"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."
Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."
~ Serena Azura Auliana~
:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+
Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.
Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.
Adhan Zayn Daviandra
Adhan Zayn Daviandra. Nama yang terkesan unik dan juga memiliki makna yang luar biasa di baliknya. Nama itu diberikan oleh orang tuanya dengan harapan dan doa terbaik.
"Adhan" berasal dari bahasa Arab yang berarti panggilan atau seruan. "Zayn" yang juga berasal dari bahasa Arab, memiliki arti keindahan, kebaikan, atau perhiasan. Lalu yang terakhir, "Daviandra" merupakan gabungan dari Davi, yang berarti yang dikasihi atau dicintai, dan Andra, yang berarti gagah berani atau pejuang. Tapi Daviandra juga gabungan dari nama kedua orang tuanya yang saling mencintai, yaitu David dan Mutiara.
Secara keseluruhan, Adhan Zayn Daviandra menggambarkan seseorang yang memiliki jiwa pemimpin yang menginspirasi, senantiasa menyerukan kepada kebaikan, memiliki akhlak yang terpuji dan penuh kebaikan, serta berani dan dapat diandalkan.
Nama adalah anugerah, warisan terbaik yang diberikan orang tua kepada anaknya. Bagi Adhan, nama itu menjadi pengingat akan cinta dan kasih sayang yang pernah ia miliki—setidaknya hingga insiden berdarah itu merenggut seluruh kebahagiaannya.
Malam itu, Adhan melihat segalanya, menjadi satu-satunya saksi sekaligus korban yang masih hidup. Dia ingat betul, saat ibunya berteriak dengan penuh ketakutan, tubuhnya gemetar saat memeluk Adhan kecil.
Di sisi lain, sang ayah juga berjuang untuk melindungi mereka, namun semua itu berakhir saat suara dentingan besi disambut dengan hempasan tubuh ke tanah yang membuat bulu kuduk merinding.
Seketika, bau anyir menyeruak. Darah ayah dan ibunya yang tertembak mengalir di jalanan, membentuk genangan gelap yang menelan cahaya lampu jalan. Dunia kecil Adhan runtuh dalam sekejap mata.
Sejak kejadian itu, kepribadian Adhan berubah total. Dia bukan lagi anak yang sama. Keceriaan yang dulu menyertai langkahnya menghilang begitu saja tanpa jejak. Dia menjadi pendiam, tertutup, dan kerap terbangun di tengah malam dengan tubuh basah oleh keringat dingin. Dalam tidurnya, dia selalu seolah kembali ke malam itu, melihat sosok orang tuanya terbujur kaku, dan merasakan ketakutan yang sama berulang kali.
Merasa khawatir dengan kondisi keponakannya, Rangga—paman Adhan sekaligus adik dari ibunya—segera membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut. Setelah pemeriksaan, dokter mendiagnosis Adhan dengan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder).
Rangga duduk di ruang konsultasi, tangannya tak bisa diam sejak tadi. Di seberangnya, duduk seorang dokter yang sudah cukup berumur. Dokter itu memegang berkas yang menggambarkan kondisi Adhan, dan Rangga tidak sabar mendengarkan hasilnya.
"Bisa bantu jelaskan, apa yang terjadi dengan keponakan saya, Dok?" tanya Rangga, memulai percakapan dengan raut wajah khawatir.
"Jadi, begini, Pak. Setelah pemeriksaan, kami menemukan bahwa Adhan mengalami PTSD, atau Post-Traumatic Stress Disorder. Ini adalah kondisi yang muncul setelah seseorang mengalami kejadian traumatis."
Rangga mengangguk pelan, matanya tak lepas dari dokter. "Iya, Dok. Saya perhatikan dia sering kaget kalau ada suara keras, atau kadang tiba-tiba ketakutan sendiri. Apa itu karena PTSD?"
"Betul sekali," jawab dokter sambil mengangguk. "Gejala seperti itu memang khas untuk PTSD. Otaknya seolah 'terjebak' dalam momen traumatis itu, jadi hal-hal kecil bisa memicu reaksi yang berlebihan, seperti jantung berdebar kencang, napas terasa cepat, atau bahkan menyebabkan kepanikan yang tidak biasa."
Rangga menghela napas, wajahnya terlihat sedih setelah mendengar fakta tersebut.
"Apa yang harus kami lakukan, Dok? Saya tidak mau dia terus-terusan seperti ini."
"Pertama, Adhan perlu menjalani terapi rutin. Kami akan merujuknya ke psikolog atau terapis yang bisa membantunya memproses trauma itu. Ini proses yang bertahap, jadi butuh waktu dan kesabaran."
"Terapi itu seperti apa, Dok? Apa dia harus minum obat?"
"Tidak selalu," jawab dokter. "Terapi bisa berupa sesi konseling, di mana pasien akan diajak bicara tentang perasaannya dan diajari cara mengelola kecemasan. Kalau memang diperlukan, kami bisa pertimbangkan obat untuk membantu meredakan gejala, tapi itu nanti kita lihat perkembangannya dulu."
"Apa ada yang bisa kami lakukan saat di rumah, Dok? Saya ingin bantu semampu saya."
Dokter tersenyum, senang melihat ambisi Rangga demi kesehatan dan kesembuhan sang keponakan. "Tentu saja ada. Yang paling penting adalah memberikan dukungan emosional. Sebisa mungkin, ciptakan lingkungan yang tenang, aman, dan nyaman untuk Adhan. Jangna memaksanya bicara apabila dia belum siap. Pastikan, dia tahu bahwa keluarganya selalu ada untuknya. Juga, coba hindari hal-hal yang bisa memicu reaksinya, seperti suara keras atau situasi yang terlalu chaos."
Rangga mengangguk, mengingat setiap detail yang disampaikan oleh sang dokter tanpa melewatkannya satu pun. "Baik, Dok. Saya akan usahakan. Tapi ... apa keponakan saya bisa sembuh sepenuhnya?"
Dokter menghela napas pelan. "PTSD itu seperti luka. Bisa sembuh, tapi mungkin akan tetap meninggalkan bekas. Ada banyak hal yang harus Adhan lakukan. Dengan dukungan yang tepat, saya yakin dia bisa melewati ini."
"Baik, Dok. Saya akan lakukan yang terbaik untuknya. Terima kasih banyak atas penjelasannya."
Dokter tersenyum dan berdiri, memberikan sepucuk kertas rujukan. "Sama-sama, Pak. Ini rujukan untuk terapisnya. Jangan ragu untuk kembali ke sini jika ada yang perlu ditanyakan lagi."
Rangga menerima kertas itu dengan hati-hati, lalu berjabat tangan dengan dokter. "Siap, Dok. Terima kasih sekali lagi."
Setelah konsultasi selesai dilakukan, Rangga langsung menghampiri Adhan yang duduk di kursi tamu, tubuh kecilnya terlihat kaku dan sorot matanya pun nampak kosong, seolah tak ada lagi cahaya kehidupan di dalam sosok yang rapuh itu. Hati Rangga seketika mencelos, dia tak sanggup melihat perubahan Adhan yang begitu kontras. Keceriaan yang selalu menyertai langkahnya, kini berubah menjadi kepedihan yang menyesakkan.
Perlahan, Rangga berjongkok di depan Adhan, posisinya sejajar dengan mata sang keponakan. Tangannya yang hangat mengelus pucuk kepala Adhan dengan lembut, mencoba menembus dinding keheningan yang menyelimuti anak itu.
"Adhan," panggil Rangga dengan pelan.
Adhan menanggapi panggilan itu, namun wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Di hadapannya, sang paman membeku, seolah terhipnotis oleh tatapan mata Adhan yang mengingatkannya pada sosok Lily.
Lily adalah kakak perempuan Rangga. Kedua mata mereka begitu mirip, seolah Rangga bisa melihat wujud Lily dalam diri Adhan. Melihat itu, tekad Rangga untuk melindungi dan menjaga Adhan semakin bulat. Karena Adhan adalah satu-satunya harta yang ditinggalkan oleh mendiang kakaknya.
Kasih sayang dan perhatian yang diberikan oleh keluarganya lah yang membuat Adhan mampu beradaptasi dengan traumanya. Dia cukup beruntung karena keluarga dari pihak ibu maupun ayah menerimanya dengan tangan terbuka.
Namun, Adhan dibesarkan sepenuhnya di keluarga sang ibu. Ini bukan tanpa sebab, karena Rangga telah berjuang untuk meyakinkan keluarga dari pihak ayah bahwa mereka lebih dari mampu untuk menjaga Adhan.
Apalagi di sana ada Claudia, adik bungsu di keluarga ibunya, yang memiliki usia tidak terpaut jauh dengan Adhan—hanya lima tahun saja. Dengan begitu, Adhan tidak akan merasa sendirian. Setidaknya, akan selalu ada seseorang yang menjaga dan memperhatikannya.
Hubungan Claudia dan Adhan semakin hari semakin dekat. Claudia menganggap Adhan seperti adiknya sendiri. Dia bahkan tidak ingin dipanggil Bibi oleh Adhan. Jika itu terjadi, dia biasanya akan mengamuk sambil mencubit pipi Adhan dengan gemas.
Adhan yang tak ingin terlibat dalam masalah, pada akhirnya hanya menurut saja. Hingga ia beranjak dewasa, dia tidak pernah memanggil Claudia 'bibi' sebagaimana mestinya, melainkan memanggilnya dengan sebutan mbak.
Untuk membalas kasih sayang dan perhatian yang diberikan oleh orang-orang di sekitarnya, Adhan berusaha terus bangkit dan tidak terhanyut dalam trauma. Ia bertekad untuk membuat mereka tersenyum bahagia serta bangga terhadap dirinya.
Ada banyak hal positif yang selalu Adhan lakukan, baik dalam bidang akademik maupun non-akademik. Ia berhasil menyeimbangkan keduanya dengan baik dan selalu tampil sebagai yang paling unggul. Namun, satu kekurangan yang dimilikinya adalah ketidakmampuan untuk menunjukkan emosi di hadapan orang lain. Hal ini membuatnya terkesan dingin dan akhirnya mendapat julukan "si kulkas berjalan" saat masih di sekolah. Meskipun begitu, Adhan tidak pernah terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Baginya, yang terpenting adalah terus fokus mengembangkan diri, agar dia bisa hidup mandiri dan tidak selalu bergantung pada keluarga ibunya lebih lama lagi.
Ya. Adhan tidak pernah berpikir untuk hidup dengan terus berpangku tangan dan bergantung pada orang lain. Begitu tamat dari pendidikan sarjananya, ia memutuskan untuk membangun bisnis kecil, yang sudah lama ia geluti sejak sewaktu kuliah dulu—sebuah keputusan yang dianggap berani bagi usianya saat itu.
Ada beberapa usaha yang Adhan geluti, yaitu berhubungan dengan dunia industri kreatif, seperti jasa desain grafis, editing video, fotografi, dan membuka taman baca di pusat kota. Jasanya sering dipakai dan dipercaya oleh para dosen maupun organisasi tempat dia berkuliah dulu, seperti pembuatan banner, stiker, penghargaan akrilik dan lain sebagainya. Melihat peluang yang cukup bagus dari sana, Adhan akhirnya juga merambah pada usaha digital printing.
Inspirasi mendirikan taman baca itu berasal dari kecintaan Claudia dan ibunya—Lily—terhadap buku. Kegemaran mereka terhadap dunia literasi secara alami meresap ke dalam jiwa Adhan, hingga akhirnya ia mendirikan taman baca sederhana, sebuah surga dunia yang dipenuhi dengan aneka beragam buku dari berbagai genre.
Bagi Adhan, taman baca itu bukan sekadar bisnis semata, melainkan tempat bagi siapa saja yang ingin menemukan kedamaian, pelarian, atau sekadar kenyamanan dari pahit dan kerasnya hidup. Itulah tujuannya membangun taman baca yang kemudian diberi nama "Lily".
Hingga hari itu tiba. Hari di mana dia melihat seorang gadis yang duduk menyendiri di sudut ruangan, saat sedang melakukan pengecekan rutin di taman baca miliknya.
Ia tidak tahu apa yang terjadi, tetapi dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat bahu gadis itu bergetar pelan. Meski tak terdengar suara isakan, jelas bahwa ia sedang menangis. Pemandangan itu membuat Adhan terpaku. Rasa simpati muncul begitu saja, dan tanpa sadar, ia merasa déjà vu. Gadis itu mengingatkannya pada Claudia.
Dulu, Claudia juga melakukan hal yang sama. Setelah pemakaman Lily, Claudia bersembunyi di ruang baca keluarga. Di sana, dia menangis sejadi-jadinya, melampiaskan kesedihan dan duka atas kematian sang kakak yang begitu tiba-tiba. Sampai akhirnya, Adhan datang menghampiri dan duduk di sampingnya. Saat menyadari kehadiran Adhan, Claudia langsung memeluknya erat, berbisik bahwa ia akan selalu menjaga dan melindunginya.
Seperti terdorong oleh sesuatu di luar kendalinya, Adhan merogoh tas yang selalu ia bawa, dan menemukan topi baseball di dalamnya. Ia juga mengambil kacamata hitam yang tergantung di kantong kemejanya.
Perlahan, Adhan mendekati gadis itu, berusaha untuk tidak menimbulkan suara dan membuat dirinya tertangkap basah.
Tidak terbayangkan, kalau dia tertangkap basah, akan semalu apa gadis itu saat melihatnya.
Usai meletakkan topi dan kacamata miliknya di dekat gadis itu, dia pun langsung berbalik pergi. Itulah alasannya, Serena tak menyadari kehadiran Adhan sama sekali. Selain karena terlalu larut dan tenggelam dalam perasaannya sendiri, Adhan sebisa mungkin membuat dirinya tidak ketahuan.
Saat Adhan berada di bilik khusus istirahat yang ada di lantai tiga, dia tidak bisa melupakan bayang-bayang gadis yang ia lihat sedang menangis tadi. Didorong oleh rasa penasara, Adhan kemudian memantau layar CCTV yang terpasang di dekat gadis itu melalui laptopnya.
Setelah beberapa saat mengamati dari balik layar monitor, gadis itu akhirnya mengangkat kepala. Adhan tak bisa melihat wajahnya dengan jelas, apalagi menebak ekspresinya saat ini. Namun, ia memerhatikan bagaimana gadis itu menatap kacamata dan topi yang ditinggalkannya, lalu melirik ke sekeliling, seolah sedang mencari tahu dari mana benda-benda itu berasal.
Kemudian, Serena pun bangkit dari tempat duduknya dan pergi ke dekat kasir. Adhan tidak tahu, apa yang mereka bicarakan. Namun tak lama, ponselnya tiba-tiba berdering. Adhan langsung mengangkat panggilan itu, saat itu juga. Sementara tatapannya masih terus memantau layar yang terhubung dengan kamera CCTV di lantai satu.
"Iya, itu punya saya. Saya sengaja memberikannya untuk gadis itu, karena saya yakin, dia pasti akan sangat membutuhkannya," terang Adhan saat bawahannya bertanya soal barang yang ditemukan Serena.
"Baik, Mas. Akan saya sampaikan dengan yang bersangkutan," ucap bawahannya itu sebelum akhirnya mengakhiri panggilan di antara mereka.
Masih memantau layar monitor CCTV. Serena akhirnya pergi setelah bercakap-cakap sejenak dengan sang penjaga Taman Baca Lily. Mereka hanya berbincang sebentar, sampai akhirnya Serena bersedia menerima kedua barang yang ia tinggalkan itu.
Dia kemudian beralih ke kamera CCTV yang memantau bagian luar Taman Baca.
Kedua sudut bibir Adhan seketika terangkat ke atas, saat melihat Serena akhirnya mengenakan topi dan kacamata miliknya.
Tiba-tiba saja, Adhan merasakan kehangatan menjalar di hatinya—sebuah perasaan lega yang sulit ia jelaskan. Ia tidak tahu pasti alasannya, tetapi dalam diam, ia berharap gadis asing itu tidak lagi menitihkan air mata. Apa pun masalah yang sedang ia hadapi, semoga Allah memberinya jalan keluar.
Satu hal yang kini Adhan pahami, hidup tak pernah benar-benar mudah bagi siapa pun. Namun, ia juga menyadari bahwa terkadang, bahkan sedikit kepedulian yang kita berikan kepada orang lain bisa menjadi penghiburan di saat mereka membutuhkannya.
Adhan pikir, urusannya dengan gadis itu selesai. Dia hanya berniat membagikan sedikit kebaikan pada orang lain. Namun perasaannya berkata lain, sejak meninggalkan taman baca, ada sesuatu yang terasa ganjil. Adhan terus memikirkan gadis itu, bertanya-tanya bagaimana keadaannya sekarang. Apakah ia sudah merasa lebih baik? Ataukah ia masih menangis sendirian di sudut kamarnya?
Tapi, bagaimana caranya untuk bertemu dengan gadis itu lagi, yang bahkan tak sempat dia lihat rupa wajahnya dengan jelas.
Bersambung
Kamis, 21 Agustus 2025