NovelToon NovelToon
Operasi Gelap

Operasi Gelap

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Mafia / Balas Dendam / Mata-mata/Agen / Gangster / Dark Romance
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Radieen

Amara adalah seorang polisi wanita yang bergabung di Satuan Reserse Narkoba. Hidupnya seketika berubah, sejak ia melakukan operasi hitam penggrebekan sindikat Narkoba yang selama ini dianggap mustahil disentuh hukum. Dia menjadi hewan buruan oleh para sindikat Mafia yang menginginkan nyawanya.
Ditengah - tengah pelariannya dia bertemu dengan seorang pria yang menyelamatkan berulang kali seperti sebuah takdir yang sudah ditentukan. Perlahan Amara menumbuhkan kepercayaan pada pria itu.
Dan saat Amara berusaha bebas dari cengkraman para Mafia, kebenaran baru justru terungkap. Pria yang selama ini menyelamatkan nyawanya dan yang sudah ia percayai, muncul dalam berkas operasi hitam sebagai Target Prioritas. Dia adalah salah satu Kepala geng Mafia paling kejam yang selama ini tidak terdeteksi.
Amara mulai ragu pada kenyataan, apakah pria ini memang dewa penyelamatnya atau semua ini hanyalah perangkap untuknya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radieen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gudang Kayu di Hutan Pinus

Amara tidak bisa membiarkan Fai begitu saja, kalau terjadi sesuatu padanya, maka pencarian kebenaran ini akan semakin sulit.

Meski banyak kehilangan darah, Fai berusaha untuk tetap sadar. Tapi sepertinya luka itu mulai membengkak, hipovolemia-nya semakin memburuk. Ujung pada tangan dan kakinya menjadi dingin, tapi badan Fai mulai memanas. Ia bergetar menggigil karena demamnya yang tinggi.

Amara semakin cemas, ”Fai.. kau demam.. "sambil memegang leher Fai yang terasa terbakar.

Tanpa ragu Amara duduk disebelah Fai, menarik tubuhnya mendekat. Ia memeluk tubuh Fai, membiarkan kulit mereka bersentuhan agar tetap hangat.

Sebenarnya Amara juga tak kalah kedinginannya seperti Fai. Bagian atas tubuhnya hanya di tutupi dengan Bra tipis berwarna hitam. Kaos putihnya sudah dia korbankan untuk menahan darah pada luka Fai, belum lagi gudang kayu di tengah hutan itu memiliki dinding yang bercelah, membuat angin di tengah hujan masuk dengan mudahnya.

Dingin pada tubuh Fai menusuk hingga ke tulang Amara, namun Amara malah memeluknya lebih erat.

"Maafkan aku," bisik Fai, giginya bergemeletuk.

"Diamlah," kata Amara lembut, menempelkan pipinya ke kening Fai yang panas. "Kita di sini bersama. Kau harus hidup, Fai."

Sentuhan kulit Amara yang langsung, perlahan meredakan gemetar Fai. Fai mendongak, matanya yang hazel terlihat sayu namun penuh kesadaran. Dengan tangan yang gemetar, Fai mengangkatnya, perlahan menyentuh bahu Amara yang terbuka.

"Kau sangat dingin," bisik Fai, suaranya serak. Ia membelai lembut kulit halus Amara yang basah dan kedinginan.

Amara memejamkan mata. Sentuhan Fai terasa panas di kulitnya. Pikirannya melayang pada malam mereka bersama di hotel. Ia tahu pria ini menahan rasa sakit yang luar biasa. Fai menarik dirinya sedikit menjauh, tetapi tangannya tetap menangkup pipi Amara.

Amara mendekat, perlahan membiarkan bibir mereka bertemu. Ciuman itu dimulai dengan sangat lembut, penuh hati-hati. Fai mulai membalas menciuminya. Ia memasukkan lidahnya dengan lembut menyentuh bibir Amara. Amara membukanya tanpa ragu. Amara mengerang pelan, bukan karena kedinginan, tetapi karena campuran hasrat dan kepasrahan.

Fai memindahkan tangannya ke pinggang Amara, menarik tubuh Amara yang minim pakaian itu merapat ke tubuhnya. Amara membalasnya dengan mencengkeram erat rambut belakang Fai.

Fai menarik wajahnya, napasnya berat dan cepat. Ia menyandarkan dahinya ke dahi Amara.

"Aku tidak tahu apakah aku akan sadar setelah ini," bisik Fai pada Amara.

"Kau akan sadar," ucap Amara meyakinkan, "Kita akan pergi dari sini bersama."

Fai tersenyum tipis, tangannya yang masih gemetar bergerak dari pipi Amara, perlahan turun menyentuh tengkuknya. Ia membelai kulit leher Amara dengan ibu jarinya, gerakannya lambat dan hati-hati.

Amara menangkupkan tangan pada tangan Fai di tengkuknya, lalu mendorong dahi Fai dengan lembut hingga bibir mereka bertemu lagi. Kali ini, ciuman itu terasa lebih mendalam dan putus asa.

Amara memiringkan kepala, memperdalam ciuman itu. Ia merasakan kehangatan yang menjalar dari tubuh Fai, membakar rasa dingin yang menusuk tulangnya. Fai merespons dengan erangan pelan. Ia menarik tubuh Amara lebih erat, seolah ingin menyerap semua kekuatan yang Amara miliki.

Tangan Fai melepaskan pinggang Amara dan bergerak naik, membelai punggung Amara yang telanjang. Jari-jarinya menelusuri lekuk tubuhnya, mengirimkan gelombang kejut yang candu. Amara melepaskan genggaman pada rambut Fai dan menyentuh lengan Fai yang terluka.

Ia tersentak, ”sakit?”

Fai menarik diri sejenak dari ciuman itu, napasnya tersengal. "Tidak apa-apa," katanya serak.

Amara menggeleng. "Tidak. Biarkan aku.."

Dengan hati-hati, Amara menjauhkan dirinya sedikit. Matanya beralih ke kemeja Fai yang sudah berlumuran darah. Ia tahu luka itu harus tetap dibalut, tapi ia juga tahu kehangatan yang diberikan sentuhan kulit ke kulit jauh lebih penting saat ini.

Amara mengangkat tangannya, meraih ujung kemeja Fai. Gerakannya lembut, perlahan menyingkap kancing kemeja yang tersisa. Fai membiarkannya.

Kemeja itu dilepaskan, memperlihatkan dada Fai yang bidang dan berkeringat karena demam. Amara menarik napas. Dia kembali merapat, membiarkan tubuhnya bersentuhan langsung dengan kulit hangat Fai. Ia memeluk Fai, menenggelamkan wajahnya di leher Fai. Kehangatan yang menjalar itu terasa bagai obat penawar.

Fai membalas pelukan itu, membelai rambut Amara yang lembab. Ia merasakan kehangatan tubuh Amara yang kontras dengan dinginnya udara tempat itu. Amara mendongak, matanya bertemu lagi dengan Fai.

"Aku.." bisik Fai, suaranya hampir tak terdengar.

Jemari Amara menyentuh bibir Fai, menghapus sisa ciuman mereka.

"Jangan bicara," kata Amara, mencoba menahan emosinya. "Simpan energimu."

Amara membaringkan Fai dengan sangat hati-hati, memastikan luka di lengan Fai tidak tertekan. Ia berbaring di sampingnya, memiringkan tubuhnya dan kembali memeluknya, menempelkan tubuhnya di sisi tubuh Fai yang tidak terluka. Ia menarik kembali kemejanya yang sudah berlumuran darah, dan menyelimutkan sebagiannya di atas dada Fai.

"Tidur sekarang," bisik Amara, menenangkan. "Kau perlu istirahat. Aku akan menghubungi seseorang mencari bantuan."

Fai menatap Amara, ia tidak melawan. Ia tahu Amara benar. Ia memejamkan mata, membiarkan kehangatan tubuh Amara dan kelelahan yang luar biasa menariknya ke dalam mimpi. Gemetarnya perlahan mereda.

Setelah napas Fai terdengar lebih tenang dan teratur, Amara perlahan menyelinap keluar dari pelukan. Rasa dingin langsung menusuk kulitnya, membuatnya menggigil hebat.

Ia merogoh ponsel di saku celana jeansnya. Layarnya gelap. Dengan tangan yang gemetar, Amara menyalakannya. Sambil melirik Fai yang sudah terlelap, Amara berjalan menuju celah dinding gudang, berharap di sana ada sedikit celah sinyal.

Setelah beberapa kali mencoba, ponsel Amara akhirnya menampilkan ikon sinyal yang sangat lemah, hanya satu bar. Seketika, notifikasi membanjiri layar.

Benar saja, ada lebih dari sepuluh panggilan tak terjawab dan serentetan pesan dari Raditya. Amara melirik jam di layar, pukul 15.00. Mereka seharusnya bertemu beberapa jam yang lalu. Amara bisa membayangkan betapa kesalnya Raditya karena pertemuan mereka batal tanpa kabar.

Raditya: “Amara, kau di mana? Kenapa tidak datang? Aku sudah menunggumu.”

Raditya: “kau baik - baik saja kan? Jangan buat aku khawatir!”

Raditya: “Telepon aku sekarang. Jangan sampai aku harus mencarimu.”

Amara menghela napas, mengabaikan notifikasi dari Raditya. Dia tidak bisa menjelaskan situasi ini sekarang, dan Raditya pasti akan panik jika tahu dia berada di tengah hutan bersama buronan mereka. Amara membutuhkan seseorang yang bisa bertindak cepat dan tanpa banyak pertanyaan.

Ia segera mencari kontak Haris.

Jari Amara yang dingin gemetar saat ia menekan tombol panggil. Butuh beberapa detik sebelum panggilan itu tersambung.

"Halo, Amara? Astaga, akhirnya kau telepon! Raditya panik setengah mati," suara Haris terdengar khawatir.

"Haris, dengarkan aku," potong Amara cepat, suaranya berusaha terdengar tenang meski napasnya terengah,

"Aku butuh bantuanmu. Sekarang juga. Jangan beritahu siapapun."

"Ada apa? Suaramu kenapa? Kau di mana?" tanya Haris, nadanya berubah serius.

"Aku akan mengirimkan titik lokasinya. Bawa mobilmu."

Hening sejenak di seberang telepon. "Apa yang terjadi?"

"Aku akan menjelaskannya padamu nanti."

Suara Haris mengeras, menunjukkan bahwa ia sudah mengambil kendali. "Oke, aku kesana. Kirimkan lokasimu seakurat mungkin. Aku akan berangkat sekarang."

Amara segera mematikan data seluler dan fokus mengirimkan lokasi, berharap sinyal satu bar itu cukup kuat untuk mengirimkan koordinatnya. Setelah notifikasi 'terkirim' muncul, ia mematikan telepon, menyimpan energinya.

Amara kembali ke sisi Fai, berlutut, dan membelai lembut kening pria itu.

"Bertahanlah, bantuan akan segera tiba."

1
Piet Mayong
so sweet deh fai dan Amara...
Piet Mayong
semanggad Thor...
Piet Mayong
musuh yg sesungguhnya adalah komandannya sendiri, Alfian.
sungguh polisi masa gthu sih....
Piet Mayong
seru ceritanya..
semangat.....
Radieen: 🙏🙏 Makasih dukungan, sering sering komen ya.. biar aku semangat 🩷
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!