Sebuah pernikahan tanpa cinta, membuat Rosalina harus menelan pil pahit, karena ia sama sekali tidak dihargai oleh suaminya.
Belum lagi ia harus mendapat desakan dari Ibu mertuanya, yang menginginkan agar dirinya cepat hamil.
Disaat itu pula, ia malah menemukan sebuah fakta, jika suaminya itu memiliki wanita idaman lain.
Yang membuat suaminya tidak pernah menyentuhnya sekalipun, bahkan diusia pernikahan mereka yang sudah berjalan satu tahun.
Akankah Rosalina sanggup mempertahankan rumah tangganya dengan sang suami, atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilma Naura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perang mulut.
"Mbak Sri!" suara Raka terdengar meninggi, membuat ruangan itu mendadak menjadi hening.
"Mulutnya itu dijaga ya? Jangan asal nyeplos seenaknya. Kalau Mbak Sri masih berani ngomong ngawur lagi, saya nggak segan-segan ngurung Mbak Sri di kandang sapi milik tetangga! Biar sekalian cocok sama mulutnya yang bau kandang, dan suka ngomong seenaknya!"
Rosalina langsung terbelalak, tapi ia buru-buru menunduk meskipun wajahnya sudah semakin merah padam.
Sementara Anindya malah menutup mulutnya dengan tangan, akibat berusaha keras menahan tawanya yang nyaris meledak.
Namun sebaliknya, Mbak Sri justru tidak merasa takut sedikit pun pada Raka. Perempuan paruh baya itu menatap Raka dengan santai, lalu menangkupkan kedua tangannya di pinggang.
"Lho, Mas… Mas ini kok tega banget sama saya? Wong saya cuma ngomong jujur. Apa salahnya sih kalau saya bilang cocok? Memangnya salah kalau orang bilang langit itu berwarna biru? Atau salah juga kalau saya bilang nasi itu berwarna putih? Coba sekarang Mas jawab saya, salahnya di mana coba?"
Raka mendengus keras mendengar pertanyaan Mbak Sri, sebelum kemudian ia kembali berkata...
"Salahnya itu ya dimulut Mbak Sri yang terlalu lancang kalau bicara! Sudah tahu saya nggak suka, malah makin menjadi. Saya hitung sampai tiga, kalau Mbak Sri masih berani nyerocos juga, maka saya benaran bersumpah kalau saya akan menyeret Mbak Sri ke kandang sapi! Apa mau dicoba?"
Mbak Sri malah menepuk-nepuk dadanya sendiri, dengan wajah yang penuh tantangan.
"Coba! Ayo, coba kalau memang Mas Raka berani! Saya mau lihat, berani nggak Mas Raka menyeret saya di depan Ibu Anindya. Wong dari kecil aja Mas Raka nggak pernah bisa ngelawan Ibunya sendiri. Apalagi sama saya? Halah, omong doang! Ayoo... coba kalau berani... Saya masih nungguin disini lho."
"Mbak Sriii!" teriak Raka dengan suara keras saking kesalnya. Ia bahkan sampai mendorong kursinya ke belakang, dan berniat berdiri.
Melihat hal itu Rosalina langsung menegakkan tubuhnya, dan wajah pucatnya pun terlihat semakin panik. Tidak lama kemudian, Ia menoleh ke arah Anindya seraya menatap perempuan paruh baya itu, dengan perasaan bingung.
Namun Anindya sendiri, alih-alih ikut menengahi, justru ia tertawa terpingkal-pingkal sampai matanya berair.
"Hahaha! Astaga… Raka, Raka… Mama benar-benar nggak kuat melihat kamu digojlok sama Mbak Sri terus. Wajah kamu itu loh, kayak mau perang dunia aja."
"Mama!" protes Raka, wajahnya semakin terlihat memerah.
"Ini bukan lagi main-main! Mbak Sri itu sudah kebangetan! Mulutnya seenaknya ngomong nggak jelas. Aku bisa gila kalau tiap hari mendengar ocehan yang model begitu!"
Tapi saat itu juga Mbak Sri langsung menyambar, dengan nada suaranya yang dibuat-buat sedramatis mungkin.
"Lho, Mas Raka jangan lebay ah! Baru saya goda dikit aja udah panik setengah mati. Padahal saya tuh niatnya baik, lho. Biar suasana dimeja makan ini nggak dingin kayak difreezer. Kalau cuma pada diem-dieman aja, saya takut nanti rotinya bisa ikut beku."
Rosalina menutup wajahnya dengan kedua tangan, karena berusaha menyembunyikan rona merah diwajahnya yang tidak kunjung hilang. Jantungnya berdegup kencang antara malu, geli, sekaligus bingung menghadapi suasana yang benar-benar asing baginya.
Sementara itu, Raka sudah menepukkan telapak tangannya ke meja, membuat gelas berisi air dihadapannya berguncang.
"Sudah! Mulai sekarang, Mbak Sri kalau ngomong harus disaring dulu. Kalau mulutnya masih nyerocos, saya sumpah bakal bener-bener mengurung Mbak Sri di kandang sapi. Jangan salahkan saya nanti kalau baju Mbak Sri jadi bau kotoran sapi!"
Namun Mbak Sri tetap tidak gentar meskipun melihat wajah Raka yang sudah memerah karena amarah, Ia malah menyeringai lebar sambil menepuk-nepuk bahunya sendiri.
"Halah, Mas… jangankan kandang sapi, dikurung di kandang harimau pun saya nggak takut. Apalagi cuma sapi tetangga. Wong tiap hari juga saya udah biasa ngadepin singa galak yang namanya Mas Raka. Jadi sapi mah nggak ada apa-apanya!"
Kalimat itu sukses membuat Anindya benar-benar tergelak sampai harus memegangi perutnya.
"Ya ampun, Sri… kamu ini kalau ngelawan Raka memang nggak ada tandingannya. Hahaha… Raka, coba lihat muka kamu sendiri sekarang di kaca, pasti warnanya udah merah seperti kepiting rebus."
“Mamaaa!” seru Raka dengan nada penuh frustrasi. Ia benar-benar tidak sanggup menghadapi dua perempuan yang sama-sama membuatnya kewalahan.
Rosalina, yang sedari tadi hanya diam dan menunduk, akhirnya memberanikan diri untuk melirik ke arah Raka. Sekilas ia melihat betapa tampannya pria itu bahkan saat sedang marah. Namun hatinya kembali bergetar, karena takut jika Raka tahu apa yang sedang ia pikirkan.
Sementara Mbak Sri masih saja berkacak pinggang sambil melontarkan ejekan terakhirnya.
"Jadi singkatnya begini ya, Mas? mulut saya ini memang cerewet, tapi hati saya baik. Kalau Mas nggak suka, ya silahkan aja Mas Raka marah. Tapi jangan mimpi bisa membuat mulut saya menjadi diam. Wong saya udah disuruh Ibu untuk menemani Rosalina, berarti saya harus membuat suasana menjadi enak. Nah, kalau Mas memang benar-benar nggak terima, ya silakan protes sama Ibu. Jangan sama saya."
Raka hanya bisa menggeram pelan, akibat menahan diri agar tidak semakin emosi. Beberapa saat kemudian ia kembali menjatuhkan dirinya di kursi, dan mengambil roti dengan gerakan kasar, lalu mengigitnya dengan penuh amarah.
Anindya yang masih terkekeh akhirnya menepuk punggung putranya dengan lembut.
"Sudah, Raka. Jangan terlalu keras meladeni Mbak Sri. Yang ada nanti kamu malah nggak jadi berangkat kekantor, karena berdebat sama dia. Memang kapan sih kamu itu pernah menang dalam menyeimbangi mulut pedasnya Mbak Sri? Kan memang hampir setiap hari dia itu membuat kamu merasa jengkel sendiri."
Mendengar hal itu, Raka pun mendengus pelan, sementara Mbak Sri hanya cengengesan puas, sesekali ia juga terlihat menjulurkan lidahnya kearah Raka, membuat pria tampan itu semakin gemas dan mengunyah roti yang ada didalam mulutnya dengan gerakan cepat.
Suasana dimeja makan pun kembali hidup, meskipun Rosalina masih terlihat menunduk untuk menutupi rasa malunya yang semakin menjadi.
*****
Handrian terlihat mondar mandir dikoridor rumah sakit, dengan sesekali melirik keujung lorong, dan berharap bahwa Rosalina akan kembali keruangan dimana ia dirawat.
Sudah dari semalam pria itu merasa gusar karena kepergian Rosalina. Apalagi setelah mencari dijalanan, ia juga tidak menemukan dimana keberadaan istrinya itu.
Pria tampan bertubuh atletis tersebut hanya bisa menyugar rambutnya dengan kasar, sambil menangis dalam diam.
"Ya Allah, Lina! Kamu itu sebenarnya pergi kemana? Kenapa kamu meninggalkan rumah sakit ini dalam keadaanmu seperti itu! Aku takut, sayang. Aku benar-benar takut jika aku tidak akan bertemu denganmu lagi." ujar Handrian dengan air mata yang mengalir dipipinya.
Sementara itu, Bu Norma yang sedang duduk dan tertidur dikursi yang ada diruang tunggu pun, mengerjapkan bola matanya dengan pelan.
Kemudian ia melirik kearah Handrian yang terlihat frustasi. Ternyata wanita itu juga harus tertidur dirumah sakit, akibat putranya yang tidak mau pulang.
Dengan menggeleng-gelengkan kepalanya, ia pun berkata pada putranya, yang membuat Handrian langsung menoleh.
"Handrian! sampai kapan sih kita harus duduk dan menunggu istrimu disini seperti orang goblok? Sudah dari semalam Ibu bilang, kalau Rosalina itu tidak akan mungkin kembali lagi kesini! Dia memang benar-benar berniat meninggalkanmu. Dari pada kita terus duduk disini, lebih baik sekarang kita pulang, karena kamu butuh istirahat. Kamu juga tidak perlu lagi memikirkan istrimu yang tidak becus itu, apalagi sebentar lagi akan ada penggantinya, yang lebih layak, dan juga lebih pantas bersanding denganmu. Bukan seperti perempuan mandul itu."
Perkataan ibunya tersebut membuat Handrian menatap kearahnya.
Tapi ternyata, tatapan dari sang anak malah membuat Bu Norma semakin bersemangat untuk berbicara.
Sehingga ia pun menambahkan ucapan, yang membuat Handrian semakin mengusap wajahnya dengan kasar.
"Handrian, sekarang kamu itu berhak bahagia dengan hidupmu sendiri! Jadi jangan fikirkan lagi tentang perempuan miskin itu, dan biarkan saja dia pergi kemanapun dia mau."
"Cukup Bu!" ucap Handrian dengan suara yang lantang.
"Tolong jangan pernah berkata buruk lagi tentang Rosalina. Karena apa pun yang terjadi antara aku dan dia, Rosalina itu masih tetap istriku."
Bu Norma sempat tersentak kaget mendengar bentakan dari Handrian. Senyum samar yang tadi menghiasi wajahnya perlahan memudar, dan berganti dengan raut wajah canggung.
Bu Norma juga mencoba untuk menyembunyikan rasa takut yang tiba-tiba menyesakkan dadanya
Dalam hati ia merasa sangat takut, jika Handrian benar-benar mengetahui semuanya? Bagaimana jika anaknya itu sadar bahwa dialah yang mendorong menantunya pergi? Seandainya hal itu terjadi, bukan tidak mungkin hubungan ibu dan anak akan retak.
Namun di sisi lain, ada kelegaan samar yang tidak bisa ia ingkari. karena dengan kepergian Rosalina, maka beban didalam hidupnya seolah telah tersingkirkan.
Dengan sedikit memiringkan sudut bibirnya, perempuan itu pun tersenyum sinis. Senyum yang sama sekali tidak diperhatikan oleh Handrian, karena sejak tadi ia malah menatap kearah lain.
Bersambung...