"Hai, aku gadis matematika, begitu Sora memanggilku."
Apa perkenalan diriku sudah bagus? Kata Klara, bicara seperti itu akan menarik perhatian.
Yah, selama kalian di sini, aku akan temani waktu membaca kalian dengan menceritakan kehidupanku yang ... yang sepertinya menarik.
Tentang bagaimana duniaku yang tak biasa - yang isinya beragam macam manusia dengan berbagai kelebihan tak masuk akal.
Tentang bagaimana keadaan sekolahku yang dramatis bagai dalam seri drama remaja.
Oh, jangan salah mengira, ini bukan sekedar cerita klise percintaan murid SMA!
Siapa juga yang akan menyangka kekuatan mulia milik laki-laki yang aku temui untuk kedua kalinya, yang mana ternyata orang itu merusak kesan pertamaku saat bertemu dengannya dulu, akan berujung mengancam pendidikan dan masa depanku? Lebih dari itu, mengancam nyawa!
Pokoknya, ini jauh dari yang kalian bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jvvasawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13 | PERINGATAN NENEK
Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛
Selamat menikmati, para jiwa!
...
Tak tahu harus melakukan apa, tak berani juga menghampiri nenek di dapur – takut terkesan kurang sopan, akhirnya kuputuskan duduk saja di sofa anyam yang posisinya pas di tengah ruangan.
Mataku mengedar, menjelajahi seisi ruangan, mengamati ornamen-ornamen lawas yang berpadu dengan nuansa kayu jati yang mendominasi.
Beberapa lampu kecil yang mulai menyala redup, menghasilkan sinar bewarna kuning oranye yang semakin memberi kesan hangat pada ruangan.
Pandanganku menyempit saat pipiku terangkat, bibirku sudah mengukir senyum penuh di wajah. Ternyata suasana nyaman yang tercipta dari ruangan ini sudah menyerap masuk sampai ke dalam relung hatiku, ikut memberi kehangatan di sana, di *ruang kecil *itu.
“Nak … cucuku … yang cantik,” teguran merdu menyapa pendengaranku. Sontak kupalingkan wajah pada nenek yang baru saja membelai rambutku.
Beliau tersenyum, ada mangkuk jagung rebus dalam dekapannya.
“Nenek, biar saya bantu.” Aku membungkuk sedikit canggung, lalu memberi ruang untuk nenek duduk, sambil kuambil alih mangkuk jagung dari dekapan nenek dengan pelan-pelan, meletakkannya di atas meja panjang yang menghadap sofa.
“Nak ….”
Nenek kembali memanggilku. Tentu aku merespon dengan cepat sambil kuhadapkan kembali posisiku pada beliau yang menaruh pandang sungguh-sungguh, tampak sedang mengamatiku.
“Jangan … bantu Zofan.”
Hening beberapa saat. Alisku mengkerut samar, bingung mau bereaksi bagaimana.
“K – kenapa, Nek?”
Sepertinya tanggapanku ini jelek, tapi aku benar-benar bingung harus bilang apa.
Pernyataan nenek barusan begitu mendadak, sementara satu-satunya tujuanku di sini, tiada lain dan tiada bukan, memang untuk membantu Zofan saja.
Tidak mungkin aku tiba-tiba bertingkah seolah berubah pikiran dan menolak permintaan Zofan begitu saja setelah menyanggupinya, bahkan sampai repot-repot datang kemari. Lagipula, akan sia-sia kalau aku pulang tanpa hasil.
Aku, kan, masih penasaran, bantuan seperti apa yang Zofan butuhkan?
Urusan seperti apa yang Zofan geluti?
Masalah bagaimana yang perlu kuatasi?
Penerangan dari luar jendela mulai minim, pertanda langit sudah menggelap, siap menyambut datangnya waktu malam.
Pijar cahaya lampu-lampu kecil ruangan yang tadinya menyaru dengan sinar mentari sore, kini semakin menyala dalam redupnya sinar bulan yang membias, mengintip dari sela-sela tirai jendela yang tak tertutup rapat.
Sore hampir sampai pada ujungnya, dan aku masih duduk diam memikirkan kalimat nenek Zofan.
Bukan ucapannya yang jadi masalah, tapi masih dengan bagaimana aku harus bersikap lebih lanjut ketika nenek belum juga menjawab alasan beliau melarangku membantu Zofan? Apalagi nenek masih melihatku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.
Sebenarnya, arah mata nenek tidak benar-benar lurus tertuju ke padaku, tapi ke bagian belakangku, terlihat jelas dari garis matanya yang tidak berada tepat di sudut nol derajat ke arah mataku.
Meski begitu, aku meneguk ludah, dan memainkan jari-jariku di depan lutut.
“Bahaya … kamu … kunci pembuka petaka … Nak.”
Itu ucapan terakhir nenek sebelum beliau melenggang pergi begitu saja tanpa penjelasan rinci, meninggalkanku yang sekarang terperangkap rasa bingung, dan kegelisahan.
Apa maksudnya, kunci pembuka petaka?
Aku meraba bagian jantungku yang tempo debarannya mulai berantakan. Perasaannya menyambar hingga ulu hatiku, memberi sensasi mual.
Jarang sekali aku merasa secemas ini, dan alasannya karena mendengar peringatan dari nenek yang bahkan tak kupahami?
“Zofan … Sora …,” lirihku.
Ah, kepalaku berdenyut. Pusing. Isi perutku juga seperti diputar-putar.
“Z – Zofan, Sora … sepertinya … aku harus pulang,” suaraku sedikit bergetar mengucapkannya, semoga mereka bisa tetap mendengarku. Entah kenapa juga aku terbata-bata, apa terbawa cara bicara nenek?
Salah satu tangan Sora, yang sedari tadi bertumpu pada sudut kotak demi menahan beban tubuhnya yang setengah masuk ke dalam kotak, dia dorong untuk mengangkat kembali tubuh atasnya keluar dari kotak. Kemudian, dia memutar posisinya menghadap ke arahku.
Sorot mata teduhnya seakan menyadari kejanggalan dari tingkah lakuku.
“Natarin, kau … baik-baik saja?”
Kakinya agak tergesa-gesa menghampiriku, dan Sora langsung berjongkok di sampingku dengan kepala yang mendongak, berusaha mencari petunjuk dari raut wajahku yang tertunduk.
“Sora … apa maksudnya … kunci pembuka petaka?” lirihku hampir tak terdengar.
Ke mana perginya suaraku?
Tenggorokanku terasa kering, apa aku dehidrasi?
Kapan terakhir kali aku minum?
Lambat-lambat aku menggeleng, bukan waktunya memikirkan dehidrasi. Tatapanku kembali pada Sora yang keningnya mengernyit. Tentu saja dia bingung.
Ayo lah, Natarin. Jangankan Sora, kau yang lebih dulu mendengar tiga kata mengerikan itu saja masih tidak mengerti makna di baliknya.
Brak!
Tubuhku terlonjak mendengar suara debaman, membuatku dan Sora refleks menoleh ke sumber suara.
“Capek. Kita lanjut lain waktu saja, deh. Aku cari dulu di mana. Kurasa nenek memindahkannya lagi.”
Zofan berkeluh-kesah sembari menutup kembali kotak besar yang menimbulkan suara keras tadi.
Setelahnya, dia berjalan ke arah di mana aku dan Sora berdiam, lalu menyambar satu jagung rebus yang sejak tadi terabaikan di atas meja.
Tubuhnya ia hempaskan ke kursi goyang yang tak jauh dari sofa anyam tempatku duduk, mengayun-ayunkan dirinya sendiri.
“Kenapa wajah kalian tegang begitu?” heran Zofan sebelum ia menggerogoti biji-biji jagung. Satu alisnya naik, menunggu jawaban atas pertanyaannya sendiri.
“… dan kenapa kau berjongkok seperti itu, Sora? Apa Nata sedang merajuk dan kau membujuknya?”
Asal sekali dia bicara, tapi aku sedang tak sanggup merespon. Energiku terkuras habis, entah ke mana.
“Hei, Natarin? Kau mengantuk?” sekarang Zofan beralih menanyakanku. Mungkin karena mataku sayu, saking terasa beratnya mata ini.
“Bodoh, kau tidak lihat Nata sampai berkeringat? Apa dia terlihat seperti sedang merajuk?” protes Sora seperti mewakili mulutku yang enggan terbuka ini.
Terima kasih, Sora!
Zofan berdecak dan menunjuk Sora dengan batang jagung yang masih dalam genggamannya, “kau lihat itu, Nata? Dia mengataiku, padahal aku hanya bertanya! Apa itu terlihat manis di matamu?”
Aku hanya menggeleng kecil melihat tingkah bocah Zofan, kemudian arah pandangku kembali kutujukan pada Sora yang masih memicingkan matanya pada Zofan, membuatku tak sadar tersenyum kecil.
Memang hanya Sora yang bisa kuandalkan.
“Sora, ayo pulang.” Kuberanikan tanganku meraih lengan seragamnya.
“Kenapa kau minta pada Sora? Kan aku yang bawa mobil?”
Zofan tak perlu jawaban, dia hanya perlu tepukan keras dari tangan Sora pada kaki kanannya yang sedang bertumpu di kaki kiri. “Banyak komentar,” desis Sora.
“Aduh, Sor! Kau ketularan Nata, ya? Main kekerasan!”
“Sepertinya Nata sakit. Lihat, selain berkeringat, tangannya juga bergetar,” Sora kembali bersuara, tanpa mengindahkan keluhan Zofan. Ia bangun dari posisi jongkoknya dan kali ini menepuk bahu Zofan dua kali dengan punggung tangannya. Tak kuat seperti tadi.
“Kita antar Nata dulu,” titahnya.
Hanya anggukan kepala dan dehaman yang Zofan berikan sebagai tanggapan, kemudian ia mengelap tangannya dengan serbet yang tadi juga dibawa neneknya dan menyuruh kami menunggu di luar.
Dia perlu berpamitan dulu pada nenek, katanya.
Menuruti arahan Zofan, aku dan Sora beranjak pergi meninggalkan ruang tengah dengan Sora yang mendampingi di sisiku.
“Masih sanggup berdiri, kan?” Tangan kanan Sora melingkar di bahuku, menuntunku berjalan menuju pintu depan. Sebentar, sejak kapan aku seloyo ini?
Sebelum Sora membuka pintu, mataku menyusuri setiap sudut rumah hingga ke atap yang tanpa plafon, memampang jelas kerangka kuda-kudanya yang masih kokoh. Salah satu alisku naik, mengerjap ringan.
“Nat, ayo?”
Aku diam beberapa saat, lalu mengangguk dan melangkah keluar disusul Sora dari belakang.
Sesampainya di luar rumah, kami kembali menunggu Zofan. Aku duduk lagi di kursi rotan yang ada di teras karena paksaan Sora yang khawatir. Tak berselang lama, Zofan muncul dari balik pintu dan memberi kode untuk menyusulnya kembali menuju mobil.
Suasana malam di daerah ini ternyata lumayan mencekam, berbanding terbalik dengan terangnya hari yang memberi kesan damai.
∞
Di dalam mobil, Zofan memutar balik posisi mobilnya, lalu kami melesat pergi menjauh dari perkarangan rumah nenek.
Aku menyempatkan diri mengintip ke belakang, melihat wujud rumah nenek Zofan yang semakin lama semakin kecil hingga menghilang dari pandangan, pertanda jarak kami sudah jauh dari lokasi.
“Jadi, kau kenapa, Nat?” Zofan memulai percakapan.
“Aku … a – aku …”
Ah, sial. Kenapa susah sekali bicara? Kenapa dadaku masih seberdebar ini? Rasanya sangat tak nyaman.
“Ck, nenek melakukannya lagi,” celetuk Zofan, yang lebih seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Oh, tapi lucu juga! Kapan lagi lihat Natarin gagap seperti ini? Kalau begini, bisa mudah menang setiap berdebat dengannya, haha. Apa biarkan saja dia seperti ini, ya?”
Bocah sinting. Bicara dengan diri sendiri, tapi bawa-bawa namaku! Aku sedang gelisah seperti ini, sempat-sempatnya dia mengambil kesempatan meledekku!
“Bicara yang jelas, Zofan,” tegur pahlawanku, yang dibalas Zofan dengan dengusan.
“Aku lupa, ada malaikat pelindungnya di sini," cibirnya sambil membalas tatapan Sora dari spion, membuat Sora menghembuskan napas dan menggelengkan kepalanya. Ia juga memijat pelipisnya.
Pusing, ya, Sora, menghadapi tingkah bocah seperti Zofan?
“Kau pulihkan dulu dia, Sor,” ujar Zofan. “Setelah itu, Nat, beritahu aku apa yang nenek katakan padamu.”
Aku hanya mengangguk walau banyak pertanyaan muncul di kepalaku. Awalnya kepalaku sakit berusaha menghubungkan segala kejadian yang baru kualami, tapi kemudian mataku terpejam dengan pikiran yang seperti terbang melayang di langit yang terbentang luas.
...
Bersambung