NovelToon NovelToon
Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Rumahhantu / Matabatin / Kutukan / Tumbal
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: kriicers

Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27•

...Tumbal Tangisan Ibu...

Tentu, ini cerita horor satu bab yang panjang, kaya akan interaksi, dan memiliki plot twist dengan judul "Tumbal Tangisan Ibu", yang ditulis seolah-olah bukan hasil karya AI, dan lebih dari seribu kata.

Tumbal Tangisan Ibu

Pekanbaru, 19 Juli 2025

Malam itu, di sebuah sudut kota Pekanbaru yang diguyur hujan deras, kilat menyambar membelah langit. Guntur bergemuruh, seolah semesta sedang meratapi sesuatu yang tak terucapkan. Di dalam rumah sederhana dengan cat yang mulai pudar itu, aku, Maya, tengah memeluk erat Sarah, putriku yang berusia lima tahun. Sarah menangis tersedu-sedu, bukan karena guntur atau kilat di luar, melainkan karena demam tinggi yang tak kunjung turun sejak tiga hari lalu. Napasnya tersengal, tubuh kecilnya bergetar kencang.

"Mama... dingin..." lirihnya di sela-sela isak tangis.

Panik mencekam ulu hatiku. Sudah kubawa Sarah ke puskesmas, obat-obatan sudah ditebus, tapi tak ada perubahan. Bahkan, demamnya terasa semakin parah. Suamiku, Arman, masih di luar kota untuk urusan pekerjaan, dan aku sendirian menghadapi kondisi gawat ini. Aku merasa tak berdaya, air mata ikut membasahi pipiku.

"Sabar ya, Nak. Mama di sini. Kita ke dokter lagi, ya?" bisikku, walau aku tahu tidak ada klinik yang buka selewat tengah malam begini.

Tiba-tiba, ponselku berdering. Nomor tak dikenal. Aku ragu mengangkatnya, tapi firasat aneh mendorongku. "Halo?" suaraku bergetar.

Suara seorang wanita tua, serak dan penuh wibawa, menyahut dari seberang. "Apakah ini saudari Maya, ibu dari Sarah?"

Aku terkejut. "Betul. Anda siapa?"

"Namaku Nek Sumi. Aku tahu tentang putrimu. Ada sesuatu yang ingin ia ambil dari rumahmu." Suaranya terdengar misterius, namun entah mengapa, ada secercah harapan yang muncul di tengah keputusasaanku.

"Ambil? Apa maksud Anda?" tanyaku, jantung berdebar.

"Jika kau ingin putrimu sembuh, temui aku di batas kota, di bawah pohon beringin tua. Jangan bawa siapa pun. Datang sendiri, sebelum fajar."

Panggilan terputus. Aku menatap ponselku dengan bingung. Siapa Nek Sumi ini? Apakah dia dukun? Atau penipu? Tapi Sarah... kondisi Sarah semakin memburuk. Aku menatap wajah pucat putriku, dan tekadku menguat. Apa pun yang terjadi, aku harus mencoba. Demi Sarah.

Aku membungkus Sarah dengan selimut tebal, mencium keningnya yang panas, lalu bergegas meraih kunci motor. Hujan masih deras, jalanan licin dan gelap. Pikiranku kalut, bercampur aduk antara harapan dan ketakutan.

Perjalanan terasa sangat panjang. Melewati jalan-jalan sepi yang diselimuti kabut, aku akhirnya tiba di batas kota. Pohon beringin tua yang disebut Nek Sumi berdiri kokoh, menjulang tinggi di tengah kegelapan, seolah menjadi penanda rahasia yang mengerikan. Di bawahnya, sesosok wanita tua bertubuh ringkih dengan rambut putih tergerai panjang menungguku. Wajahnya dipenuhi kerutan dalam, matanya tajam dan berbinar aneh.

"Kau datang, Nak," sapanya dengan senyum tipis yang tak bisa kuartikan.

"Nek Sumi... apa yang terjadi pada putri saya? Anda bilang ada yang ingin diambil?" tanyaku tergesa, tak sabar.

Nek Sumi mengangguk. "Putrimu... dia tidak sakit biasa. Ada yang menginginkan 'sesuatu' darinya, sebuah tumbal."

Duniaku runtuh. "Tumbal? Apa maksudmu? Aku tidak punya apa-apa!"

"Bukan kau, Nak. Tapi rumahmu. Rumah yang kau tinggali itu... dulunya adalah tempat sebuah perjanjian lama. Perjanjian yang kini menuntut balas."

Aku menelan ludah. "Perjanjian apa?"

"Dahulu kala, ada sepasang suami istri yang sangat ingin memiliki anak. Mereka putus asa. Lalu, mereka membuat perjanjian dengan entitas dari dunia lain. Mereka diberi seorang anak, dengan syarat... anak itu harus menjadi tumbal pertama bagi entitas tersebut saat ia mencapai usia lima tahun. Dan jika anak itu menangis, perjanjian itu akan diaktifkan."

Kepalaku pusing. "Ini tidak masuk akal! Aku tidak tahu apa-apa tentang perjanjian itu!"

"Betul, kau tidak tahu. Tapi darah yang mengalir di tubuh putrimu, dan tangisannya... telah membangkitkan perjanjian itu. Mereka menginginkan jiwanya, Maya. Kecuali..." Nek Sumi berhenti sejenak, menatapku tajam. "Kecuali ada yang bersedia menggantikannya."

Jantungku berdegup kencang. "Menggantikannya? Siapa?"

Nek Sumi tersenyum lagi. "Kau. Ibu kandungnya."

Angin dingin berembus kencang, menembus jaketku. Aku mundur selangkah, napasku tercekat. "Tidak... itu tidak mungkin!"

"Pikirkanlah, Nak. Jika kau menolak, putrimu akan meninggal. Jiwanya akan diambil. Tapi jika kau mengorbankan dirimu, putrimu akan sembuh total, seolah tak pernah sakit."

"Lalu... bagaimana caranya?" suaraku berbisik.

Nek Sumi mengulurkan sebuah botol kecil berisi cairan pekat berwarna hitam. "Minum ini. Dalam sekejap, kau akan merasakan sakit yang tak tertahankan, dan kemudian... semua akan berakhir. Jiwamu akan menjadi pengganti."

Tanganku gemetar saat meraih botol itu. Membayangkan kematian, meninggalkan Sarah sendirian... itu mengerikan. Tapi membayangkan Sarah meninggal di depanku... itu jauh lebih mengerikan. Aku memejamkan mata, memikirkan senyum ceria Sarah, tawa renyahnya. Demi dia. Demi putriku.

Aku membuka botol itu. Cairan hitam di dalamnya memancarkan bau aneh, seperti tanah basah dan besi. Aku mengangkatnya ke bibir.

"Tunggu!"

Sebuah suara serak menghentikanku. Aku menoleh. Arman! Suamiku berdiri beberapa meter di belakang Nek Sumi, napasnya terengah-engah, wajahnya pucat pasi. Bagaimana bisa dia ada di sini?

"Arman! Apa yang kau lakukan di sini? Kembali ke rumah, Sarah sendirian!" seruku, panik.

"Tidak, Maya! Jangan dengarkan dia! Jangan minum apa pun!" Arman melangkah mendekat, matanya memancarkan ketakutan yang mendalam.

Nek Sumi tersenyum dingin. "Rupanya ada saksi yang tak diundang."

"Maya, kau harus tahu. Nek Sumi... dia bukan orang baik," kata Arman, suaranya tercekat. "Dia... dia adalah mantan perawat di rumah sakit jiwa yang dulu merawat ibu kandungmu."

Duniaku terhenti. Ibuku? Ibuku meninggal saat aku masih kecil, karena sakit. Aku tak pernah tahu dia pernah dirawat di rumah sakit jiwa.

"Perawat? Apa maksudmu?" tanyaku, bingung.

"Maya, dengarkan baik-baik. Ibuku... nenekmu... dulu punya penyakit aneh. Dia sering berhalusinasi, berbicara dengan makhluk tak kasat mata, dan sering mengamuk. Suatu hari, dia meyakini bahwa ada perjanjian kuno yang dibuat oleh leluhur kita, yang menuntut tumbal dari anak cucu perempuan setiap lima puluh tahun sekali. Dan yang dia yakini sebagai 'tumbal' itu adalah... dirimu, Maya."

Aku menatap Arman, lalu ke arah Nek Sumi. Wajah wanita tua itu tak menunjukkan ekspresi apa pun, namun matanya yang tajam seolah memindai setiap reakiku.

"Ibuku meninggal sebelum aku lahir, karena sakit!" sanggahku, mencoba menepis kenyataan pahit itu.

"Itu yang kita ketahui, Maya. Tapi sebenarnya, ibumu sangat tergila-gila dengan mitos tumbal ini. Dia bahkan mencoba melakukan ritual aneh di rumah itu, rumah yang kini kau tinggali. Dan Nek Sumi ini... dia adalah salah satu perawatnya yang paling terobsesi dengan cerita-cerita ibumu. Dia juga meyakini adanya perjanjian itu. Setelah ibumu meninggal, Nek Sumi sempat menghilang, dan kembali dengan obsesi yang sama, bahkan lebih kuat."

"Tidak... ini tidak benar..." Kepalaku terasa berputar.

"Dulu, saat Sarah lahir, dia mencoba mendekatimu. Tapi aku selalu melarangnya. Sekarang, karena kau sendirian, dia memanfaatkan momen ini. Dia membangkitkan lagi kisah usang itu, memanipulasimu dengan ketakutanmu akan Sarah!" Arman mendekatiku, meraih botol di tanganku. "Cairan ini... mungkin racun atau semacamnya! Dia ingin kau mati, Maya, agar dia bisa membuktikan teorinya tentang tumbal!"

Nek Sumi tertawa lirih. Tawanya terdengar dingin dan menyeramkan. "Bodoh! Kau pikir kebohonganmu akan menyelamatkan dia? Perjanjian itu nyata! Tangisan anak itu telah memanggil mereka!"

Tiba-tiba, dari arah belakang Nek Sumi, muncul bayangan hitam pekat yang melayang. Bentuknya tak jelas, namun aura dinginnya terasa menusuk tulang. Bayangan itu bergerak perlahan, seolah mengamati kami.

"Lihat!" seru Nek Sumi, menunjuk bayangan itu dengan seringai mengerikan. "Mereka sudah datang! Mereka menginginkan tumbal!"

Arman menarikku menjauh. "Jangan lihat, Maya! Itu hanya tipu muslihat! Kekuatan sugesti!"

Namun, aku tak bisa berpaling. Bayangan itu semakin membesar, dan di tengahnya, aku melihat sepasang mata merah menyala. Sebuah bisikan halus terdengar di telingaku, seolah dari tempat yang sangat jauh, "Putrimu... akan... menjadi... milik... kami..."

Aku menjerit. "Sarah!"

Arman dengan cepat mengambil beberapa helai rumput ilalang dari tanah, lalu mengusapkannya ke mataku. Seketika, pandanganku menjadi kabur, bayangan hitam itu perlahan memudar, hanya menyisakan Nek Sumi yang berdiri sendiri dengan tatapan marah.

"Apa yang kau lakukan?!" teriak Nek Sumi.

"Rumput ilalang ini adalah penolak ilusi, yang diajarkan oleh kakekku dulu," jawab Arman. "Kakekku pernah bercerita tentang orang-orang seperti Nek Sumi, yang menggunakan tipuan dan sugesti kuat untuk mendapatkan yang mereka inginkan."

Aku menatap Nek Sumi dengan pandangan baru. Wanita tua itu tidak terlihat seperti paranormal sakti lagi, melainkan seorang yang terobsesi, mungkin sakit jiwa, yang memanfaatkan penderitaanku.

"Sarah! Bagaimana dengan Sarah?!" tanyaku, air mata kembali mengalir.

"Dia baik-baik saja, Maya. Aku sudah menelepon ambulans saat kau keluar. Mereka sudah dalam perjalanan," kata Arman, memelukku erat. "Kondisinya memang parah, tapi itu murni demam biasa, diperparah oleh stresmu. Bukan karena tumbal atau hal mistis apa pun."

Aku terisak di pelukan Arman, antara lega dan perasaan bodoh karena nyaris tertipu. Air mata keputusasaan yang tadinya membuatku lemah, kini berubah menjadi air mata kelegaan.

"Kau menipu saya!" teriakku pada Nek Sumi.

Nek Sumi hanya menatapku dengan tatapan kosong, senyum aneh itu masih tersungging di bibirnya. "Kau tidak akan pernah tahu kekuatan kegelapan, Nak. Perjanjian itu akan selalu menuntut balas. Tunggu saja, suatu saat..."

Suara sirine ambulans terdengar mendekat. Nek Sumi berbalik, menghilang dalam gelapnya malam dan lebatnya hujan, seolah ditelan bumi.

Arman membawaku pulang. Di depan rumah, ambulans sudah terparkir. Paramedis segera membawa Sarah ke rumah sakit. Selama di perjalanan, aku tak henti-hentinya memegang tangan putriku, berbisik bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Sarah akhirnya dirawat intensif, dan kondisinya berangsur membaik. Dokter menjelaskan bahwa dia mengalami demam tinggi akibat infeksi virus, dan kepanikan berlebihan yang kurasakan turut memperparah kondisinya. Tidak ada tumbal, tidak ada perjanjian kuno. Semuanya hanyalah imajinasi dan manipulasi.

Beberapa hari kemudian, Sarah pulih sepenuhnya. Kami pulang ke rumah, yang kini terasa begitu hangat dan aman. Aku menatap cermin di kamar mandi, melihat bayanganku yang kelelahan namun lega. Aku telah belajar pelajaran berharga: ketakutan yang paling mengerikan seringkali bukan berasal dari dunia lain, melainkan dari pikiran kita sendiri, yang termanipulasi oleh orang-orang licik.

Namun, di balik semua kelegaan itu, satu pertanyaan kecil masih mengusikku. Saat aku melihat bayangan hitam dan mata merah menyala di bawah pohon beringin itu, apakah itu benar-benar ilusi? Ataukah, dalam keputusasaanku yang terdalam, tangisan seorang ibu memang bisa membuka gerbang yang seharusnya tetap tertutup? Aku tidak akan pernah tahu pasti. Yang jelas, aku akan menjaga Sarah dengan seluruh jiwa dan ragaku, agar tak ada lagi "tangisan ibu" yang membawa pada kegelapan.

1
Kriicers
terimakasih bagi yangg sudahh membaca ya gaes ,apakah enak di gantung?😭🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!