“Sakitnya masih kerasa?”
“Sedikit. Tapi bisa ditahan.”
“Kalau kamu bilang ‘bisa ditahan’ sambil geser duduk tiga kali … itu artinya nggak bisa, Dhifa.”
“Kamu terlalu kasar tadi pagi,” batin Nadhifa.
***
Renzo Alverio dan Nadhifa Azzahra saling mencintai, tapi cinta mereka dibatasi banyak hal.
Renzo, CMO Alvera Corp yang setia pada gereja.
Nadhifa, CFO yang selalu membawa sajadah dan mukena ke mushola kantornya.
Hubungan mereka tak hanya ditolak karena beda keyakinan, tapi juga karena Nadhifa adalah anak simpanan kakek Renzo.
Nadhifa meski merasa itu salah, dia sangat menginginkan Renzo meski selalu berdoa agar dijauhkan dari pria itu jika bukan jodohnya
Sampai akhirnya suatu hari Renzo mualaf.
Apakah ada jalan agar mereka bisa bersatu?
*
*
*
SEKUEL BILLIORAIRE’S DEAL : ALUNALA, BISA DIBACA TERPISAH
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. DI TANGAN YANG TEPAT
Nadhifa sempat mengira Renzo akan melanjutkan pijatan ke kakinya yang lain. Tapi ternyata tidak. Tangannya bergerak naik pelan, menyusuri lutut, melewati paha, lalu berhenti di sisi pinggang.
Satu alis Renzo terangkat. Tangan kirinya lebih dulu menyentuh pipi Nadhifa, jempolnya mengusap lembut kulit wajah itu sebelum ia mendekat. Nafasnya hangat, menyapu halus di permukaan kulit.
“Kalau kamu siap,” bisiknya rendah, “boleh kan … sekarang?”
Mata Nadhifa membulat. Pandangan mereka bertemu dalam jarak yang nyaris tak berjarak, cukup dekat hingga ia bisa melihat bayangan wajahnya sendiri di bola mata suaminya. Ia mengerjap cepat, menelan ludah.
“Mas …,” ujarnya pelan, bibirnya tertarik setengah ingin tertawa, setengah meringis. “Aku masih … nyeri.”
Gerakan Renzo langsung terhenti. Wajahnya berubah antara kaget dan kecewa. Ia baru saja terbuai dan lupa kalau istrinya masih dalam masa datang bulan.
Renzo kemudian rebah pelan, meletakkan kepala di paha istrinya, menghela napas panjang. “Ya Allah … cobaan suami saleh,” gumamnya lirih.
Nadhifa tak tahan. Tawanya pecah, sampai perutnya sedikit sakit lagi. Tangannya refleks mengelus rambut Renzo yang bersandar manja di pangkuannya. “Sabarlah, Mas. Nanti juga reda,” katanya lembut.
Renzo menengadah, memasang wajah memelas. “Tapi kamu yang bilang udah siap…”
Nadhifa terkekeh. “Siap, bukan s-e-k-a-r-a-n-g.”
“Nadhifaaaa …,” rengeknya, dramatis.
Tawanya kembali pecah. “Gantian aku yang ngasih tantangan buat Mas. Sabar. Puasa.”
Renzo langsung duduk tegak, seolah serius sekali. “Oke. Aku terima tantangan itu.”
“Berapa hari bisa tahan?” godanya.
Renzo mengerjap. “Hah? Ujiannya pake sistem waktu?”
Nadhifa mengangkat bahu. “Lihat aja nanti.”
Renzo menarik nafas panjang sekali lagi, tapi kali ini dengan senyum tipis. Ia mendekat, mengecup kening istrinya lembut, lalu menarik selimut menutupi tubuh Nadhifa hati-hati. Tangannya tak lagi nakal, hanya penuh perhatian.
“Kalau gitu, aku akan puasa. Tapi kalau kamu mulai manja, nyender, nyium-nyium pipi…” Ia menoleh dengan tatapan pura-pura waspada.
“Aku diem aja deh,” jawab Nadhifa cepat.
Keduanya tertawa bersamaan.
Di tengah nyeri yang masih membekap tubuhnya, Nadhifa merasa hatinya ringan. Cinta itu ternyata bisa bertumbuh lewat hal-hal kecil. Lewat godaan sederhana di malam hari, yang justru membuatnya jatuh cinta lagi pada suaminya sendiri.
...***...
Dini hari…
Nadhifa terbangun ketika samar-samar terdengar suara dari arah dapur. Bukan suara gaduh atau barang jatuh, melainkan suara sendok beradu dengan piring. Ia melirik ke sisi ranjang. Kosong. Bantal Renzo sudah dingin.
Dengan langkah pelan, ia turun dari tempat tidur. Perutnya memang masih terasa berat, tapi nyeri yang tadi malam begitu menyiksa kini sudah sedikit mereda. Saat menoleh ke dapur, senyum otomatis merekah di wajahnya.
Renzo duduk di meja makan, dengan piring nasi dan ayam rica-rica hangat. Baju santainya digulung sampai siku, rambutnya agak berantakan, tapi ekspresinya begitu serius seolah sedang lomba makan sahur.
Renzo itu benar-benar menjauhi kekayaan keluarganya. Ia tidak meminta warisan sepeserpun dimana semuanya dialihkan ke Alaric Alverio, kakak sepupunya. Meski akhirnya Renzo dapat sedikit bagian dari Alaric. Renzo tahu, Alaric yang jenius itu bisa menjaga perusahaannya lebih mana daripada dirinya yang lebih manja.
“Mas?” panggil Nadhifa pelan.
Renzo sontak menoleh. Matanya sedikit membesar, lalu tersenyum canggung. “Eh, kamu bangun?”
Nadhifa mengangguk, lalu ikut duduk di seberangnya. “Sahur?” tanyanya geli.
Renzo meneguk air sebelum mengangguk. “Iya. Harus kuat mental buat puasa.”
“Puasa?” Nadhifa menahan tawa.
“Puasa godaan,” jawab Renzo datar, meski matanya jelas-jelas menyiratkan maksud lain.
Pipi Nadhifa terasa menghangat. Ia berusaha menutupi dengan senyum. “Mas, itu baru dini hari. Belum masuk siang.”
Renzo bersandar ke kursi, lalu menghela napas seperti orang bijak. “Justru siang masih kuat. Malam yang rawan.”
Nadhifa menutup mulutnya, menahan tawa. “Mas harus tahan sampai aku selesai.”
Renzo condongkan tubuh ke meja. “Biasanya berapa hari?”
“Enam, kadang tujuh.”
Renzo mendongak, menatap langit-langit seolah sedang menghitung. “Ya Allah, percepatkan waktu, hilangkan hari, lancarkan jam.”
“Mas!” Nadhifa akhirnya tertawa keras.
Renzo hanya tersenyum kecil, lalu kembali menyuap makanannya. “Kalau tahu gini, aku sahur beneran deh tiap hari. Niatnya kuat.”
“Luar biasa,” sahut Nadhifa, menyandarkan dagu di tangannya sambil menatap suaminya.
Renzo melirik, lalu dengan santai mendorong piring kecil ke arahnya. “Jadi, kamu temenin aku sahur sekarang?”
“Iya temenin doang,” ujarnya cepat. “Jangan mesum kalo siang, nanti batal.”
Renzo tak perlu waktu lama untuk membalas. “Tapi hati Mas sudah batal sejak pandang pertama.”
Nadhifa hanya bisa menggeleng sambil tertawa. Lelaki ini, terlalu lihai membuatnya jatuh cinta lagi, bahkan hanya dengan kalimat sederhana di meja makan dini hari.
Beberapa saat kemudian, Yuda keluar dari kamarnya karena mendengar keributan dari luar.
“Ah, Yuda…” Nadhifa menyapa, tersenyum kecil saat melihatnya. “Sini duduk.”
Yuda duduk di sisi Bundanya, mengambil toples kacang yang ada di meja, dan mulai ngemil sambil menatap mereka. Tangannya bergerak otomatis, tapi matanya tetap penasaran ke arah Renzo.
“Ayah mau puasa, nih.” Nadhifa menjelaskan dengan nada lembut. “Kamu mau ikutan juga?”
Yuda mengangkat bahu. “Senin sama Kamis aja deh. Sekarang kan Selasa.” Ia tersenyum kecil, mencoba terdengar santai.
Percakapan pun berlanjut. Nadhifa mulai bertanya tentang kampusnya, apakah nyaman, apakah ada yang menyenangkan.
Yuda menjawab sambil tersenyum tipis, lalu membahas Arshen. Ia menceritakan tentang sasaeng yang ngejar Arshen, betapa kasian temannya itu karena Papa dan Mamanya sampai tidak tahu.
“Pokoknya, Bunda harus ngomong sama Papa Mamanya Arshen!” ujar Yuda.
Nadhifa menatap Renzo yang masih makan dengan tenang. Matanya tak berkedip, hanya diam.
Renzo akhirnya mengangkat kepala, menatap Yuda sebentar. “Dengar ya, Yuda. Jangan pernah minta Bunda kamu dekat sama Papa Mamanya Arshen. Bunda kamu gak deket sama mereka. Jangan ulangi lagi.”
Yuda menelan ludah, merasakan aura dingin yang menyelimuti Renzo. Tapi sekaligus hangat, karena itu tanda betapa besar sayangnya ia pada Bundanya. Jantung Yuda terasa bergetar. Ia sadar, Bundanya benar-benar jatuh di tangan yang tepat.
“Aku … maaf, Bund,” ucap Yuda pelan, menunduk sedikit.
Nadhifa hanya menggeleng, senyum tipis menghiasi wajahnya, tanpa kata-kata.
Nadhifa bangkit dari kursi, niat mau cuci piring bekas Renzo. Tapi Renzo dengan cepat menahan tangannya.
“Nadhifa … tidur aja. Aku yang beresin,” katanya.
Tapi Nadhifa tidak langsung pergi. Dia malah berdiri di samping Renzo seolah jadi pengawas.
“Kamu kaya Mommy waktu aku kecil coba nyuci piring. Waktu itu beneran pecah, aku dimarahin,” ujarnya ringan.
“Pasti gemesin waktu kamu kecil,” ujar Nadhifa.
Renzo tertawa pelan, mengguyur piring dengan air kran. “Aku serius, Nadhifa. Kamu nggak usah repot. Tidur aja.”
“Nggak apa-apa. Aku nemenin aja,” jawab Nadhifa. Matanya menatap Renzo, memastikan semuanya aman.
Mereka bercanda pelan, saling goda tentang siapa yang paling teliti mencuci piring.
Yuda, yang memperhatikan dari kursi meja makan, tersenyum kecil. Ia memilih kembali ke kamarnya, pelan-pelan menutup pintu. Tidak ingin mengganggu momen manis itu.
Dari dalam kamar, ia bisa mendengar tawa ringan mereka, dan rasanya hangat, nyaman, sekaligus membuatnya lega. Bundanya aman di tangan suami yang perhatian.