Aura, seorang penulis amatir dari keluarga miskin, terjebak dalam novel ciptaannya sendiri. Ia bangun di tubuh Aurora, selingkuhan jahat dari cerita Penderitaan Seorang Wanita. Padahal, dalam draf aslinya Aurora direncanakan mati tragis karena HIV, sementara sang istri sah, Siti, hidup bahagia bersama second male lead. Kini, Aura harus memutar otak untuk melawan alur yang sudah ia tulis sendiri, atau ikut binasa di ending yang ia ciptakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia Z.N, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Isekai Jadi Vilain
"Aurora, saya mohon, nak! Saya memiliki dua anak yang masih kecil. Mereka masih sangat membutuhkan kasih sayang ayah mereka."
Seorang wanita paruh baya menatap perempuan muda di depannya dengan mata yang basah penuh air mata. Sorotnya bergetar, wajahnya pucat pasi, seolah nyawanya tengah tergantung pada jawaban lawan bicaranya. Tubuhnya bergetar halus, kedua tangannya meremas kain gamis lusuh yang ia kenakan, seakan dengan itu ia bisa menahan rasa sakit di dadanya. Rintihan lirihnya terdengar seperti jeritan dari seseorang yang sudah kehilangan segalanya, namun masih berusaha memohon setitik belas kasih.
Wanita muda itu, Aurora, tidak menunjukkan sedikitpun iba. Bibirnya malah melengkung membentuk senyum licik yang seakan menghina tangisan yang keluar dari mata Siti. Dengan angkuh ia menundukkan wajahnya, memandangi kukunya yang terlapisi cat merah mengilap. Gerakan kecil itu seolah menegaskan bahwa ia jauh lebih peduli pada kilau kukunya daripada air mata seorang istri sah yang tengah putus asa. Perlahan, ia mengangkat kembali wajahnya, menatap Siti dengan sorot sinis penuh kemenangan.
"Bahkan wajahmu tidak secantik kukuku. Bagaimana bisa tuan CEO yang ingin menjabat menjadi menteri keuangan ini menolak kecantikanku jika istrinya sejelek ini? Sadar dirilah, ibu Siti! Jika kau tidak membenahi dirimu dengan kecantikan, jangan salahkan jika suamimu mencari yang lebih cantik darimu."
Kata-kata itu menghantam dada Siti seperti sebilah pisau tajam. Wanita paruh baya itu terhuyung, namun ia tetap memaksakan dirinya berdiri tegak. Dengan langkah goyah, ia bangkit berdiri. Tatapannya menusuk Aurora, bukan dengan amarah, melainkan dengan kesedihan yang begitu dalam, seakan jiwanya sendiri tengah terkoyak.
"Kau tidak mengerti, Aurora! Kau masih sangat muda! Bagaimana bisa seorang anak muda seperti dirimu menghina seorang ibu rumah tangga yang sudah melahirkan dua orang anak untuk suaminya?" suaranya pecah, lirih, namun penuh rasa putus asa. Tangannya refleks memegangi dadanya yang sesak, dadanya naik turun menahan tangis. "Tolonglah mengerti, Aurora! Kecantikan wanita bisa menghilang seiring berjalannya waktu. Kau tidak bisa mengerti karena—"
"Ibuku bisa!" potong Aurora tajam, seperti cambuk yang mencabik harapan tipis Siti. Senyum licik itu masih bertahan, bahkan kini semakin melebar, memperlihatkan betapa yakin dirinya pada perkataan sendiri.
"Ibuku bisa tetap cantik. Karena itu, ayahku yang merupakan pejabat oposisi dengan gaji fantastis di negara ini, tidak akan pernah berpikiran untuk meninggalkan ibuku meski ibuku sudah memiliki seorang anak perempuan yang sudah dewasa seperti diriku."
Aurora merentangkan kedua tangannya, kepalanya sedikit menengadah, seolah dirinya adalah bukti nyata dari kemenangan ibunya. Nada bicaranya penuh kesombongan, dingin, dan kejam.
"Lihat! Aku sudah besar, kan? Bandingkan dengan anak-anakmu yang masih di bawah umur! Jelas sekali usia ibuku jauh lebih tua darimu. Tapi, lihatlah wajah cantiknya!"
Dengan gerakan cepat, Aurora mengeluarkan ponselnya dari tas mewah yang tergantung di bahunya. Layar ponsel itu menyala, menampilkan foto seorang wanita cantik dengan rambut panjang bergelombang, mengenakan gaun merah ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Ia mengacungkan ponsel itu ke wajah Siti, seakan ingin menusukkan potret itu tepat ke dalam matanya.
Siti membelalakkan mata. Tubuhnya bergetar hebat. Jemarinya yang gemetar terangkat, menunjuk ke arah Aurora dengan ekspresi campuran antara keterkejutan, luka, dan amarah yang tertahan.
"Ka- kau! Rupanya kau adalah anak dari seorang gundik! Gundik hina dan rendahan yang membuat pak Sahroni Darmawi, tega membuang anak dan istrinya yang sudah menemaninya dari sebelum tidak memiliki apapun hingga akhirnya bisa menjadi seorang pejabat oposisi! Dan sekarang, kau juga mau mengikuti jejak ibumu? Menjadi gundik yang membuat seorang ayah sekaligus suami, membuang anak dan istrinya sendiri yang sudah menemaninya dari nol?"
Aurora mendengus pelan. Bibirnya melengkung ke atas, membentuk senyum miring yang memancarkan rasa puas, namun juga tajam seperti belati yang hendak menorehkan luka lebih dalam lagi. Sorot matanya berkilat kejam, menatap lurus ke dalam mata Siti hingga membuat wanita itu seolah tercekik oleh tatapan itu sendiri.
"Heh!"
Senyumnya semakin menyeringai, memancarkan arogansi yang menusuk.
"Hanya wanita bodoh yang mau menemani pria dari nol!"
---
Sebuah ponsel pintar jatuh menghantam ranjang dengan suara thud keras, disusul tubuh seorang gadis muda yang terjerembab di atas kasurnya dengan wajah tertelungkup. Rambut hitamnya yang kusut menutupi sebagian wajahnya, bahunya naik turun menahan emosi.
"Menyebalkan! Jika bukan karena trend pasar sampah, aku tidak akan pernah mau membuat cerita murahan tentang perselingkuhan!"
Suara geram itu menggema di kamar sempit yang dindingnya sudah mulai mengelupas. Aura, gadis muda itu, berbaring dalam posisi telungkup, kedua kakinya menendang-nendang kasur dengan kesal. Jari telunjuknya bergerak kaku di atas layar ponsel, mengetik dengan gerakan kasar, seolah setiap ketikan adalah pelampiasan rasa muaknya.
"Sebenarnya apa yang dipikirkan orang-orang itu? Kenapa mereka sangat menyukai drama perselingkuhan? Sudah begitu, mereka pasti akan terbagi menjadi dua kubu. Kubu istri dan kubu selingkuhan. Yang salah antara selingkuhan atau istrinya. Padahal yang salah ya suaminya yang sudah memutuskan untuk selingkuh! Dasar orang-orang aneh!"
Aura menekan tombol “Lanjut” di aplikasi menulisnya, dan layar menampilkan notifikasi bab berhasil diunggah. Tangannya terkepal erat, bibirnya tergigit hingga meninggalkan bekas kemerahan. Air matanya hampir pecah, tapi ia menahannya dengan keras kepala.
"Aku, Aura. Seorang anak perempuan pertama dari keluarga miskin yang tidak bisa kuliah karena keluargaku miskin. Aku harus membuat novel sesuai template trend pasar agar bisa mendapatkan pundi-pundi uang. Kenapa nasibku sangat malang seperti ini?"
Tangannya gemetar saat keluar dari aplikasi novel online. Ia beralih ke media sosial, layar ponselnya segera dipenuhi dengan postingan tentang feminisme, kesetaraan gender, dan semangat perempuan yang bebas dari penindasan. Semuanya terasa ironis baginya, bagai cambukan yang mengingatkan betapa jauh dirinya dari kebebasan itu.
"Aku yang maniak gerakan feminists dan kesetaraan gender ini harus membuat novel berjudul 'Penderitaan Seorang Wanita' yang bercerita tentang seorang istri yang suaminya berselingkuh dengan gadis muda. Konsepnya bagaimana?"
Kali ini suaranya meninggi, hampir seperti teriakan. Kata-kata itu langsung mengundang bentakan keras. Pintu kamar terbuka begitu kasar hingga membentur dinding. Seorang wanita paruh baya berdiri di ambang pintu. Ibunya, dengan wajah marah dan tatapan menusuk.
"Jangan berisik, Aura! Adikmu sedang tidur! Besok adik-adikmu sekolah, ibu juga harus mengantar adikmu sekolah dan ayahmu harus bekerja! Kami bukan pengangguran tidak berguna seperti dirimu!"
Pintu ditutup kembali dengan bantingan keras, meninggalkan gaung yang memekakkan telinga. Air mata Aura akhirnya pecah, mengalir deras di pipinya. Ia jatuh terduduk, lalu menyandarkan kepalanya di bantal. Isakannya teredam, tapi air matanya merembes membasahi sarung bantal yang sudah kusam.
"Kenapa aku harus terlahir sebagai kakak pertama perempuan di keluarga miskin? Andai saja aku bisa jadi Aurora, pasti itu akan jauh lebih baik. Aku bisa kuliah jurusan manajemen bisnis. Tapi ya, itu tidak mungkin. Tidak ada isekai atau transmigrasi di dunia ini. Sudahlah."
Matanya terasa berat. Kelopak matanya perlahan tertutup, dan dunia nyata memudar, digantikan oleh kegelapan yang pekat. Nafasnya melambat, tubuhnya pasrah terhanyut dalam mimpi.
Namun, saat kedua matanya kembali terbuka, Aura membelalak kaget. Ia tidak lagi berada di kamarnya yang sempit. Di depannya, terlihat seorang wanita paruh baya dengan ekspresi getir, dan suasana sekitar adalah sebuah restoran mewah yang asing baginya. Lampu gantung kristal berkilau di atas kepala, lantai marmer berkilat, dan bau anggur mahal menyeruak ke hidungnya.
Aura menunduk, dan jantungnya berdetak keras. Kukunya ... bercat merah menyala. Bukan kukunya yang polos dan kusam.
Batin Aura langsung meledak.
'What the fuck, man? Watashi really isekai jadi vilain, tidak tuh?'