"Lepasin om! Badan gue kecil, nanti kalau gue penyet gimana?!"
"Tidak sebelum kamu membantuku, ini berdiri gara-gara kamu ya."
Gissele seorang model cantik, blasteran, seksi mampus, dan populer sering diganggu oleh banyak pria. Demi keamanan Gissele, ayahnya mengutus seorang teman dari Italia untuk menjadi bodyguard.
Federico seorang pria matang yang sudah berumur harus tejebak bersama gadis remaja yang selalu menentangnya.
Bagaimana jadinya jika Om Hyper bertemu dengan Model Cantik anti pria?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pannery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Om m*sum
Federico perlahan mendekat, menatap Gissele dengan intensitas yang dalam.
Tangannya masih membelai lembut pipi gadis itu, sementara wajahnya semakin dekat, hingga Gissele bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat.
Jantung Gissele berdebar tak karuan. Nafasnya tercekat, dan ia tak mampu mengalihkan pandangan dari mata pria di hadapannya.
Tubuhnya diam. Tapi pikirannya riuh.
Jadi maksud dia cantik itu.. gue? Terus gue mau dicium? Pikirnya gugup.
Dan saat kelopak matanya mulai perlahan menutup, bersiap menerima sesuatu yang belum pernah ia alami…
"Jrengggg!!"
Suara gitar mendadak memekik dari samping mereka, mengejutkan keduanya.
“Mau dibawa ke mana… hubungan kita…”
Seorang pengamen muncul entah dari mana, menyanyikan lagu dengan suara lantang penuh semangat. Federico dan Gissele langsung menjauh satu sama lain dengan refleks.
Mereka saling menatap dalam keterkejutan, wajah memerah, lalu…
“Eh…” Federico berdeham, cepat-cepat merogoh saku dan menyerahkan selembar uang pada si pengamen.
“Si Asep sekolahnya cuma sampe gerbang, makasih bang!” Ucap si pengamen ceria sebelum melenggang pergi, masih bersenandung.
Suasana mendadak hening kembali. Lalu…
“Hahaha!”
Mereka tertawa bersamaan, tawa yang ringan dan lepas, menepis semua canggung yang tadi menggantung di antara mereka.
“Sumpah ngga nyangka banget dia dateng langsung genjreng,” ujar Gissele, tertawa sambil menunduk malu.
Federico ikut tertawa kecil, ia diam dan senang melihat Gissele akhirnya tersenyum kembali.
Setelah suara gitar dari pengamen tadi perlahan menghilang bersama langkah mereka, Federico kembali menyalakan motornya.
"Yuk kita pergi lagi."
Gissele mengangguk dan naik ke boncengan sambil masih tertawa kecil karna memikirkan kejadian absurd tadi.
Mereka melaju pelan di bawah langit malam. Angin berembus lembut, membuat rambut Gissele yang dibiarkan tergerai sedikit menari tertiup udara.
Federico tak berkata apa-apa, hanya menikmati keheningan sambil sesekali melirik ke spion, melihat Gissele yang duduk tenang di belakangnya.
Beberapa menit kemudian…
"Kruuuuk~"
Bunyi itu jelas terdengar. Gissele langsung refleks menunduk dan menutup perutnya.
“Aduh… maaf. Ah, malu banget…” Gumamnya pelan.
Federico tertawa geli, tidak mengejek, tapi terdengar hangat. “Nona lapar?” Tanyanya sambil tetap fokus menyetir.
Gissele mengangguk kecil, suaranya seperti anak kecil yang ketahuan diam-diam ngemil, “Iya… hehe. Tadi belum sempat makan.”
Federico langsung memperlambat motornya. “Tenang, aku tau tempat yang pas untuk makan pas malam-malam begini.”
“Eh, tempat apa?” Tanya Gissele penasaran.
“Nanti Nona coba sendiri, pasti suka.” Ujarnya sambil tersenyum percaya diri.
Tak lama kemudian, mereka berhenti di sebuah warung sederhana pinggir jalan yang tampak masih ramai meski malam sudah cukup larut.
Aroma kaldu mengepul dari dapur kecil di sisi belakang warung, menyambut mereka dengan kehangatan yang seolah memeluk tubuh yang dingin diterpa angin malam.
“Warung soto?” Ujar Gissele sambil menatap papan sederhana yang tergantung di atas pintu.
Federico turun duluan, kemudian mematikan motor dan menoleh ke arah Gissele. “Saat pertama kali kesini, soto udah jadi makanan favorit saya.”
Mereka duduk di bangku kayu panjang yang menghadap jalan. Meja sederhana itu sedikit berembun karena uap dari mangkuk soto yang baru datang.
Saat Gissele menyuapkan sendok pertama, matanya sedikit membulat.
“Hmm… enak banget…” gumamnya. “Sotonya anget, kaldunya nendang, dan… ada rasa manisnya dikit ya? Kayak… rempahnya tuh pas banget.”
Federico hanya tersenyum kecil di sampingnya. “Komentarnya udah kaya chef aja.”
Gissele menatapnya sejenak lalu kembali melanjutkan makan. Sesekali, dia menghembuskan napas ke sendok karena kuahnya masih panas.
Federico diam-diam mencuri pandang—melihat gadis itu makan dengan lahap, tanpa beban, tanpa tekanan.
Wajahnya tampak lebih hidup dari beberapa jam yang lalu.
“Nona,” panggil Federico pelan.
Gadis itu menoleh, masih mengunyah. “Hmm?”
“Saya senang lihat Nona nggak sedih lagi.”
Gissele menunduk sebentar, pipinya memerah. “Thanks ya, udah ngajak ke sini. Perasaan gue jadi lebih baik.”
Federico tersenyum kecil. “Anytime, kalau Nona mau tau makanan enak lainnya lagi, kita bisa makan bersama kapanpun Nona mau. Jangan makan sayur terus seperti kambing.”
Gissele yang tersinggung lalu memukul pelan Federico, "Ih nyebelin! Sayur kan sehat."
Setelah menyelesaikan sotonya, Gissele bersandar sebentar di kursi, menatap langit malam yang perlahan mulai mendung.
Angin malam berubah menjadi lebih dingin, membawa bau tanah yang khas.
"Kayaknya mau hujan, deh," gumamnya.
Federico menengadah, mengamati awan yang kini gelap dan bergerak cepat. "Iya… kita harus cepat-cepat pulang."
Baru saja mereka berdiri dan berjalan ke arah motor, tetesan air pertama mulai turun—perlahan namun pasti.
Hanya butuh beberapa detik sebelum hujan benar-benar turun dengan derasnya.
“Cepet, sini!” Ujar Federico, menarik tangan Gissele untuk berteduh di bawah halte bus.
Melihat Gissele sedikit menggigil, Federico melepas jaket kulitnya dan menyampirkannya ke pundak gadis itu.
“Pakai ini. Biar nggak kedinginan.”
Gissele sempat terkejut, tapi kemudian tersenyum kecil, “Tapi nanti Om yang kedinginan…”
Federico hanya menggeleng. “Nggak apa-apa, Nona aja yang pakai.” Ucapnya sambil tersenyum lembut.
Tiba-tiba...
DUAARR!!
"Aaak!" Gissele menjerit ditempat. Petir menyambar cukup dekat. Suaranya menggelegar dan cahayanya menyilaukan sejenak.
Reflek, Gissele berteriak kecil dan memejamkan mata. Tubuhnya kaku dan ia memegang lengan Federico dengan erat.
Melihatnya begitu ketakutan, Federico tanpa pikir panjang langsung memeluk Gissele erat. Pelukannya bukan hanya untuk menghangatkan, tapi untuk menenangkan.
“Tenang… saya di sini, Nona. Nggak apa-apa,” bisiknya lembut di telinga Gissele.
Rasanya suara Federico membuat pikiran Gissele teralihkan, seolah suara itu menghalau banyak petir yang muncul.
Gissele tidak berkata apa-apa, hanya diam di dalam pelukan itu, mendengarkan degup jantung Federico yang terasa cepat.
Dia juga deg-degan kaya gue, batinnya.
Pelukan itu terasa aman. Lama-lama, tubuh Gissele yang semula tegang mulai rileks. Ia menyandarkan kepalanya di dada Federico, mendekap jaket hangat yang membungkus tubuhnya.
Di tengah hujan yang mengguyur dan suara petir yang kadang masih terdengar, mereka hanya berdiri diam. Tak ada kata, hanya kehangatan yang perlahan menggantikan ketakutan.
Hujan makin deras dan membuat mereka terjebak disana. Federico dan Gissele masih berdiri di bawah halte itu.
Meski dingin udara malam menyelimuti, tubuh Gissele tetap hangat karena jaket Federico… dan pelukannya.
Namun, seiring waktu berlalu, jarak di antara mereka tak kunjung renggang. Nafas mereka terasa, begitu dekat—terlalu dekat.
Federico menunduk sedikit, memperhatikan wajah Gissele yang masih bersandar di dadanya.
Rambut basah gadis itu menempel di pelipis, dan embusan nafasnya menyentuh leher Federico, membuat pria itu mengepalkan jemari di belakang punggung Gissele—menahan sesuatu yang terus bergemuruh dalam dirinya.
Fuck, ini terlalu dekat.. Federico merasa frustasi. Tangannya mulai turun dan memegang pinggang ramping gadis itu.
Gissele mendongak perlahan, dan seketika mata mereka bertemu.
Tatapan itu dalam, terlalu dalam hingga membuat jantung keduanya berpacu tak karuan.
Federico membuka mulut, suaranya rendah dan tertahan, nyaris seperti desahan lirih, "Nona..." Ia menahan nafas. Dadanya naik-turun.
"Maaf kalau terus begini… saya benar-benar nggak bisa tahan." Dan benar saja dalam pelukan itu, Gissele merasakan sesuatu yang mengganjal dibawah sana.
Lagi-lagi pusaka kebanggaan Federico bangkit.
..