NovelToon NovelToon
Cahaya Yang Ternodai

Cahaya Yang Ternodai

Status: sedang berlangsung
Genre:Bad Boy / Nikahmuda / One Night Stand / Romansa / Cintapertama / Idola sekolah
Popularitas:34k
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.

Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.

Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.

Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

27. Amarah Amara

Pagi itu, sinar matahari masuk lembut melalui celah tirai ruang dapur yang sederhana namun selalu terasa hangat. Aroma tumisan bawang merah menyebar ke seluruh ruangan, berpadu dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari pemanggang. Di tengah keheningan pagi, terdengar langkah pelan Alendra menuruni tangga sambil merapikan rambutnya yang diikat seadanya.

“Pagi, Bu,” sapa Alendra lembut sambil tersenyum.

Larissa yang sedang menumis sayur menoleh, membalas senyum anak sulungnya itu. “Pagi juga, Sayang. Kamu udah bangun? Padahal Ibu pikir kamu mau istirahat lebih lama.”

Alendra menggeleng kecil. “Enggak, Bu. Badanku malah pegel kalau kebanyakan tidur.”

“Ya ampun, dasar anak nggak bisa diam,” gumam Larissa sambil tertawa kecil. “Padahal kamu itu lagi hamil, lho. Boleh lah santai dikit.”

Alendra hanya tersenyum sambil membuka lemari dapur. Tangannya mengambil gelas kesayangannya — gelas bergambar bunga matahari yang sudah ia pakai sejak SMP — lalu menuangkan air panas ke dalamnya. Ia membuka kotak susu hamil rasa cokelat yang kemarin malam baru dibelinya, atau tepatnya dibelikan oleh seseorang.

Rayven.

Nama itu otomatis muncul di benaknya saat bubuk cokelat mulai larut sempurna. Ia mengaduk perlahan, menatap pusaran susu hangat di dalam gelas seolah sedang menatap pantulan kenangan.

Masih terasa jelas bagaimana pagi kemarin Rayven tiba-tiba menariknya masuk ke mobil, lalu memberikan paper bag berisi segala macam susu dan vitamin. Ucapan singkatnya yang tenang, tapi hangat. Senyumnya yang samar, tapi tulus. Entah kenapa, meskipun sikap Rayven sering kali dingin dan membuatnya salah tingkah, ada sisi lain dari laki-laki itu yang membuat dada Alendra sesak — bukan karena takut, tapi karena bingung.

“Len, kamu mikirin apa?” suara ibunya memecah lamunan.

“Eh… enggak, Bu,” jawabnya cepat. Ia meneguk sedikit susu, rasanya manis dan lembut. “Cuma mikir kerjaan aja.”

Larissa menatap anaknya itu dengan sorot lembut namun penuh perhatian. “Kerjaan di kafe masih aman, kan? Ibu takut kamu kecapean.”

Alendra mengangguk cepat. “Aman kok, Bu. Bos juga baik banget, malah suka nyuruh aku duduk kalau keliatan capek. Lagipula aku cuma bagian kasir, gak berat.”

Larissa tersenyum, lalu kembali ke kompor. “Syukurlah kalau gitu. Ibu cuma gak mau kamu maksain diri. Kandungan kamu masih baru beberapa minggu, jadi harus jaga diri lebih.”

“Iya, Bu.”

Sambil duduk di kursi kayu dekat meja makan, Alendra memperhatikan ibunya bekerja. Ada rasa hangat sekaligus getir di dadanya — hangat karena punya ibu sebaik Larissa, getir karena ia masih menyembunyikan kebenaran soal siapa ayah dari anak yang ia kandung.

Kadang rasa bersalah itu datang begitu saja. Seperti pagi ini, saat ia melihat ibunya sibuk menyiapkan sarapan tanpa tahu kalau laki-laki yang membuat anaknya hamil kini justru sedang bersiap untuk datang ke rumah mereka.

Ya. Rayven bilang begitu semalam lewat pesan singkat yang dikirim diam-diam.

"Besok sore gue bakal datang ke rumah lo sama orang tua gue. Gue mau tanggung jawab."

Alendra membaca pesan itu berulang kali sampai larut malam. Tangannya sempat bergetar, jantungnya berdegup cepat. Ia belum membalas sampai pagi ini pun. Apa yang harus ia katakan? “Jangan datang”? “Gue belum siap”? Tapi bukankah ini yang seharusnya terjadi — laki-laki itu datang, mengaku, lalu bertanggung jawab?

Namun hati kecilnya takut. Takut kalau kedatangan Rayven justru membuat ibunya shock, atau ayahnya marah besar. Keluarganya sederhana, berbeda dunia dari keluarga Rayven yang hidupnya serba mewah.

“Len, tolong angkatin roti di oven, udah mateng tuh,” suara Larissa kembali memanggil.

“Siap, Bu.” Alendra segera berdiri, mengambil roti hangat dan meletakkannya di piring. Uapnya mengepul tipis, menggoda aroma harum mentega dan keju yang lumer.

Sambil menyusun di meja, Larissa menatap anaknya lagi. “Len, kamu tuh hebat, lho. Ibu bangga banget. Kamu gak pernah ngeluh, gak manja. Padahal banyak yang mungkin gak sekuat kamu.”

Ucapan itu menohok perasaan Alendra dalam-dalam. Ia tersenyum, tapi matanya sedikit berkaca. “Ibu jangan gitu, nanti aku nangis,” ucapnya pelan.

Larissa tertawa kecil dan menepuk pundaknya. “Ya udah, gak jadi deh. Sekarang kamu makan dulu. Abis itu siap-siap ke sekolah, ya.”

“Iya, Bu.”

Alendra duduk diam sejenak, menatap roti di depannya sambil memutar-mutar gelas susu di tangannya. Sore nanti… apa aku harus bilang ke Ibu sebelum Rayven datang? pikirnya gelisah. Atau biarin aja, biar Rayven yang jelasin semuanya?

 

Sementara itu, di sisi lain kota, Rayven sedang berdiri di depan cermin kamarnya dengan wajah pucat dan mata yang kurang tidur. Semalam ia hampir tidak bisa memejamkan mata, memikirkan bagaimana cara menghadapi keluarga Alendra.

“Gue ngomong apa nanti?” gumamnya lirih, menarik napas panjang. “Apa gue langsung bilang ‘saya yang tanggung jawab’? Ya Tuhan, bisa-bisa Ayahnya langsung timpuk gue pakai kursi.”

Ia tertawa hambar sendiri, tapi dalam hati sebenarnya panik.

"Paling sampai sana kalo gue jujur langsung di tonjok sama bokap nya."

Rayven memandangi bayangan dirinya di cermin cukup lama — wajahnya pucat, mata sayu, dan rambutnya berantakan seperti belum disentuh sisir semalaman. Ia menarik napas dalam, lalu menepuk pipinya beberapa kali, mencoba menegakkan postur.

“Lo laki-laki, Rayven,” gumamnya pelan di depan cermin, “jangan kayak pengecut.”

Tapi entah mengapa, semakin ia bicara begitu, semakin jantungnya berdegup kencang.

Bayangan wajah Damian, ayahnya, terus muncul di kepala — tatapan tajam dan dingin yang semalam penuh amarah. Dan sekarang, ia harus menatap mata ayah Alendra, entah seperti apa reaksinya nanti.

Tiba-tiba, suara ketukan pelan di pintu memecah lamunannya.

Tok… tok… tok.

“Rayven?” suara itu lembut, khas ibunya, Amara.

Rayven menelan ludah. “Masuk aja, Mah.”

Amara membuka pintu perlahan. Wajahnya tampak tenang, tapi mata itu menyimpan banyak hal — campuran khawatir, marah, dan lelah. Ia berdiri di ambang pintu sambil memegang map cokelat dan sebuah tas kecil berisi buah tangan.

“Mamah mau tanya, apa yang kemaren papah bilang sama mamah benar? Kamu hamilin anak orang atau orang itu yang jebak kamu karena kamu kaya?" Tanya Amara dengan nada tegas.

Rayven menatap ibunya dalam diam. Napasnya terasa berat, jantungnya berdetak tidak beraturan. Ia tahu momen ini akan datang, tapi tidak pernah benar-benar siap menghadapinya. Suara ibunya terdengar lembut, namun dingin — seperti bilah pisau yang bisa mengiris habis setiap alasan yang mungkin ia ucapkan.

Ia menelan ludah, menundukkan kepala sedikit. “Itu... bukan jebakan, Mah. Aku yang salah.”

Amara menarik napas panjang, menatap putranya dari ujung kepala hingga kaki. “Jadi benar kamu yang bertanggung jawab atas kehamilan anak itu?”

Rayven mengangguk pelan. “Iya, Mah.”

Keheningan seketika menyelimuti kamar. Hanya terdengar detak jam dinding dan tarikan napas berat mereka berdua. Amara menatap wajah anak yang selama ini ia banggakan — anak yang selalu tenang, dingin, dan jarang membuat masalah. Tapi kini berdiri di hadapannya dengan kepala tertunduk, membawa kabar yang mengguncang seluruh hatinya.

“Rayven…” suara Amara melembut, meski matanya mulai berkaca. “Kamu sadar, ini bukan hal sepele? Kamu masih kelas tiga SMA. Masa depan kamu masih panjang, Nak. Dan sekarang kamu bilang kamu menghamili anak orang?”

Rayven menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan gemetar. “Aku tahu, Mah. Tapi aku juga gak mau kabur dari tanggung jawab. Aku yang salah karena udah menyakiti dia.”

“Dia siapa?” tanya Amara dengan nada pelan tapi tajam.

“Alendra,” jawab Rayven lirih. “Teman sekolah.”

Amara terdiam beberapa detik. Tatapannya tajam, suaranya menurun satu oktaf ketika ia kembali bertanya, “Kenapa kamu bisa sampai melakukan hal kayak gitu, Rayven?”

Rayven menelan ludah sebelum menjawab, suaranya pelan dan berat. “Aku waktu itu... mabuk, Mah. Aku juga gak tahu gimana bisa sampai sejauh itu. Kayaknya... ada yang sengaja naro obat di minuman aku.”

Begitu mendengar kata “mabuk”, ekspresi Amara berubah drastis. Wajahnya memerah, matanya membulat penuh emosi.

Suara yang keluar dari bibirnya bergetar menahan marah.

“KENAPA KAMU BISA MABUK, RAYVEN?!” serunya lantang. “Apa pernah Mamah ajarin kamu buat mabuk-mabukan? Pernah Mamah larang kamu main sama teman-teman kamu, hah?!”

Rayven terdiam, tak sanggup membalas.

Amara menatapnya tajam. “Mamah gak pernah larang kamu nongkrong, Mamah cuma minta satu — jangan pernah injak tempat kotor kayak club malam! Tapi kamu malah ngelakuin hal yang paling Mamah takutkan!”

Rayven menunduk makin dalam, jemarinya mengepal di sisi tubuh. Suaranya serak ketika akhirnya berkata pelan, “Aku tahu aku salah, Mah. Aku bener-bener nyesel.”

Amara menarik napas panjang, berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia memalingkan wajahnya sejenak, mencoba menenangkan diri.

Rayven terdiam, matanya menatap lantai dengan pandangan kosong. Ia tahu, apapun yang ia katakan sekarang tidak akan bisa meredam amarah ibunya. Suara Amara bergetar — bukan hanya karena marah, tapi juga karena kecewa.

1
Favmatcha_girl
betul tuh om tetangga emang nyeremin
Favmatcha_girl
ayah Alen langsung to the point
Favmatcha_girl
itu calon iparmu Ezriel😍
Favmatcha_girl
selalu ingat keluarga 😊
Favmatcha_girl
kayaknya Kaelan galak deh😌
Favmatcha_girl
kenapa harus bohong?
Favmatcha_girl
ini baru namanya lakikk
Favmatcha_girl
ngomong aja Rayven, jujur
Favmatcha_girl
Perhatian sekali🤭
Favmatcha_girl
bohong itu bu🤭
Favmatcha_girl
dari calon mantu bu
Favmatcha_girl
perhatian juga Abang yang satu ini
Favmatcha_girl
Semangat berjuang Rayven 💪
ilham gaming
nasehat papa Damian bagus
Favmatcha_girl
Lhaa baru kenalan
Favmatcha_girl
gak galak kamu ven
Favmatcha_girl
sama orang lahh
Favmatcha_girl
ketuanya aja kaget
Favmatcha_girl
bukan sakit tapi mulai jatuh cinta🤭
Favmatcha_girl
lagi bahagia dia Nay😌
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!