"Pasar tidak mengenal itu, hutang tetaplah hutang"
"Kalau anda manusia, beri kami sedikit waktu"
"Kau terlalu berani Signorina Ricci"
"Aku bukan mainan mu"
"Aku yang punya kendali atas dirimu"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Saskya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aurel, Mommy Val & Aurora
Aureliany Valente keluar dari ruangan Kairos dengan langkah ringan, namun tatapannya menyimpan sesuatu yang tak mudah ditebak.
Begitu pintu ruang CEO tertutup di belakangnya, ia berhenti sejenak, netranya menelusuri ruangan sekitar.
Aurel merogoh ponselnya, lalu menekan nama yang sudah ia hafal di luar kepala.
“Samuel,” suaranya terdengar dingin tapi santai, “semalam Kairos pulang ke mansion kalian ga?”
Di seberang sana, suara adik Kairos terdengar jelas.
“Gak pulang dia, kenapa nanya ini?”
Aurel menekan ujung bibirnya “nothing.”
Tanpa penjelasan lebih lanjut, ia menutup panggilan begitu saja. Ponsel masuk kembali ke dalam tas kulit mewahnya, lalu ia bergegas menuju Porsche merah yang terparkir elegan di bawah gedung.
"Let's start it from the penthouse." Ucap Aurel dengan seulas senyum yang terukir di wajahnya.
_________________________________________________
Aurora baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih lembap dan tergerai, handuk kecil ia gunakan untuk mengeringkannya pelan. Sepasang stelan yang dipesan Kairos terlihat pas ditubuhnya.
Ia duduk sejenak di tepi ranjang, meraih ponsel yang disandarkan di atas meja kecil. Layar menyala, menampilkan wajah Luna, sahabatnya sejak kuliah yang tampak ceria dengan rambut diikat tinggi.
“Finally! Aku hampir nyerah kalau kamu nggak angkat juga,” suara Luna riang, kontras dengan wajah Aurora yang tampak letih.
Aurora tersenyum samar, menekan handuk ke ujung rambutnya. “Sorry, aku baru selesai mandi.”
“Terus? Kamu nggak ke sekolah hari ini?” tanya Luna sambil memiringkan kepala.
Aurora menghela napas pelan, pandangannya jatuh pada ujung rok kemeja yang ia genggam erat.
“Aku belum bisa, Lun. Ada masalah keluarga yang harus aku urus dulu.”
Alis Luna berkerut. “Masalah keluarga lagi? Kamu serius baik-baik aja, kan?”
Aurora mencoba tersenyum, tapi hanya berhasil mengangkat sedikit sudut bibirnya.
“Aku nggak bisa jelasin sekarang. Pokoknya, aku bakal cerita kalau semuanya udah tenang.”
Luna terdiam sesaat, lalu mengangguk kecil, meski jelas masih khawatir. “Oke. Tapi jangan dipendem sendiri, ya. Kamu selalu bisa hubungin aku kapan pun.”
Aurora mengangguk. “Makasih, Lun.”
Panggilan itu ia akhiri dengan hati yang terasa sedikit lebih ringan, walau kecemasan masih menempel kuat. Ia bangkit, berjalan keluar dari kamar menuju dapur penthouse.
Suara langkahnya pelan di atas lantai marmer. Setibanya di dapur, ia menuang segelas air dan meneguknya perlahan, mencoba menenangkan diri.
“Excuse me…”
Aurora menoleh, dan matanya langsung bertemu dengan tatapan seorang wanita elegan, Aureliany Valente.
Untuk sepersekian detik, Aurel hanya mengamati.
Alisnya terangkat, matanya menilai cepat dari ujung kepala hingga kaki.
"Aurora Ricci?" kata Aurel tepat sasaran.
Senyum smirk itu kembali muncul di wajah Aureliany Valente.
“Menarik,” ucapnya lirih, seakan sedang menimbang-nimbang wajah baru yang tak ia prediksi akan muncul di wilayah teritori Kairos. Ia mengetik sebuah pesan singkat.
...Aunty Valeria...
^^^Aunty, ke penthouse Kai sekarang. Disini ada seorang gadis.^^^
Send.
_______________________________________________________
Aurel duduk santai di sofa, kaki bersilang rapi, jemarinya membelai gagang cangkir kopi yang masih mengepulkan aroma hangat. Pandangannya tajam tapi dibungkus senyum tipis.
“Jadi,” suara Aurel terdengar tenang, tapi penuh tuntutan jawaban, “sejak kapan elo kenal Kairos?”
Aurora menunduk sejenak, jemarinya meremas ujung rok tanpa sadar. Ia ingin berdiri, ingin kabur dari ruang yang membuat napasnya terasa sesak ini.
Tapi bayangan Papa dan Mamanya, Ava, rumah mereka yang bisa saja diratakan kapan pun Kairos menginginkannya membuat langkahnya berat.
“Tidak lama,” jawab Aurora pelan. “Aku hanya... mengenalnya karena keadaan.”
Aurel mengangkat alis, matanya menyipit penuh rasa ingin tahu.
“Keadaan? Hmm. Bukan jawaban yang memuaskan. Seberapa jauh hubungan kalian? Kau tinggal di sini? Atau hanya kebetulan pagi ini aku melihatmu di dapurnya?”
Aurora menggigit bibir bawahnya, hatinya berdebar keras. Ia ingin menolak, ingin berkata kalau semua ini salah, tapi ketakutan menahan suaranya.
"Dengar, gua tau bagaimana sikap Kairos yang orang lain gak tahu." Ucap aurel.
"Ada sesuatu yang membuatnya membawa lo ke sini, dan elo harus cerita ke gua."
Aurora mengangkat wajah perlahan, menatap Aurel dengan sorot mata yang samar—ada keraguan, tapi juga secercah harapan tipis.
“Tidak seperti yang ada di bayanganmu Nona,” ucapnya akhirnya.
“Aku tidak memilih berada di sini. Aku hanya… tidak punya jalan keluar.”
Aurel memiringkan kepala, seolah menilai apakah kata-kata itu jujur atau hanya dalih. Ia mencondongkan tubuh, suaranya lebih lembut namun menusuk.
“Tidak punya jalan keluar dari Kairos… atau dari dirimu sendiri?”
Aurora terdiam. Ada dorongan untuk berkata lebih banyak—mungkin meminta perlindungan, mungkin hanya sekadar menumpahkan rasa takut. Tapi lidahnya kelu.
Senyum tipis kembali muncul di wajah Aurel, kali ini bukan smirk penuh ejekan, melainkan lebih seperti seseorang yang baru saja menemukan celah.
Aurel masih menatap Aurora dengan sorot mata penuh tanda tanya, senyum samar tersungging di bibirnya.
Atmosfer ruangan seperti ditarik semakin kencang, seakan udara menjadi tipis. Aurora nyaris kehilangan suara, jemarinya bergetar halus saat ia meremas roknya.
Namun sebelum Aurel sempat menekan dengan pertanyaan berikutnya, suara pintu utama berderit pelan. Aroma parfum lembut bercampur bunga segar masuk bersama langkah anggun seorang wanita.
"Aurel sayang."
Aurora sontak menoleh. Seorang wanita berambut hitam yang ditata rapi, mengenakan dress elegan berwarna krem, melangkah masuk dengan senyum tulus.
Valeria .
Tatapannya segera menemukan Aurora. Senyum Valeria melembut, penuh rasa ingin tahu.
Aurora bangkit setengah, gugup. “S-selamat siang”
Valeria mengangkat tangan, menghentikan kegugupan itu.
“Oh, tak perlu segan. Jadi ini yang belakangan sering dekat dengan Kairos?” Nada suaranya ringan, tapi penuh kehangatan. Ia mendekat, menepuk lembut bahu Aurora.
Aurora makin salah tingkah, sementara Aurel menatap dengan ekspresi setengah geli.
Valeria terkekeh kecil.
“Akhirnya… aku bisa lihat dengan mata kepalaku sendiri. Kukira Kairos itu akan selamanya dingin, keras kepala, hanya sibuk dengan urusan bisnis."
Valeria tersenyum hangat
"Aku sudah sering bilang padanya—hidup ini terlalu singkat untuk dijalani kaku begitu."
Aurora hanya bisa menunduk, jantungnya berdetak cepat. Ia tak tahu harus tersenyum, menyangkal, atau sekadar diam.
Aurel menyandarkan tubuh ke kursi, matanya berkilat geli. “Sepertinya Kairos menyembunyikan banyak hal dari kita semua.”
Valeria tersenyum samar, lalu menepuk pipi Aurora dengan lembut.
“Jangan takut, sayang. Kalau memang kamu ada di sisinya… aku justru senang. Semoga kamu bisa membuatnya lebih manusiawi.”
Aurora terdiam.
tbc🐼