Meminta Jodoh Di Jabal Rahmah?
Bertemu Jodoh Di Kota Jakarta?
Ahtar Fauzan Atmajaya tidak menyangka jika ia akan jatuh cinta pada seorang wanita yang hanya ia temui di dalam mimpinya saja.
“Saya tidak hanya sekedar memberi alasan, melainkan kenyataan. Hati saya merasa yakin jika Anda tak lain adalah jodoh saya.”
“Atas dasar apa hati Anda merasa yakin, Tuan? Sedangkan kita baru saja bertemu. Bahkan kita pun berbeda... jauh berbeda. Islam Agama Anda dan Kristen agama saya.”
Ahtar tersenyum, lalu...
“Biarkan takdir yang menjalankan perannya. Biarkan do'a yang berperang di langit. Dan jika nama saya bersanding dengan nama Anda di lauhul mahfudz-Nya, lantas kita bisa apa?”
Seketika perempuan itu tak menyangka dengan jawaban Ahtar. Tapi, kira-kira apa yang membuat Ahtar benar-benar merasa yakin? Lalu bagaimana kisah mereka selanjutnya? Akankah mereka bisa bersatu?
#1Dokter
#1goodboy
#hijrah
#Religi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfianita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan
...*...
...Hidup itu sudah pasti akan terus berjalan. Dan roda itupun akan terus berputar, kecuali waktu itu tiba... Kematian....
...****************...
"Keren itu nasihatnya. Dapat kajian dari mana?" tanya Akhtar yang penasaran.
Suster Talia nyengir sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Dari radio yang diputar di butik tadi. Sekitar sepuluh menit yang lalu, terus diganti sama kajian tentang tiga komponen jodoh." Suster Talia tersenyum manis. "Dokter Akhtar bisa tuh terapin yang... Where, when, who," papar suster Talia sambil menjentikkan jarinya.
Hening...
Memangnya bisa apa ya diterapkan? Tapi kapan? batinnya.
Suster Talia pergi, kembali melanjutkan rencananya awal datang ke butik Aisyah Galery. Akhtar kembali memilih gamis, ada beberapa yang dirasa cocok untuk Humaira. Ia pun membawa gamis-gamis itu menuju ke ruangan Bunda Khadijah. Tapi sungguh, pikiran Akhtar masih terpenuhi dengan tiga komponen jodoh. yang disebut suster Talia dan ia dengar di radio tadi.
"Yang ini bagus, pas dan Bunda rasa cocok untuk Humaira." Begitu kata Bunda Khadijah setelah memilih tiga gamis yang dibawa Akhtar.
Namun, Akhtar tidak mendengarkannya. Hingga membuat Bunda Khadijah menoleh, "Akhtar, kamu kenapa, Nak?" tanyanya khawatir.
Karena tidak mendapatkan respon dari Akhtar, Bunda Khadijah pun melambaikan tangan di depan wajah Akhtar.
Seketika Akhtar tersentak. "Iya. Bunda bilang apa tadi? Maaf, Akhtar tidak dengar," ucapnya sambil nyengir.
"Are you okay, Nak?" Bunda Khadijah khawatir melihat Akhtar yang terkadang fokus, tetapi terkadang juga melamun tanpa sebab.
Akhtar tersenyum. "Don't worry my Mom! I'am fine," jawabnya disertai anggukan kecil.
Bunda Khadijah mengangguk saja. Setelah itu menyerahkan gamis yang dirasa cocok untuk Humaira kepada pelayan butik agar dibungkus dengan rapi.
Akulah sang arjuna... Yang mencari cinta...
Ponsel Akhtar berdering, ia pun segera merogoh saku celananya. Seiring dengan nada dering yang berdering terlihat nama dokter Charly dari kontaknya.
"Halo!" sapa Akhtar setelah beberapa detik panggilan terhubung.
"Halo! Dokter Akhtar, bisa tidak jika sekarang... ." Dokter Charly menjelaskan tujuannya menelepon.
"Ok. Saya akan segera kesana. Kebetulan juga ada suster Talia sedang bersama saya," ucap Akhtar dengan wajah serius.
Merasa disebut namanya suster Talia yang duduk di sofa ruangan Bunda Khadijah menoleh. Tadinya suster Talia ingin mencoba gaun pengantin yang dipesan di Aisyah Galery. Bahkan gaun itu sedang diambilkan oleh Cahaya di lemari khusus.
"Suster Talia, ikut saya sekarang." Akhtar seketika mengajak susterTalia setelah mendapatkan perintah urgent dari dokter Charly.
"Tapi kenapa? Urusanku dengan owner belum selesai, bahkan gaunnya belum aku coba. Dok." Suster Talia menatap Akhtar dengan mata membulat sempurna—seolah meminta penjelasan.
"Ada pasien darurat dan kita harus datang ke rumah sakit sekarang juga. Ini urgent, karena dokter Charly sedang di luar negeri."
"Ok. Tapi bagaimana—"
"Bunda, tolong bawa gaunnya pulang. Setelah urusan di rumah sakit selesai biar dicoba di rumah," pinta Akhtar singkat.
Tanpa menunggu waktu lama Akhtar meninggalkan ruangan Bunda Khadijah, suster Talia pun mengikuti dari belakang. Dengan cepat Akhtar memutar mobilnya lalu, "Suster Talia, ayo masuk!" titahnya. Namun, suster Talia masih berdiri dengan membulatkan mata.
Tin... Tin... Tin...
Akhtar menekan klakson, hingga membuat suster Talia terperanjat dan tersadar dari lamunannya.
"Dok, ini mobil—?"
"Iya. Tolong pakai sabuk pengamannya sekarang! Karena saya akan sedikit kebut.
"Oh. Ok, Dok. Saya juga ingin tahu bagaimana cara Dokter Akhtar kebut pakai mobil ini. Sedangkan do ruang rumah sakit Dokter Akhtar kalem banget, kecuali di runag operasi, cekatan.”
Akhtar menggeleng pelan sambil tersenyum kecil. Setelah melihat suster Talia mengenakan sabuk pengamannya Akhtar segera melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Meskipun tak ingin mengambil resiko besar, tapi posisinya sebagai dokter yang dibutuhkan dalam keadaan mendesak harus tetap sigap jika ada pasien mendesak.
"Wow! Ternyata..." Suster Talia menjeda ucapannya. "Dokter Akhtar itu selain jenius menjadi dokter ahli bedah jantung, dokter kardiologi, tapi juga jago... balap." Suster Talia menoleh pada Akhtar yang sedang fokus nyetir.
Akhtar abai saja dengan setiap pujian yang dilontarkan suster Talia. Karena Akhtar hanya fokus pada jalanan, meskipun mulai sedikit sepi tapi banyak pejalan kaki yang berlalu lalang di jalan Royal Mile. Dan selama di perjalanan suster Talia kerap bertepuk tangan. Gadis itu benar-benar mengagumi cara nyetir Akhtar—kebut, tapi selalu waspada, tahu kapan berbelok dan tahu kapan waktu yang tepat untuk menghindar.
'Dokter Akhtar itu benar-benar low profile. Tidak terlalu kentara jika memiliki banyak kelebihan. Andai saja pemain biola itu menerima dokter Akhtar, pasti sangat beruntung.' batinnya.
Setelah dua puluh menit akhirnya mereka sampai juga di rumah sakit. Akhtar dan suster Talia segera turun, lalu langsung menuju ke ruang rawat inap VIP.
“Dokter Akhtar, selamat datang!” sapa Profesor
Edward.
Profesor Edward menyalami Akhtar dan suster Talia—menyambut ramah. Setelah itu mereka mulai obrolan inti pada pertemuan mendesak itu.
"Beliau Tuan Arman Wijaya. Beliau memasuki usia enam puluh delapan tahun. Saat beliau mengontrol beberapa usahanya di sini, serangan jantung mendadak menyerang hingga membuat beliau dilarikan di rumah sakit. Dan sekarang tugas Anda, Dokter Akhtar tolong amati apa yang membuat jantung beliau tidak normal." Begitulah papar dokter Edward sambil memberikan hasil EKG.
"Baiklah, Prof. Saya akan melakukannya bersama suster Talia. Setelah pengamatan saya selesai saya akan melaporkan kepada Anda tindakan apa yang harus dilakukan," putus Akhtar kemudian. "Tapi... Apa beliau datang bersama keluarga? Misal... istri atau anak?" Akhtar mengernyitkan keningnya.
Profesor Edward menarik napas berat, "Beliau... sendirian."
"Bagaimana bisa?” tanya Akhtar dengan nada sedikit meninggi. “Emm... maksud saya apa sebelumnya tidak merasakan sakit nyeri di dada sebelum berangkat? Atau—" Akhtar menjeda ucapannya.
"Tidak ada keluhan apapun. Sehingga istrinya membiarkan beliau berangkat sendiri tanpa ada dampingan dari keluarga. Dan saya dengar dua cucu lelakinya masih usia muda, belum memahami apapun tentang bisnis dan juga masih sekolah SMA."
Akhtar manggut-manggut—paham. Setelahnya Profesor Edward meninggalkan Akhtar di ruangan itu. Akhtar mengalihkan tatapannya pada Tuan Arman yang masih memejamkan mata dengan rapat. Akhtar menarik kursi, lalu duduk di sisi brankar.
"Suster Talia, tolong ambilkan stetoskop saya di ruangan saya. Saya lupa mengambilnya lebih dulu karena terlalu terburu-buru." Akhtar mengatupkan kedua tangannya di atas dada dan diakhiri dengan senyuman tipis.
"Ok, siap! Dok." Suster Talia sangat mengerti, tanpa protes dan membantah ia langsung pergi.
Akhtar menatap lekat wajah Tuan Arman. Ada rasa kasihan, tetapi ada juga rasa yang tiba-tiba mengganjal pikirannya.
"Seperti wajah orang Indonesia," gumamnya lirih. "Namanya Arman Wijaya dan dua cucunya masih sekolah SMA. Orang mana sih sebenarnya? Kenapa aku merasa tidak asing dengan wajahnya."
Suster Talia kembali dan seketika memberikan stetoskop itu pada Akhtar. Tanpa harus menunggu waktu lama, Akhtar mengambil stetoskop itu, lalu memasang eartips di kedua telinganya. Setelah terpasang Akhtar mulai menekan chestpiece di atas dada Tuan Arman untuk mendengarkan diafragma dan ritme jantung Tuan Arman.
"Memang ada masalah yang membuat serangan jantung mendadak. Tapi... Suster Talia, menurutmu apa kita bisa melakukan tindakan selanjutnya tanpa harus memberitahu keluarga Tuan Arman?" tanya Akhtar sambil melirik suster Talia yang berdiri di sisi kanannya.
"Kita tidak bisa melakukan tindakan apapun kecuali memberitahu kondisi Tuan Amar pada pihak keluarga lebih dulu, Dok. Karena memang kita tidak memiliki wewenang itu, kan. Jangan sampai terjadi sesuatu saat di ruang operasi nanti, dan kita malah dituntut pihak keluarganya. Misal... Malapraktik."
Deg.
Hening...
‘Ya, benar yang di katakan suster Talia. Tidak boleh gegabah dalam mengambil keputusan. Tunggu sampai beliau sadar,’ batinnya.
Akhtar beranjak dari duduknya, lalu keluar dan memanggil perawat jaga. Namun, tak nampak sekalipun perawat jaga di siang itu. Akhtar kembali masuk, meminta suster Talia untuk memanggil dua perawat.
“Kenapa kita tidak menjaganya saja, Dok? Kenapa harus meminta perawat lain?”
“Kita harus pulang,” jawab Akhtar singkat tanpa menoleh pada suster Talia.
“K-kita? Maksud Dokter Akhtar?” tanya suster Talia lagi dengan mata membulat sempurna.
Pertanyaan suster Talia sukses membuat Akhtar menoleh dan memutar bola matanya malas. Ingin rasanya menjitak kepala suster Talia yang lemot, tapi takut tak sopan. Hingga akhir nya Akhtar hanya menghela napas berat, menahan kesalnya.
“Katanya tadi mau cobain gaun. Bundaku pasti sudah sampai di rumah, karena ini sudah jam makan siang. Ayo!” ajak Akhtar setelah melirik jam yang menempel di dinding—atas brankar.
Suster Talia menepuk keningnya pelan, “Oh iya, maaf, Dok. Solanya saya lupa.”
Akhtar hanya menggeleng saja. Tidak lama kemudian dua perawat yang diminta secara khusus untuk menunggu Tuan Arman datang. Dengan bergerak cepat Akhtar dan suster Talia menuju ke tempat parkiran.
🌹🌹🌹🌹🌹🌹
“Memangnya apa yang ingin Hubby sampaikan pada Arjuna dan Akhtar?” tanya Bunda Khadijah sambil sibuk meletakkan menu makan siang di atas meja makan.
Abi Yulian yang tadinya membantu Bunda Khadijah seketika terhenti, lalu menghela napas sesaat sebelum menjawab pertanyaan sang istri.
“Emm... Besok lusa Hubby memutuskan untuk kembali ke Medan. Hubby sudah mengurus beberapa kontrak kerja di perusahaan sampai lima bulan ke depan. Dan besok Hubby akan memberikan surat pengunduran diri di kampus.”
“Tapi, apa keputusan itu tidak terlalu cepat? Kasihan Akhtar, dia habis patah hati loh,” ucap Bunda Khadijah lirih.
“Hidup itu sudah pasti akan terus berjalan. Dan roda itupun akan terus berputar, kecuali waktu itu tiba... Kematian.” Abi Yulian menatap sang istri begitu dalam. “Hubby ini semakin hari semakin tua. Entah di usia berapa kita tidak pernah tahu kapan kematian itu tiba. Dan sebagai orang tua kita harus bisa membuat Akhtar menjadi laki-laki yang lebih kuat. Neng tahu, kan, maksud Hubby? Jangan terlalu memanjakannya.”
Deg.
Seketika kaki terasa berat untuk melangkah.
Bersambung...