Irgi beralih menatap Humaira.
Wajah calon istrinya itu sangat polos tanpa make up sama sekali. Tubuhnya juga dibalut baju gamis panjang serta jilbab pink yang menutup bagian dadanya. Dia sungguh jauh berbeda dengan pacarnya yang bernama Aylin.
Selain memiliki wajah yang cantik, Aylin pandai berdandan serta modis dalam berpenampilan. Kepopulerannya sebagai influencer dan beauty vloger membuat Irgi sangat bangga menjadi kekasihnya.
Namun wasiat perjodohan mengacaukan semuanya. Dia malah harus menikahi gadis lain pilihan kakeknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Ink, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kisah Masa Lalu
Langit malam begitu cerah dengan bintang-bintang yang menggantung cantik, berkerlipan seperti lampu Tumblr berukuran kecil yang menyebar.
Irgi duduk di balik kemudi mobilnya. Sang Istri duduk di sebelahnya. Sementara di jok belakang, ada Mba Mita, Mas Bara dan juga Adam yang duduk berjejer. Wajah Mba Mita nampak sumringah. Mas Bara sibuk melihat jalanan melalui kaca mobil. Adam fokus pada ponselnya.
Tujuan mereka tak lain adalah Pasar Malam Ceria yang jaraknya cukup ditempuh dengan waktu lima belas menit dari rumah.
"Aku mau ke ATM dulu bentar. Kalian tunggu dulu ya di sini, " ucap Irgi seraya menengok ke arah tiga orang di jok belakang.
"Jangan lama-lama Irgi!" seru Mba Mita mengingatkan.
"Iya. Maira, ayo ikut!"
Humaira tidak banyak bertanya dan langsung mengikuti ajakan suaminya yang sudah membuka pintu mobil.
Baru setelah kakinya melangkah menuju bilik ATM, hatinya dipenuhi banyak pertanyaan.
Mungkinkah Irgi akan memberikan uang nafkah?
Apakah Irgi telah menyadari kewajibannya sebagai seorang suami?
Apakah kerja keras Sang suami akhirnya berbuah manis?
Tapi Irgi tetap diam, tidak mengatakan kalimat apa pun meski telah mengajak Humaira ikut turun. Langkahnya tetap santai dan ringan seolah tidak ada beban.
Barulah saat mereka sudah berada di depan bilik ATM, Irgi memutar tubuhnya menghadap sang istri. Ia lalu memandang wajah di hadapannya dengan senyum hangat.
"Maira, ayo ikut masuk!" ajaknya.
"Aku...tunggu di luar aja deh." ujar Maira sambil memegang tali **Sling**bag-nya
"Ayo, ikut! Aku butuh bantuan Kamu." Irgi mengulurkan tangan, berharap istrinya mau ikut ke dalam.
Akhirnya Humaira menurut. Ia ikut masuk ke dalam dan menunggu Irgi mengambil sejumlah uang.
"Maira, Alhamdulillah aku ada rejeki. Aku mau ngasih uang nafkah buat Kamu." Jari-jari Irgi memencet tombol angka pada mesin ATM di hadapannya.
Humaira terperangah. Dia seperti sedang bermimpi.
Mesin ATM berbunyi. Sejumlah uang lembaran merah keluar dari mesin berukuran besar tersebut.
"Tapi aku gak bisa narik banyak sekarang. Sisanya nanti aku transfer ya." Tangan Irgi menyerahkan semua uang itu pada Humaira.
Humaira menerimanya. Ada sekitar lima belas lembar uang lembaran berwarna merah. Ia kemudian memasukkannya ke dalam dompet kecil di dalam slingbag.
Ada senyum tipis yang ia sembunyikan.
"Apa, ini hasil dari YouTube Kamu?" Matanya sedikit memicing, mencari jawaban.
"Itu uang halal Maira. Banyak yang aku kerjakan selain jadi YouTuber."
Irgi kembali menghadap ke mesin ATM, ia menarik beberapa lembar uang lembaran biru kemudian menghitungnya dengan suara pelan.
"Nah, ini buat modal ngonten!"
****
Mobil telah sampai di sebuah lapangan luas yang telah disulap menjadi area Pasar Malam Ceria.
Setelah mobil mendapat lokasi untuk tempat parkir, Irgi dan yang lainnya langsung turun dari mobil. Mereka berjalan menuju lokasi utama yang berjarak kurang lebih sepuluh meter.
"Temen-temen Kamu udah pada sampe, Dam?" tanya Irgi sambil berjalan di sisi Adam serta Mas Bara.
"Udah kak, ni anaknya ngechat. Katanya nunggu di dekat wahana kincir angin, " ujar Adam dengan tangan yang sibuk mengetik pesan balasan.
"Oke. Jadi ber-empat kan sama Kamu, Dam?" tanya Irgi lagi.
"Iya. Kak, pada nanya nanti dikasih duit gak? Katanya kalo diajak ngonten."
"Tenaang, ada uang jajan buat kalian! Udah aku siapin. " Irgi menepuk wheistbag hitam yang sedang ia kenakan.
Sementara itu, Mas Bara terlihat sedang mencoba kamera milik Irgi yang akan digunakan untuk membuat konten di Pasar malam. Awalnya ia menolak sewaktu Irgi meminta bantuan pada dirinya untuk menjadi kameramen. Tapi Irgi terus memaksanya.
Mas Bara mencoba mengarahkan kamera di tangannya pada jalan utama menuju Pasar Malam.
Ia tersenyum menangkap sosok Humaira dan istrinya yang terburu-buru menyusuri jalan di depan mereka sambil bergandengan tangan.
Setelah sampai di lokasi Pasar Malam, Adam langsung mencari keberadaan kawannya yang sudah lama menunggu di area wahana kincir angin. Dia lalu mengajak ketiga temannya untuk menemui kakak iparnya.
"Kalian mau ngonten kan? Kita ke sana dulu ya, mau cari jajanan." Seru Mba Mita sambil mengapit lengan Humaira.
Tanpa menunggu jawaban dari Mas Bara dan Irgi, kaki mereka langsung melesat ke lokasi Street Food yang ramai dengan banyak booth penjual makanan.
"Kamu mau jajan apa, Maira? Heeemmm..." Mba Mita melihat satu persatu lapak di depannya dengan mata yang berbinar-binar.
"Aku mau tahu gejrot Mba. Itu penjualnya di sana." Humaira menunjuk gerobak penjual makanan khas Kota Cirebon itu.
"Kayaknya enak juga, ayo deh!"
Setelah mencicipi tahu gejrot yang rasanya pedas, mereka lanjut mencari minuman dingin untuk menetralkan lidah mereka yang terasa terbakar.
"Harusnya tadi beli es dulu ya?" Mba Mita menjulurkan lidahnya berulang kali karena menahan pedas.
"Mau es cincau atau es doger?" Humaira celingukan mencari pedagang es.
"Aku si cincau. Tapi mana gak ada es cincau!" Mba Mita ikut mengedarkan pandangan.
Tiba-tiba, kaki Mba Mita berhenti.
Perempuan itu menangkap sosok seorang laki-laki tampan yang sangat ia kenal. Laki-laki yang mengenakan jaket jeans itu terlihat sedang mengantri minuman Boba.
"Aku juga mau es cincau, Mba." lanjut Humaira.
"Jangan, Boba aja yuk!" Mba Mita langsung menarik lengan Humaira menuju lapak penjualnya.
Humaira bingung karena tiba-tiba Mba Mita berubah pikiran dan malah memilih minuman Boba.
"Pak, kita beli es Boba gula arennya dua ya!" Seru Mba Mita lantang, tanpa memperdulikan antrian di depannya.
Tangannya menyenggol lengan Humaira. Matanya memberi kode untuk melihat orang yang sedang mengantri di depannya.
Laki-laki itu menoleh mencari sumber suara, ia sangat mengenali suara Mba Mita yang keras seperti toa.
Sejenak ia tertegun.
"Mba Mita? Humaira?" Laki-laki yang memiliki lesung pipi itu tersenyum manis.
Dia lalu memilih mundur dari barisan antrian, menyapa dan menanyakan kabar dua orang yang sedang memandang heran ke arahnya.
Humaira seketika membeku. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang seperti mau melompat. Lidahnya kelu.
Laki-laki itu, Ibrahim Al Kautsar.
Ingatan Humaira langsung terbang ke masa dua tahun lalu sebelum ia berangkat ke Negeri Jiran.
Saat itu, Ibrahim datang melamarnya. Dia ingin menikahi Humaira dan berharap bisa membina rumah tangga impiannya.
Ibrahim sangat mencintai Humaira.
Namun gadis itu menolaknya. Semua dokumen untuk keberangkatannya bekerja di Malaysia telah siap. Ia tidak mungkin membatalkannya. Waktu itu tekadnya sudah bulat. Ia ingin mendirikan rumah yang nyaman untuk Ibu dan adiknya.
Humaira merelakan perasaan cintanya pada Ibrahim.
...****************...