Hannah, seorang perempuan yang tuli, bisu dan lumpuh. Ketika melihat perut Hannah terus membesar, Baharudin—ayahnya—ketakutan putrinya mengidap penyakit kanker. Ketika dibawa ke dokter, baru diketahui kalau dia sedang hamil.
Bagaimana bisa Hannah hamil? Karena dia belum menikah dan setiap hari tinggal di rumah.
Siapakah yang sudah menghamili Hannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11.
Warung makan SEDAP sore itu seperti biasanya: ramai, hangat, dan hidup. Aroma bumbu tumis dan gulai menyeruak keluar hingga ke tepi jalan, membuat siapa pun yang melintas langsung menoleh dan tergoda. Suara pengunjung yang bercengkerama, suara spatula menghantam wajan, dan gelak tawa kecil dari pelanggan menjadi musik pengiring khas tempat itu.
Waktu menunjukkan jam pulang kerja. Orang-orang datang silih berganti, sebagian besar terlihat masih mengenakan seragam, menggandeng tas belanja atau anak kecil. Mereka menyapa Hannah, memuji masakannya, dan beberapa melambaikan tangan kepada Yasmin yang berdiri dengan semangat di dekat etalase.
Yasmin, dengan rambut dikepang rapi dan pita merah muda di ujungnya, sedang berdiri dengan tegap menyambut pembeli. Senyum lebarnya menyebar seperti sinar mentari sore yang hangat. Bibirnya yang mungil tak pernah lelah mengucapkan, "Terima kasih," dan "Selamat datang." Suara lembutnya membuat para pelanggan tersenyum, dan tak sedikit yang memuji betapa sopan dan cerdasnya bocah itu.
Dari dalam mobil, Arka memperhatikan semua itu dalam diam. Matanya menangkap gerak-gerik Yasmin, dan seulas senyum tersungging di bibirnya.
"Anak yang pintar," gumamnya pelan, hampir seperti doa yang terselip di tengah angin sore. Lalu, dia membuka pintu mobil dan turun.
Langkahnya mantap, tapi hati Arka tak bisa memungkiri ada sesuatu yang bergolak. Sesuatu yang asing tapi tidak mengganggu—lebih mirip desir rasa nyaman yang pelan-pelan menyusup tanpa izin.
Begitu menginjakkan kaki di teras warung, sebuah suara nyaring menyambutnya.
"Selamat sore ... selamat datang di warung makan Sedap!" ujar Yasmin dengan suara lantang dan senyum lebar. Namun, tak butuh waktu lama sebelum matanya membelalak.
"Eh, Om Arman!"
Arka sedikit terkejut. Bukan karena disapa, tapi karena nama yang dipanggil. Jantungnya berdetak pelan.
"Yasmin mengenal Arman? Dari mana? Seberapa dekat mereka?" batin Arka
"Om, mau makan? Ayo, aku kasih tahu mana menu terbaik buatan Mama!" seru Yasmin tanpa memberi kesempatan Arka bicara.
Tangannya yang kecil dan hangat menggandeng jari Arka yang masih kaku karena keheranan. Arka pun hanya bisa mengikuti gadis kecil itu masuk ke dalam. Ia merasa seperti terseret oleh semangat kecil yang terlalu tulus untuk ditolak.
Saat mereka tiba di dalam, Yasmin melihat kakeknya sedangmembersihkan meja, bekas pelanggan.
"Kakek! Kakek! Kenalkan ... ini Om Arman," seru Yasmin bangga, seperti memperkenalkan tamu agung.
Pak Baharuddin menurunkan korannya dan menatap pria yang berdiri di hadapannya. Matanya menyipit sedikit, mengamati dengan seksama. Ada kerutan di keningnya, namun tak lama kemudian dia tersenyum hangat dan berdiri menyambut. Keduanya berjabat tangan.
"Salam kenal ... eh, panggil apa, ya, biar terdengar akrab?" tanya Pak Baharuddin ramah.
"Bapak bisa panggil saya Arka," jawab Arka sopan.
"Loh... bukan Arman?" Pak Baharuddin sedikit membelalak. Kerutan tadi makin dalam.
Arka terkekeh pelan, mengangguk. "Saya bukan Arman, Pak. Tapi Arka. Arman itu saudara kembar saya."
Pak Baharuddin terkesiap sebentar, lalu tertawa kecil dan menepuk dahi. "Walah, pantesan. Pantas saya merasa ada yang beda dari gayanya. Maaf, maaf, saya sudah salah orang."
Yasmin mendongak ke arah Arka, matanya besar dan jernih, dipenuhi rasa malu yang lucu.."Jadi ... Om ini bukan Om Arman?" tanyanya dengan suara kecil.
"Iya," jawab Arka, menekuk badan sedikit agar sejajar dengan tinggi Yasmin. "Kenalkan, aku Arka. Siapa nama nona cantik dan cerdas ini?" tanyanya pura-pura tak tahu, suaranya dibuat selembut mungkin.
"Aku Yasmin," jawab gadis kecil itu sambil menjulurkan tangan mungilnya untuk berjabat tangan. "Wajah Om sama seperti Om Arman. Makanya aku jadi salah."
Arka menjabat tangannya sambil tersenyum tulus. "Mungkin lebih tepatnya mirip, Yasmin. Kami memang kembar, tapi tidak seratus persen sama."
Pak Baharuddin yang mendengar itu langsung tertarik. Ia duduk kembali di kursinya, kali ini memandang dengan rasa ingin tahu.
"Apa bedanya?" tanya Yasmin dengan rasa penasaran yang murni, matanya membulat sempurna seperti dua butir kelereng bening. Ia menatap Arka lekat-lekat, seolah mencoba menemukan sendiri perbedaan yang dimaksud.
Di sampingnya, Pak Baharuddin hanya tertawa kecil sambil mengelus dagunya. “Ya, betul juga. Kalau nanti ketemu kembarannya, biar nggak salah peluk,” celetuknya.
Arka tersenyum lebar, kemudian duduk bersandar di kursi kayu panjang yang mulai menghangat oleh sinar senja. Suasana warung yang ramai seakan meredup di sekelilingnya, menyisakan hanya mereka bertiga dalam percakapan ringan namun menyenangkan.
“Warna kornea mata Om dan Om Arman beda,” ujar Arka sambil menunjuk matanya. “Terus, Om Arman punya tahi lalat kecil di bawah mata, Om nggak. Dan ... lubang hidung Om Arman lebih besar, soalnya dia dari kecil doyan ngupil.”
Mendengar itu, Yasmin langsung tertawa terpingkal-pingkal. Gelak tawanya pecah seperti letusan kembang api kecil, jujur dan renyah.
“Aku juga suka ngupil!” katanya bangga. “Mama dan Kakek sering protes. Katanya, kalau mau ngupil, ya, pas mandi sekalian. Tapi menurut aku, ngupil itu pekerjaan paling enak. Bisa bikin puas!”
Arka tergelak. Tawanya bukan sekadar karena lelucon Yasmin, tapi juga karena sosok anak kecil itu mengingatkannya pada Arman. Cara bicara yang blak-blakan, ekspresi spontan, dan logika polos yang kadang bikin takjub. Bahkan suara tawa Yasmin mengalir seperti sungai kecil yang membawa kesejukan bagi hatinya yang sebelumnya muram.
“Warna mata Om Arka sama kayak punya aku, lho!” lanjut Yasmin sambil mendekatkan wajahnya, menatap dalam-dalam mata Arka. “Cokelat muda.”
Arka membeku sesaat. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi ia tak tahu kenapa. Ia menatap mata Yasmin yang bulat dan bersinar, dan seketika seperti melihat bayangan masa kecil seseorang yang ia kenal—ibunya.
“A ... iya. Mata kamu sangat cantik,” puji Arka dengan suara lebih rendah, lembut. Pandangannya tak bisa lepas dari wajah Yasmin.
Pipi chubby Yasmin memerah saat ia tersipu malu. Lalu, dia buru-buru mengganti topik dengan antusias.
“O, iya! Om, kan, mau makan!” serunya. “Aku kasih rekomendasi cumi asam pedas dan lobster pedas. Itu menu kesukaan aku. Tapi, ini jarang banget ada. Karena susah cari bahannya. Biasanya cuma seminggu sekali ada!”
“Kalau begitu, Om beli dua-duanya. Cumi dan lobster pedasnya,” kata Arka sambil tersenyum. Tangannya terulur dan mengusap pipi Yasmin penuh sayang. Sentuhan yang spontan, tapi tulus. Seakan ia sudah mengenal anak itu lebih dari sekadar beberapa menit.
Tepat di saat itu, Hannah muncul dari dapur menggunakan kursi roda. Ia mengenakan apron polos yang warnanya senada dengan blouse abu lembut yang ia kenakan. Tangannya membawa wadah besar berisi lobster segar berwarna kemerahan. Butir-butir keringat menempel di pelipisnya, namun tak sedikit pun mengurangi pesona wajahnya. Malah, ada keindahan alami yang justru terpancar saat ia sedang sibuk.
Arka menoleh, dan dunianya terasa melambat. Untuk sesaat, suara ramai warung seolah menjauh. Yang tersisa hanya detak jantungnya yang tiba-tiba berdentum lebih keras, dan bayangan Hannah yang bergerak tenang, hangat, seperti pusat gravitasi dari segala kelelahan yang ia rasakan hari ini.
Senyum kecil muncul di wajahnya. Senyum yang tidak dibuat-buat, tidak disadari. Senyum dari seseorang yang sedang dikuasai rasa kagum tanpa alasan yang pasti.
"Kenapa hanya dengan melihatnya saja, rasanya seperti semua masalah bisa mereda?" batin Arka, menatap Hannah tanpa berkedip.
Wanita itu meminta salah satu pegawainya menata lobster di etalase. Cahaya lampu kuning yang menggantung di langit-langit memantulkan kilau di rambut Hannah yang dikuncir sederhana. Cantik. Tapi bukan cantik yang glamor—cantik yang tenang, dewasa, dan menghangatkan.
Tanpa bisa dicegah, Arka merasa hatinya mencelos pelan. "Apa aku jatuh cinta kepada Hannah?" gumamnya dalam hati.
Arka belum tahu pasti apa yang sebenarnya ia rasakan. Tapi saat Yasmin menyandarkan kepala ke lengannya sambil terus bercerita, dan Hannah menoleh sambil tersenyum ke arahnya, Arka merasa hatinya mulai menyukai mereka. Tanpa sadar, ia merasa nyaman berada di dekat mereka, seolah-olah sudah akrab sejak lama. Mungkin, tanpa ia sadari, perasaannya sudah tumbuh duluan sebelum pikirannya sempat menyadarinya.
***
❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
siapakah pelaku yg udah buat trauma hannah 🤔
kalo krna trauma berarti hannah masih bisa disembuhkan ya,,suara yg hilang sm kelumpuhan kakinya dn pendengarannya kan bisa pake alat dengar 🤔
masih banyak yg blm terjawab dn bikin makin penasaran 🤗🤗