Pengkhianatan yang dilakukan oleh tunangan dan kakak kandungnya membuat Rada mengambil keputusan untuk meninggalkan New York dan kembali ke Indonesia.
Pernikahan yang gagal membuat Rada menutup hati dan tidak ingin jatuh cinta lagi, tapi pertemuan dengan Gavin membuatnya belajar arti cinta sejati.
Saat Gavin menginginkan sesuatu, tidak ada yang bisa menolaknya termasuk keinginan untuk menikahi Rada. Ia tahu hati Rada sudah beku, tetapi Gavin punya segala cara untuk menarik wanita itu ke sisinya.
✯
Cerita ini murni ide penulis, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah karangan penulis dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30
Pagi itu udara Lombok terasa segar, langit biru muda tanpa awan. Burung camar beterbangan di atas garis pantai ketika para pelayan villa sibuk membantu menyiapkan sarapan di teras belakang. Aroma kopi dan roti panggang bercampur dengan semilir angin laut.
Rada turun paling akhir, rambutnya dikuncir setengah dan ia mengenakan blus putih sederhana dengan celana kain lembut warna pastel. Ia terlihat segar meski matanya sedikit sembab akibat kurang tidur semalam. Daniel sudah duduk bersama Bunda dan Mama Gavin, sementara Gavin… duduk di ujung meja, diam, menatap secangkir kopinya tanpa ekspresi.
“Pagi, semuanya,” sapa Rada pelan, berusaha mencairkan suasana.
Bunda menoleh dan tersenyum hangat. “Pagi, sayang. Cepat makan, kita berangkat sebentar lagi.”
Rada duduk di sebelah Gavin, namun pria itu hanya sekilas mengangguk tanpa menatapnya. Tak ada sapaan ringan seperti biasanya. Biasanya walaupun berwajah datar, Gavin tidak sedingin pagi ini. Rada merasa ada yang berbeda dari Gavin tapi Rada terlalu sungkan dan gengsi untuk bertanya.
Selama sarapan, percakapan didominasi oleh Daniel dan kedua ibu mereka yang membicarakan persiapan pernikahan beberapa hari lagi. Rada sesekali menimpali, sementara Gavin tetap tenang dengan wajah datar, jarinya mengetuk halus cangkir kopi.
Setiap kali Rada melirik ke arahnya, yang ia dapat hanya ekspresi tenang yang sulit ditebak. Namun dari cara rahang Gavin sedikit mengeras, Rada tahu sesuatu sedang mengganggu pikirannya.
Setelah sarapan, semua bersiap menuju bandara kecil. Begitu naik ke jet pribadi milik keluarga Gavin, suasana tetap sunyi. Hanya suara mesin pesawat yang pelan menggema di kabin mewah itu.
Bunda Istina dan Mama Lauren duduk bersebelahan di bagian belakang, berbincang pelan sambil tertawa kecil, sementara Daniel menatap pemandangan dari jendela. Rada duduk di kursi dekat lorong, sementara Gavin duduk di seberangnya, menatap lurus ke depan tanpa suara.
Beberapa kali Rada ingin membuka percakapan, tapi wajah Gavin membuatnya mengurungkan niat. Sampai akhirnya ia menyerah dan memilih memejamkan mata, berpura-pura tidur.
Namun dalam diam, Gavin sesekali menatap Rada dari sudut matanya. Ada sesuatu yang berbeda di pandangannya pagi itu, bukan hanya dingin, tapi juga bercampur dengan perasaan yang sulit ia kendalikan.
Ia masih teringat kejadian malam tadi, saat El datang lagi, dan bagaimana Rada melindungi pria itu dari amarah Daniel. Meski Gavin tahu Rasa tidak mungkin kembali pada El, tapi bagian dirinya tetap tersulut cemburu setiap kali nama pria itu muncul.
“Dia memang tidak tahu apa-apa.” Batin Gavin. “Tentang betapa aku berjuang menahan diri agar tidak menghancurkan siapapun yang berani mendekatinya.”
Jet meluncur lembut di langit menuju Jakarta. Di luar, awan-awan putih berarak perlahan. Di dalam, hanya ada keheningan.
Dua jam kemudian mereka akhirnya tiba di Jakarta, mereka langsung masuk ke dalam mobil yang sudah menunggu di luar bandara.
Mobil hitam itu meluncur tenang di jalanan Jakarta yang mulai padat pagi itu. Dari kursi belakang, Rada hanya memandangi punggung Gavin yang duduk di depan, tepat di samping sopir. Sejak mereka tiba di bandara, pria itu tidak banyak bicara tidak sepatah kata pun selain, “Aku akan minta sopir mengantarmu ke rumah.” Dengan suaranya datar, bahkan lebih dingin dari biasanya.
Sepanjang perjalanan, Naya mencoba memahami perubahan itu. Biasanya Gavin, dengan cara khasnya yang kaku dan nyaris menyebalkan, akan tetap memaksa mengantarnya sendiri dengan menyebut alasan seperti “karena sopir terlalu lambat” atau “karena aku lebih tahu arah.” Tapi pagi itu, dia hanya menatap keluar jendela dan sibuk dengan ponselnya tanpa menoleh sekalipun.
Rada menunduk, menggenggam ujung blazer tipisnya. Ia mencoba menepis rasa tak nyaman yang perlahan tumbuh di dada. Mungkin Gavin menyesal. Mungkin pernikahan ini, yang terjadi karena campur tangan keluarga dan kesalahpahaman kecil, akhirnya terasa berat baginya.
Mobil berhenti di depan gerbang besar rumah keluarga Argaya, rumah besar yang akan menjadi tempat Rada tinggal menjelang hari pernikahan.
Gavin akhirnya menoleh, tapi hanya sebentar. “Sudah sampai,” ucapnya pelan.
Rada menatapnya, ingin mengatakan sesuatu untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, tapi suaranya tak keluar.
“Terima kasih,” katanya akhirnya, lembut.
Gavin hanya mengangguk, lalu kembali menatap ke depan. Begitu Rada turun, mobil itu langsung melaju pergi tanpa sempat ia ucapkan selamat tinggal.
Rada menatap punggung mobil itu hingga hilang di tikungan. Udara pagi Jakarta terasa hangat. Ada sesuatu dalam cara Gavin menjauh yang menimbulkan perasaan asing di dadanya seolah jarak di antara mereka tiba-tiba membentang jauh sekali, padahal baru kemarin ia merasa mereka mulai saling memahami, walau hanya sedikit.
“Apa yang kamu harapkan, Rada? Hanya karena dia setuju menikah, bukan berarti kamu istimewa.” Bisik hati Rada mencemoohnya.
Tak lama kemudian mobil yang mengantarkan Bundanya juga berhenti di gerbang, Bunda keluar seraya tersenyum lembut.
“Masuk, Ra. Hari ini kita banyak yang harus disiapkan.” ujar Bunda menepuk bahunya lembut.
Rada tersenyum kecil dan mengangguk, lalu masuk ke dalam rumah bersama Bunda. Begitu mereka masuk ke dalam rumah besar Argaya, aroma melati dan kayu manis menyambut lembut dari arah ruang tengah. Semua sudah tampak sibuk, beberapa asisten rumah tangga membawa baki berisi minuman, sementara dua orang wanita dari pihak wedding organizer terlihat sedang menata contoh undangan dan kain untuk seragam keluarga.
Bunda langsung bergabung dengan mereka, membahas sesuatu tentang dekorasi dan warna bunga, sementara Rada memilih duduk di kursi panjang dekat jendela. Ia menatap keluar, ke halaman luas yang dipenuhi bunga kamboja putih. Anginnya tenang, tapi pikirannya tidak. Bayangan Adrian yang dingin pagi tadi masih berputar di kepalanya.
“Sayang,” suara Bunda memecah lamunannya.
Rada menoleh, tersenyum tipis.
“Iya, Bun?”
Bunda menghampirinya sambil membawa beberapa brosur salon dan spa. “Kamu sebaiknya istirahat dulu, ya. Nanti sore sampai malam kita keluar, perawatan di tempat langganan Tante Hanna. Pengantin harus pangling di hari pernikahannya.”
Rada mengangguk pelan, senyum kecil muncul di wajahnya.
“Baik, Bun.”
“Bunda nggak mau kamu kelihatan lelah di altar nanti. Semua mata akan tertuju padamu. Kamu harus terlihat bahagia, cantik, dan… yakin.”
“Aku akan berusaha, Bun.” kata Rada tersenyum tipis, tidak mau membuat Bundanya ikut khawatir dengan segala kekhawatiran yang sekarang berputar kacau dalam kepalanya. Sejujurnya, Rada tidak yakin tentang pernikahan, ia belum siap sama sekali.
Bunda membelai rambutnya lembut. “Itu anak Bunda yang manis. Sekarang istirahat, nanti sore Bunda bangunkan. Kita pergi berdua saja.”
Rada tersenyum dan melangkah ke kamarnya yang selalu di bersihkan oleh para pelayan di rumah ini. Begitu pintu tertutup, ia bersandar di dinding, menatap bayangannya di cermin besar di sudut ruangan. Wajah itu tenang, tapi matanya… tak bisa menyembunyikan keraguan.
Ia menatap cincin di jarinya, cincin pertunangan yang dipasangkan Gavin dengan ekspresi nyaris tanpa emosi.
“Aku menikah dengan seseorang yang mungkin sama sepertiku, tidak menginginkan pernikahan ini,” gumamnya pelan, senyum getir muncul di bibir.
selamat rada utk kehamilanya.