernama… Rudy?”
Bantal yang semula menutupi telinganya terjatuh. Mata Rika langsung terbuka lebar.
“Apa… apa maksud Anda?” tanyanya panik.
“Korban atas nama Rudy baru saja kami evakuasi ke rumah sakit. Mohon Ibu segera datang.”
Ponsel nyaris terlepas dari tangannya. Jantung Rika berdegup kencang, napasnya memburu. Dalam sekejap, rasa kantuk hilang, digantikan dengan rasa takut yang menusuk hingga ke dada.
Tanpa pikir panjang, ia segera bangkit dari tempat tidur, meraih jaket dan kunci mobil. Air matanya mulai menetes, mengiringi langkah tergesa yang meninggalkan kamar menuju garasi.
Melihat majikannya keluar dengan wajah panik, penjaga rumah segera bergegas membuka gerbang. Mobil Rika melaju kencang menembus dinginnya malam, meninggalkan pekarangan rumah yang sunyi.
Tangannya gemetar saat menggenggam setir. Pandangannya kabur oleh air mata yang terus mengalir. Di kepalanya, berbagai pikiran berputar tak beraturan.
“Kenapa Rudy bisa kecelakaan? Apa dia mabuk lagi? Kenapa aku biarkan dia pergi tadi?” gumamnya lirih di antara isak.
Lampu jalan berkelebat cepat di kaca depan. Sesekali ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi jantungnya terus berdebar kencang. Suara hujan rintik-rintik mulai terdengar di atap mobil, membuat suasana semakin mencekam.
Ketika mendekati rumah sakit, ia hampir saja menabrak lampu merah karena pikirannya kacau. Ia menepikan mobil sebentar, menarik napas dalam-dalam, lalu kembali melaju ke arah gerbang Rumah Sakit Umum Kota Barat, tempat Rudy dikabarkan dibawa.
Begitu mobil berhenti di pelataran rumah sakit, Rika segera turun tanpa memedulikan hujan yang mulai deras. Ia berlari menuju ruang gawat darurat, langkahnya tergesa, napasnya tersengal.
Begitu sampai di depan pintu IGD, seorang petugas menghampirinya.
“Istri pasien?” tanyanya memastikan.
Rika mengangguk cepat.
“Iya, Aku. Mana suami ku? Mana Rudy?” suaranya bergetar menahan cemas.
Petugas itu menatapnya dengan ragu, lalu berkata pelan,
“Ikuti saya, Bu. Suami Anda baru saja dibawa ke ruang perawatan setelah operasi darurat. Keadaannya… cukup kritis.”
Rika menahan napas, tubuhnya nyaris limbung. Ia mengikuti petugas itu dengan langkah goyah, berharap semua ini hanya mimpi buruk yang bisa segera berakhir.
Begitu Rika masuk ke ruang perawatan, aroma obat dan suara alat medis langsung menyambutnya. Tubuh Rudy terbaring lemah di atas ranjang, wajahnya pucat dengan berbagai selang menempel di tubuhnya. Monitor di samping tempat tidur menampilkan detak jantung yang naik turun tidak stabil.
Rika menutup mulutnya, menahan tangis yang nyaris pecah. Ia melangkah mendekat, menggenggam tangan suaminya yang dingin.
“Rudy… kamu dengar aku, kan? Aku di sini…” suaranya bergetar, hampir tak terdengar.
Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka. Seorang dokter paruh baya masuk dengan wajah serius, diikuti dua perawat yang membawa berkas medis.
Rika menatapnya penuh harap.
“Bagaimana keadaan suami saya, Dok? Tolong katakan dia akan baik-baik saja…”
Dokter itu menarik napas panjang sebelum menjawab.
“Kami sudah melakukan operasi darurat untuk menghentikan pendarahan dalam dan menstabilkan tekanan darahnya. Namun kondisinya masih sangat kritis.”
Rika memegangi dadanya, suaranya tercekat.
“Jadi… apa yang bisa saya lakukan, Dok?”
Dokter menatapnya lekat-lekat.
“Sejujurnya, Ibu… alat medis dan fasilitas kami di sini terbatas. Untuk tindakan lanjutan seperti rekonstruksi tulang dan penanganan cedera otak yang dialaminya, sebaiknya Pak Rudy segera dibawa ke luar negeri—ke rumah sakit yang memiliki peralatan dan tim spesialis lebih lengkap.”
Rika tertegun. Kata-kata “dibawa ke luar negeri” bergema di kepalanya.
“Luar negeri?” ulangnya pelan, seolah tak percaya.
“Apakah… tidak ada cara lain di sini, Dok?”
“Risikonya terlalu besar jika tetap dirawat di dalam negeri,” jawab sang dokter tegas namun lembut.
“Setiap menit sangat berharga. Jika Ibu setuju, kami bisa membantu menyiapkan surat rujukan dan menghubungi rumah sakit rekanan di Singapura atau Jepang malam ini juga.”
Air mata Rika jatuh tanpa bisa dibendung. Ia menatap wajah Rudy yang tampak tenang dalam tidur panjangnya, sementara hatinya hancur berkeping-keping.
Ia menggenggam tangan suaminya lebih erat dan berbisik pelan.
“Bertahanlah, Rudy… aku akan lakukan apa pun supaya kamu selamat.”
Dokter itu mengangguk pelan dan meninggalkan ruangan, memberi Rika waktu untuk menenangkan diri.
Di dalam ruangan yang sunyi, hanya suara mesin monitor yang terus berbunyi—seolah menjadi pengingat bahwa nyawa Rudy kini tergantung pada keputusan yang harus segera ia ambil.
Dari arah koridor muncul sepasang suami istri dan seorang gadis berlari mendekati ruang perawatan. Marta, Arman dan Melda segera datang setelah mendapat pesan singkat dari Rika.
Begitu sampai di depan ruangan, Rika langsung berdiri dari kursinya. Wajahnya pucat, matanya sembab karena tangis.
“Mama… Papa…” ucapnya lirih sebelum akhirnya jatuh ke pelukan ibunya.
Marta memeluk Rika erat, berusaha menenangkan putrinya yang gemetar.
“Tenang, Rika. Bagaimana keadaan Rudy?” tanyanya dengan suara bergetar.
Rika menggeleng pelan, air matanya kembali jatuh.
“Dokter bilang keadaannya kritis, Ma. Mereka menyarankan Rudy segera dibawa ke luar negeri. Katanya alat medis di sini belum cukup untuk menangani lukanya.”
Arman menatap ke arah ruangan tempat Rudy dirawat, wajahnya tegang.
“Ke luar negeri? Rumah sakit mana yang disarankan dokter?”
“Singapura, Pa,” jawab Rika pelan.
“Mereka bisa bantu urus malam ini juga kalau kita setuju.”
Melda, yang sejak tadi berdiri di samping mereka, menatap ke arah kakaknya yang terbaring tak berdaya di balik kaca ruangan. Wajahnya pucat, matanya mulai berkaca-kaca.
“Kak Rudy… kenapa bisa begini…” bisiknya, hampir tak terdengar.
Rika mendekap bahu Melda lembut.
“Kita semua juga tidak tahu, Mel. Tapi yang pasti, kita harus berjuang supaya dia selamat.”
“Baik, aku akan bicara dengan dokter dan bagian administrasi. Kita urus semuanya malam ini juga.” ucap Arman.
Rika mengangguk lemah, suaranya parau.
“Terima kasih, Pa…”
Arman segera pergi ditemani seorang perawat, sementara Melda duduk di samping tempat tidur, lalu menggenggam tangan Rudy erat-erat.
“Ini semua gara-gara perempuan kampung itu. Setelah Rudy sembuh, aku akan mencarinya dan memaksanya mencabut kutukan itu. Kalau dia tidak mau, bersiap-siaplah untuk lenyap dari muka bumi ini,” ucap Melda dalam hati dengan mata merah penuh dendam.