“Aku akan membuatmu hamil, tapi kau harus melakukannya dengan caraku dan hanya aku yang akan menentukannya. Setelah kau hamil, kontrak kita selesai dan pergi dari hidupku.”
Itulah syarat Alexander Ace—bosku, pria dingin yang katanya imp0ten—saat aku memohon satu hal yang tak bisa kubeli di tempat lain: seorang anak.
Mereka bilang dia tak bisa bereaksi pada perempuan. Tapi hanya dengan tatapannya, aku bisa merasa tel4njang.
Dia gila. Mendominasi. Tidak berperasaan. Dan terlalu tahu cara membuatku tunduk.
Kupikir aku datang hanya untuk rahim yang bisa berguna. Tapi kini, aku jatuh—bukan hanya ke tempat tidurnya, tapi juga ke dalam permainan berbahaya yang hanya dia yang tahu cara mengakhirinya.
Karena untuk pria seperti Alexander Ace, cinta bukan bagian dari kesepakatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 Memenjarakannya
Bau disinfektan menyengat begitu kuat saat pintu ruang tunggu rumah sakit terbuka. Hening—namun tidak tenang. Cahaya putih menyilaukan menyinari lantai mengilap, seakan semua noda, semua dosa, bisa terlihat jelas di tempat ini.
Eve duduk di sudut ruangan, diam, tangan terlipat di pangkuannya, sementara sorot matanya kosong. Tapi di dalam, jantungnya berdebar hebat. Pikirannya terus mengulang-ulang kejadian di mal siang tadi, seolah memutar rekaman mimpi buruk yang tidak pernah selesai.
Suara sepatu hak mendekat. Tajam. Tergesa.
Diana, ibu Noah—mantan ibu mertuanya—datang bersama Jenny. Di belakang mereka, Noah menyusul dengan wajah muram dan rahang mengeras.
“Di mana anak saya?” tanya Jenny langsung ke suster yang berdiri di dekat pintu.
“Sedang dalam ruang operasi, Nyonya. Kondisinya cukup serius. Bayinya akan dilahirkan lebih awal,” jawab sang suster sopan.
“Operasi?” Diana menoleh cepat ke arah Eve, matanya menyala seperti bara api. “Apa yang sudah kau lakukan pada anakku dan cucuku?!”
Eve bangkit pelan dari kursi, membuka mulut ingin menjelaskan. Namun belum sempat satu kata pun keluar—
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipinya, membuat wajahnya terpelintir ke samping. Suara tamparan menggema di ruang tunggu yang sempit. Semua orang membeku.
“Kau perempuan gila!” pekik Diana. “Apa kau sudah sebegitu tidak warasnya karena kehilangan Noah, sampai tega menyakiti adik kandungmu sendiri yang sedang hamil?!”
“Aku tidak melakukannya!”
“Diam!” teriak Diana, menunjuk wajah Eve dengan jari bergetar. “Kami semua sudah lihat videonya! Kau mendorongnya! Kau sengaja menyakiti Celline karena kau tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia menggantikanmu!”
“Tidak seperti itu … aku tidak sengaja, aku hanya—”
“Cukup, Eve.” Noah membuat semua orang terdiam. Dia bergerak, berdiri menatap Eve dengan kebencian. “Aku pikir aku mungkin akan menyesal telah menceraikanmu. Tapi ternyata, kau membuatku melihat siapa dirimu sebenarnya. Tidak masalah jika kau membenci kami. Tapi anak dalam kandungan itu, salah apa dia padamu? Aku tidak menyangka kau begitu keji.”
Bahkan Noah pun tidak mau lagi mendengar ucapannya. Eve tersenyum getir. “Meskipun aku mengatakan sebenarnya, kau tidak akan pernah mempercayaiku lagi, kan? Jadi kalian semua bisa berkata sesuka kalian.”
“Memang. Aku juga tidak datang untuk mendengar apa pun darimu. Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu di kantor polisi.”
Pintu ruang tunggu terbuka. Dua orang petugas kepolisian melangkah masuk, wajah mereka serius.
“Evelyna Geraldine?”
Suara itu membuat semua mata beralih.
Eve menoleh, lambat. “Saya,” jawabnya pelan.
“Anda diminta ikut ke kantor polisi untuk dimintai keterangan terkait dugaan kekerasan terhadap seorang wanita hamil.”
Amanda yang baru tiba terlambat, tersentak dari belakang. “Apa?! Tidak! Ini kesalahpahaman! Dia tidak melakukan apa pun!”
Namun Eve mengangkat tangan pelan. “Tidak apa-apa. Aku akan ikut.”
Kakinya melangkah tanpa diborgol, tapi setiap langkahnya terasa seperti digeret oleh dunia yang tidak adil.
Interogasi berlangsung lama. Beberapa kali ia meminta mereka untuk memeriksa CCTV toko.
“Kami sudah mencoba,” kata salah satu penyidik. “Tapi CCTV di toko tempat kejadian rusak. Tidak ada kejadian yang terekam.”
“Tapi aku tidak mendorongnya! Itu hanya dorongan kecil … dia yang kehilangan keseimbangan!” suara Eve pecah. “Aku tidak bermaksud menyakitinya! Aku—”
“Sayangnya,” potong penyidik lainnya, “Ada lebih dari lima saksi yang menyatakan melihat Anda mendorong korban. Dan video rekaman amatir pun menunjukkan hal yang sama.”
Video itu. Video yang tersebar begitu cepat. Di media sosial, di berita gosip, bahkan sampai masuk televisi. Potongan tiga detik yang menampilkan dirinya mendorong Celline, lalu wanita itu jatuh—tanpa konteks, tanpa suara, tanpa kebenaran.
Tiba-tiba, semua orang menjadi hakim. Semua orang merasa mengenalnya.
‘Wanita kejam!’
‘Pantas saja diceraikan!’
‘Saudara sendiri ditendang!’
‘Mantan istri gagal yang cemburu karena adiknya hamil!’
Komentar-komentar itu menghujani lini masa. Membakar sisa harga dirinya.
Malam itu, Eve terduduk di dalam sel dingin berjeruji besi. Sendirian. Lampu redup menyala dari langit-langit. Tangannya memeluk lutut. Pipinya sembab. Rambutnya acak-acakan.
Dia sudah mencoba menghubungi pengacara, tapi tak ada yang bisa segera datang. Amanda pun tidak bisa berbuat banyak. Semuanya seolah berubah jadi tembok yang menolaknya.
Tak ada yang menjawab pesannya. Tak ada yang datang membelanya.
Amanda menyandar lemas di jeruji selnya, wajahnya putus asa. “Aku harus bagaimana Eve? Aku percaya kau tidak bersalah. Itu semua pasti akal-akalan Celline, kan? Tapi … semua orang mengatakan itu kau, dan CCTV di sana juga tidak bisa membantu. Bagaimana bisa seperti ini? Kenapa dia tega mencelakai anaknya sendiri?”
“Entahlah. Kau … pulang saja, Manda! Ini sudah malam.”
“Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu. Aku akan tetap di sini selama mereka menahanmu di sini juga. Aku tidak akan ke mana-mana.” Manda menggeleng keras. Dia bahkan berpegangan pada jeruji seolah takut udara meniupnya menjauh.
Tiba-tiba seorang petugas datang, memanggil namanya, “Evelyna Geraldine.”
Eve menoleh perlahan, mata sembabnya tajam.
“Kami baru menerima bukti dari pihak toko. Rekaman CCTV menunjukkan bahwa Anda tidak bersalah. Anda bebas.”
Amanda berdiri terperangah. “Apa? Tapi tadi kalian bilang—”
“Ada perubahan keterangan,” jawab si petugas. “Rekaman baru sudah diserahkan ke kami barusan.”
Eve bangkit perlahan, tanpa ekspresi.
“Siapa yang menyerahkannya?”
“Direktur Ace.”
“Maksud Anda … Alexander Ace?”
“Ya.”
Petugas itu mengangguk sekilas, lalu berbalik pergi meninggalkan mereka yang masih bengong.
Masih tidak percaya, Manda bertanya dengan gagap, “Eve, Direktur … membantumu?”
“Aku juga tidak tahu. Mereka bilang kamera pengawas rusak sejak kemarin. Kenapa tiba-tiba bisa?”
“Akhirnya ….” Manda melompat, memeluk Eve erat-erat. “Apa pun itu, kau berhutang pada Direktur, Eve! Kau harus berterimakasih padanya besok.”
Tentu saja! Bahkan terima kasih saja rasanya tidak cukup. Meski selama seminggu bekerja melayaninya di perusahaan selama ini agak menjengkelkan, tapi nyata, hanya pria itu yang selalu menolongnya.
Eve baru saja melangkah keluar dari taksi. Tumit sepatunya menapak pelan di trotoar, langkahnya ringan tapi pikirannya masih berat. Malam ini terasa panjang, meskipun waktu seolah berlari tanpa ampun.
Hingga akhirnya, ia berdiri di depan pintu lobi apartemen. Tangan kirinya menyentuh kartu akses di sakunya, tapi belum sempat digunakan, langkahnya terhenti.
Di sisi kanan bangunan, tepat di bawah lampu redup dekat area parkir terbuka, ada sepasang bayangan.
Dua orang.
Seorang pria bertubuh tegap dengan tangan melingkari pinggang wanita berambut panjang berwarna karamel.
Mereka tertawa kecil. Lalu... bibir mereka bersatu dalam c!uman.
Eve nyaris tidak bergerak. Hanya berdiri di balik tiang marmer, matanya menyipit.
Butuh beberapa detik untuk mengenali keduanya.
Wanita itu—Cristina Whitmore. Wanita yang dikenalkan sebagai calon tunangan Alexander Ace. Eve mengenalnya cukup baik. Senyum tipis dan gaya angkuhnya di kantor masih segar di ingatan.
Pria itu? Jelas bukan Alex.
Eve memiringkan kepalanya sedikit. Ciuman mereka tidak seperti sekadar kecupan selamat malam. Ini bukan hubungan formal keluarga. Bukan tunangan bisnis.
Ini perselingkuhan!
Apa Alex tahu ini? Bagaimana pria seperti dia bisa memilih wanita seperti itu?
Akhirnya Cistina menyadari keberadaan Eve. Tatapan kebencian itu langsung menguar dari seluruh tubuhnya.
Dia mendekat, menghampiri sambil menggandeng pacarnya.
“Apa lihat-lihat? Apa kau akan mengadukan ini pada Alex?” ucapnya angkuh.
“Aku melihat karena kalian terlihat. Mengadukan atau tidak, entahlah. Aku bisa mempertimbangkan.”
“Br3ngsek! Berani sekali kau berkata seperti itu!” Cristina mengutuk. “Tapi tidak masalah. Alex begitu mempercayaiku. Apa pun yang kau ucapkan, kau hanya akan tetap menjadi omong kosong di depan semua orang. Bagaimana mereka bisa percaya ucapan dari seorang wanita yang dengan keji hampir membunuh wanita hamil?”
Eve menelan ludah.
Benar. Meski Alex sudah membantunya, tapi kenyataannya, kabar buruk selalu menyebar seperti kobaran api. Sedangkan kabar baik, berjalan seperti siput.
Cristina mendekat, mengejek dengan senyumnya. “Sebaiknya kau mengemas barangmu besok. Karena aku pastikan, besok adalah hari terakhirmu bekerja.”
***