NovelToon NovelToon
Istri Pesanan Miliarder

Istri Pesanan Miliarder

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Crazy Rich/Konglomerat / Mengubah Takdir
Popularitas:6.2k
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Zayn Alvaro, pewaris tunggal berusia 28 tahun, tampan, kaya raya, dan dingin bak batu. Sejak kecil ia hidup tanpa kasih sayang orang tua, hanya ditemani kesepian dan harta yang tak ada habisnya. Cinta? Ia pernah hampir percaya—tapi gadis yang disayanginya ternyata ular berbisa.
Hingga suatu hari, asistennya datang dengan tawaran tak terduga: seorang gadis desa lugu yang bersedia menikah dengan Zayn… demi mahar yang tak terhingga. Gadis polos itu menerima, bukan karena cinta, melainkan karena uang yang dijanjikan.
Bagi Zayn, ini hanya soal perjanjian: ia butuh istri untuk melengkapi hidup, bukan untuk mengisi hati. Tapi semakin hari, kehadiran gadis sederhana itu mulai mengguncang tembok dingin di dalam dirinya.
Mampukah pernikahan yang lahir dari “pesanan” berubah menjadi cinta yang sesungguhnya? Ataukah keduanya akan tetap terjebak dalam ikatan tanpa hati?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Racun halus

POV Omar

Omar berdiri di dekat mobil hitam yang diparkir beberapa blok dari kediaman Zayn. Ia merogoh saku jasnya, mengeluarkan rokok tipis, lalu menyalakannya perlahan. Asap putih membubung, menyamarkan senyum liciknya.

Tatapannya tidak pernah lepas dari rumah megah itu di kejauhan. “Kau terlalu waspada, Zayn,” gumamnya. “Tapi semua orang punya celah.”

Kilasan pertemuannya dengan Lucas kemarin terputar kembali di kepalanya. Mereka duduk berseberangan di sebuah lounge hotel yang cukup sepi. Lucas, dengan senyum angkuh khasnya, menyodorkan segelas anggur merah.

“Kerjasama ini akan menguntungkan kita berdua, Omar,” ujar Lucas, suaranya penuh keyakinan. “Aku butuh seseorang yang bisa bermain di balik layar. Seseorang yang bisa meracuni tanpa harus terlihat sedang meracuni.”

Omar tertawa kecil, nada suaranya serak namun penuh kepastian. “Kau datang pada orang yang tepat. Racun bukan selalu untuk membunuh, Lucas. Terkadang cukup untuk melemahkan, membuat orang meragukan dirinya sendiri, bahkan menggiring target pada jurang kehancurannya.”

Lucas mencondongkan tubuhnya, menatap Omar dengan mata menyala-nyala. “Dan target kita jelas. Zayn.”

Nama itu diucapkan dengan penuh kebencian. Omar hanya mengangguk tipis.

Ia membuka sebuah kotak kecil di meja, memperlihatkan beberapa vial bening berisi cairan dengan warna samar. “Ini racun halus. Tidak langsung mematikan, tapi cukup membuat tubuh kacau. Mengganggu pencernaan, saraf, atau bahkan hanya membuat paranoia. Kau bisa pilih hasilnya.”

Lucas menatap vial itu seolah sedang menatap senjata pamungkas. “Lalu apa rencanamu untuk pertama kali?”

Omar menyeringai, mengingat kembali tas kecil yang tadi dibawanya ke rumah Zayn. “Camilan itu bukan sekadar buah tangan. Aku ingin menguji… seberapa sigap pelayannya. Jika mereka lalai, maka malam ini akan jadi langkah pertama. Jika tidak—aku tahu aku harus bermain lebih dalam.”

Lucas mengangkat gelas anggurnya, menahan senyum. “Aku menyukai caramu bermain. Kita jatuhkan Zayn perlahan. Hingga semua yang ia miliki runtuh satu per satu.”

Mereka bersulang, bunyi gelas kaca beradu terdengar dingin di ruangan remang.

.....

Kini, Omar berdiri di dekat mobil, dirinya kembali terkekeh pelan. Ia sudah bisa membaca sedikit banyak dari tatapan Zayn. Pria itu tidak mudah dikelabui. Tapi semakin sulit target, semakin menarik permainan ini baginya.

Ia menginjak puntung rokoknya, lalu masuk ke dalam mobil. Di kursi belakang, sebuah kotak kecil lain tersimpan rapih. Kotak yang isinya jauh lebih berbahaya daripada sekadar camilan yang tadi ia bawa.

“Bersiaplah, Zayn,” bisiknya lirih. “Permainan baru saja dimulai.”

Mobil hitam itu pun melaju meninggalkan jalanan sepi, menyisakan hawa dingin dan bayangan ancaman yang kian nyata.

______________________________________________

Arvin berdiri kaku di ruang tamu, wajahnya menyiratkan keseriusan yang tidak biasa. Begitu Omar pergi, ia menunggu momen yang tepat untuk bicara. Tatapannya sesekali bergeser ke arah Alisha yang duduk di samping Zayn.

“Tuan, saya perlu bicara berdua saja dengan Tuan,” ujar Arvin hati-hati. Nada suaranya penuh pertimbangan, jelas ia tak ingin menyinggung Nyonya rumah.

Alisha yang mendengar itu spontan mengernyit. “Berdua saja? Kenapa? Apa ada hal yang tidak boleh aku dengar, Arvin?” suaranya datar tapi tajam, menuntut kejelasan.

Zayn melirik sebentar istrinya, lalu kembali menatap Arvin. “Katakan saja di sini. Aku tak punya rahasia dari istriku.”

Arvin menghela napas kecil, lalu menunduk hormat. “Baik, Tuan.” Ia menurunkan suara, tapi cukup jelas terdengar. “Mengenai camilan yang tadi dibawa tamu itu… hasil uji awal menunjukkan adanya kandungan yang tidak seharusnya ada di dalamnya. Tidak mematikan, tapi jelas bukan bahan makanan biasa. Seperti ada jejak zat tertentu yang dirancang untuk melemahkan tubuh secara perlahan.”

Alisha terperanjat, matanya membesar. “Astaga…”

Zayn menepuk punggung tangannya pelan, memberi sinyal agar tetap tenang. Tatapan matanya berubah dingin. “Arvin, ikut aku ke ruang kerja. Kita bahas ini lebih dalam.”

Arvin mengangguk, sementara Alisha langsung menatap Zayn dengan raut cemas. “Lalu aku?”

“Kau… ke kamar Bima. Cek keadaannya. Aku khawatir dia mendengar suara-suara tadi,” ujar Zayn lembut namun tegas.

Alisha ingin membantah, tapi akhirnya menurut. Ia melangkah menuju kmar adiknya, meninggalkan suaminya dengan Arvin.

___

Alisha mendorong pintu kamar perlahan. Lampu redup menyambutnya, dan di ranjang, Bima sudah membuka mata. Anak itu tampak lebih segar dibanding siang tadi, pipinya sedikit berwarna.

“Bima… kau sudah bangun?” Alisha tersenyum lega sambil menghampiri.

Bima mengangguk kecil, suaranya serak. “Aku haus, Mbak.”

Alisha segera menuangkan air putih, membantu adiknya minum perlahan. Setelah itu, ia duduk di tepi ranjang, menatap wajah adiknya yang lebih segar. “Syukurlah. Mbak sempat khawatir tadi.”

Bima tersenyum tipis. “Aku sudah jauh lebih baik, Mbak.”

Spontan, Alisha mengeluarkan ponselnya. “Kita video call Ibu, ya? Agar ibu lihat kalau kau sudah membaik.”

Bima mengangguk semangat. Tak lama, wajah Ibu mereka muncul di layar. Wanita paruh baya itu terperangah bahagia melihat kondisi putranya.

“Syukurlah… Bima terlihat lebih sehat, Nak. Wajahmu segar sekali,” suara ibu bergetar, setengah menangis lega.

Bima tersenyum lebih lebar, meski masih lemah, mungkin lelah. “Ibu tidak perlu khawatir. Aku akan cepat sembuh. Ada Mbak Alisha dan Kak Zayn di sini.”

Alisha menambahkan dengan suara ceria, berusaha menenangkan. “Betul, Bu. Bima sudah bisa senyum lagi. Siang tadi kami berkeliling mall, dan ibu lihat, Bima tampak baik-baik saja. Jadi Ibu tenang, ya.”

Ibu mereka mengangguk sambil menyeka mata. “Kalian berdua kuat sekali. Ibu bangga.”

Suasana kamar sejenak hangat, penuh rasa syukur, seakan badai yang mengancam di bawah sedang ditahan oleh kasih sayang keluarga.

_____

Pintu kayu berat itu tertutup rapat. Aroma khas ruang kerja Zayn—campuran kulit buku tua dan wangi samar tembakau yang jarang disentuh—mengisi udara. Lampu meja menyala redup, menyorot wajah Zayn yang duduk di kursi kerjanya dengan ekspresi mengeras.

Arvin berdiri tegak di hadapan tuannya, tangan bersedekap di belakang punggung. Sesaat, hening panjang melingkupi ruangan, sebelum Zayn akhirnya membuka suara.

“Jadi, camilan itu benar-benar sudah dicampur sesuatu?” tanyanya dengan suara rendah, dalam, nyaris bergemuruh.

Arvin mengangguk mantap. “Ya, Tuan. Zat yang saya temukan mirip dengan ekstrak tumbuhan tropis tertentu, biasanya digunakan sebagai obat bius ringan atau racun lambat. Tidak membuat korban langsung tumbang, tapi akan mengikis daya tahan tubuh jika dikonsumsi berulang.”

Zayn mengetukkan jarinya di atas meja, ritme pelan yang penuh tekanan. “Omar datang membawa hadiah manis, padahal itu racun. Dengan senyum di wajahnya seakan tak bersalah.”

Arvin menunduk sedikit. “Saya curiga, Tuan. Kemungkinan orang itu tidak bergerak sendirian. Cara mencampur zat seperti itu… sangat ahli. Bukan sembarang orang bisa.”

Mata Zayn menyipit. “Kau ingin mengatakan, ada pihak lain di balik Omar?”

Arvin menghela napas, lalu mengangguk. “Kemungkinan besar. Dan kita tidak boleh meremehkannya. Orang itu bukan sekadar pesaing bisnis, melainkan ancaman.”

Zayn terdiam lama, wajahnya menegang. Bayangan tatapan tipis Omar saat menatap Alisha tadi sore kembali terlintas di benaknya. Ada sesuatu dalam senyum itu—bukan sekadar basa-basi sopan.

“Dia menatap Alisha dengan cara berbeda,” gumam Zayn akhirnya. “Seperti menilai sesuatu yang bukan haknya. Itu cukup bagiku untuk menandai Omar bukan sekadar tamu tak sopan, tapi musuh.”

Arvin mendongak sedikit, memperhatikan perubahan ekspresi Tuannya. “Apa langkah kita setelah ini, Tuan?”

Zayn bersandar pada kursi, kedua tangannya bersilang di depan dada. Aura dingin menyelubungi dirinya, membuat ruangan semakin menegangkan.

“Kita tidak akan gegabah,” jawabnya perlahan. “Aku ingin kau selidiki latar belakang Omar. Semua transaksi, semua relasi, hingga orang-orang yang ia temui akhir-akhir ini. Jika dia bersekutu dengan seseorang, kita harus tahu siapa dia.”

“Baik, Tuan.”

Zayn mencondongkan tubuh sedikit, menatap Arvin tajam. “Dan pastikan semua makanan, minuman, bahkan udara yang masuk ke rumah ini dalam pengawasanmu. Aku tidak ingin ada celah sekecil apa pun. Terutama… untuk Alisha dan Bima.”

Arvin mengangguk penuh keyakinan. “Saya mengerti, Tuan. Saya akan menambah lapis pengawasan di dapur dan jalur distribusi bahan makanan. Saya pastika tidak akan ada yang lolos.”

Suasana hening sejenak, hanya detak jam dinding yang terdengar.

Zayn lalu menambahkan dengan nada lebih rendah, nyaris berbisik. “Jika terbukti Omar sengaja mencoba menjatuhkan kita… aku tidak akan ragu memberi balasan. Dia akan menyesal pernah melangkahkan kaki ke rumah ini.”

Tatapan Arvin mengeras, meski ia tetap menjaga ekspresi netral. “Saya siap, Tuan.”

Zayn menegakkan tubuhnya kembali, lalu berdiri. “Baik. Pergilah sekarang, mulai jalankan apa yang harus kau lakukan. Dan pastikan… Alisha tidak pernah merasa cemas. Biarkan aku yang menanggung bebannya.”

Arvin membungkuk hormat. “Siap, Tuan.”

Ia pun melangkah keluar, meninggalkan Zayn seorang diri di ruang kerja.

.....

Zayn menatap kaca jendela besar, melihat bayangan dirinya yang berdiri dalam cahaya temaram. Suasana hatinya bagai bara dalam sekam. Di satu sisi, ia ingin menguliti rahasia Omar sampai habis. Di sisi lain, ada rasa dingin menjalar setiap kali mengingat senyum tipis pria itu yang terarah pada Alisha.

Tangan Zayn mengepal. "Aku tidak akan biarkan siapa pun menyentuh keluargaku. Tidak Omar, tidak siapa pun.".

1
Lisa
Benar² kejam Omar & Lucas itu..menghilangkan nyawa org dgn seenaknya..pasti Tuhan membls semua perbuatan kalian..utk Alisha & Bima yg kuat & tabah ya..ada Zayn,Juna, Arvin yg selalu ada di samping kalian..
Lisa
Ya Tuhan sembuhkan Ibunya Alisha..nyatakan mujizatMu..
Lisa
Makin seru nih..ayo Zayn serang balik si Omar & Lucas itu..
Lisa
Ceritanya menarik
Lisa
Semangat y Zayn..lawan si Omar & Lucas itu..lindungi Alisha & Bima..
Lisa
Selalu ada pengganggu..ayo Zayn ambil sikap tegas terhadap Clarisa
Lisa
Moga lama² Zayn jatuh cinta pada Alisha..
Lisa
Ceritanya menarik nih..
Lisa
Aku mampir Kak
Stacy Agalia: terimakasiiihh🥰
total 1 replies
Amora
lanjut thor, semangaaatt
Stacy Agalia: terimakasiiiiih🥰
total 1 replies
Stacy Agalia
menarik ceritanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!