Ganesha percaya Tenggara adalah takdir hidupnya. Meski teman-temannya kerap kali mengatakan kepada dirinya untuk sebaiknya menyerah saja, si gadis bersurai legam itu masih tetap teguh dengan pendiriannya untuk mempertahankan cintanya kepada Tenggara. Meski sebetulnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa dia hanya jatuh cinta sendirian.
"Sembilan tahun mah belum apa-apa, gue bisa menunggu dia bahkan seribu tahun lagi." Sebuah statement yang pada akhirnya membuat Ganesha diberikan nama panjang 'Ganesha Tolol Mirella' oleh sang sahabat tercinta.
Kemudian di penghujung hari ketika lelah perlahan singgah di hati, Ganesha mulai ikut bertanya-tanya. Benarkah Tenggara adalah takdir hidupnya? Atau dia hanya sedang menyia-nyiakan masa muda untuk seseorang yang bahkan tidak akan pernah menjadi miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 27
Tidak akan ada yang tau betapa senangnya Tenggara melihat kalung pemberiannya melingkar cantik di leher Ganesha. Sikap gadis itu memang belum kembali seperti semula. Masih slow respons, bicara sekenanya, tak lagi ribut memberondongnya dengan chat-chat absurd sekadar menunjukkan tempat makan baru yang dilihatnya di explore Instagram, atau ngotot ikut nongkrong bersama Jeremy dan Mathias. Tetapi setidaknya, dengan dipakainya kalung itu, Tenggara sudah cukup merasa dihargai.
Sore itu, langit yang membentang berwarna keemasan, menyinari ribuan kepala yang berkumpul di lapangan utama. Tenda-tenda kecil berjajar rapi di sisi kiri dan kanan, menawarkan berbagai macam makanan ringan--corndog, dimsum mentai, minuman bersoda, juga kopi susu dalam kemasan botol-botol bening. Lampu-lampu gantung menyala temaram, dipasang merambat dari tiang ke tiang, menciptakan suasana hangat meski angin sore mulai terasa dingin menerpa kulit.
Dari beberapa guest star, Zaloria kembali didapuk untuk menjadi performer terakhir yang tampil. Kehadiran mereka masih dipercaya menjadi magnet untuk menahan para mahasiswa membubarkan diri. Dan terbukti, meski sudah berjam-jam acara digelar, lapangan utama masih dipadati para mahasiswa dengan semangat yang kian berkobar.
Di atas panggung besar yang dihias backdrop tematik dan layar LED yang menampilkan visual-visual estetik, Tenggara bersiap memulai lagu terakhir untuk menutup acara. Dia bergerak lebih dekat ke arah mic stand dan membenarkan letak gitar akustiknya. Bibirnya hampir menempel di mic, sedangkan matanya tak lepas menatap lekat wajah Ganesha yang sore itu dilimpahi lebih banyak cahaya. Di tengah hiruk-pikuk, gadis itu seperti satu titik tenang.
Ketika intro mulai mengalun di udara, riuh suara penonton semakin besar terasa. Namanya dan Ganesha berkali-kali diteriakkan dengan nada penuh sukacita. Membuatnya tak kuasa menahan senyum sebelum bibirnya terbuka dan mulai menyanyikan bait pertama yang merupakan bagiannya.
Dari awal lagu sampai pertengahan, Tenggara berkali-kali mengalihkan pandangan. Ketika gilirannya menyanyi, dia akan memandang jauh ke barisan penonton, menikmati euforia yang mereka ciptakan dan seakan membangun interaksi lewat bait-bait yang dia nyanyikan. Lalu saat giliran Ganesha yang menyanyi, dia akan memandang ke arah gadis itu. Menatap lekat, seolah-olah ia merupakan titik pusat.
Tiga perempat lagu, Ganesha mulai berjalan mendekat ke area pinggir panggung. Tenggara mengikuti ke mana gadis itu bergerak. Dalam beberapa performance mereka akhir-akhir ini, Ganesha memang lebih aktif berinteraksi dengan penonton. Satu hal yang Tenggara pikir merupakan kemajuan yang cukup patut diapresiasi. Sampai kemudian dia sadar bahwa hatinya tak cukup kuat menghadapi segala kemungkinan yang bisa saja terjadi.
Saat menemukan Ganesha berjongkok untuk menyambut uluran tangan salah seorang mahasiswa, Tenggara merasa dadanya panas dan muncul hasrat untuk melempar mic ke kepala mahasiswa berjas almamater warna gonjreng itu.
Kemudian saat tangan halus Ganesha yang berhasil digapai malah dikecup tanpa permisi, muncul hasrat lain di benak Tenggara yang lebih liar dan menakutkan: dia ingin membunuh mahasiswa itu, memutilasi tubuhnya, memasukkan potongan-potongannya ke dalam beberapa kantong kresek, lalu menyebarnya ke puluhan titik agar sulit dikumpulkan kembali.
Pikiran gila itu semakin menjadi-jadi saat dengan mata kepalanya sendiri, dia melihat Ganesha tidak melayangkan protes. Gadis itu hanya tersenyum, kembali berdiri dan melanjutkan bagiannya seolah tidak ada yang terjadi. Sementara mahasiswa lancang yang tadi sudah berteriak kegirangan, melompat-lompat dengan kedua tangan mengepal tinggi di udara. Lagaknya seperti habis memenangkan undian ratusan juta.
Begitu lagu selesai, Tenggara tidak membuang waktu lebih banyak untuk berbasa-basi. Dia hanya mengucapkan terima kasih sekenanya, lalu pamit undur diri. Menyerahkan urusan penutupan acara kepada MC dan bergegas menuruni tangga menuju backstage. Sinar kekuningan dari panggung perlahan memudar, tergantikan dengan cahaya lampu neon putih terang yang berpendar memenuhi ruangan.
Tenggara berjalan cepat menuju kursi-kursi yang telah disiapkan. Gitar akustik diletakkan asal di salah satu kursi. Botol air mineral disambar, dibuka tutupnya dan isinya langsung ditenggak sampai setengah habis.
Suara langkah menyusul sepersekian detik setelahnya. Tenggara memutar badan dengan pipi menggembung berisi sisa air yang belum sepenuhnya tertelan. Sorot matanya tajam menghujam sosok Ganesha yang muncul dengan wajah datar tanpa dosa. Entah kenapa melihat gadis itu tampak tenang malah semakin membuat emosi Tenggara naik ke ubun-ubun.
"Duduk," titahnya. Botol setengah kosong dia campakkan di atas meja. Satu tangannya bergerak cepat menarik kursi, lalu mendaratkan di hadapan Ganesha.
Ganesha yang masih tidak menyadari bahwa dirinya telah tak sengaja membangunkan singa di dalam diri Tenggara, mendaratkan bokongnya di kursi itu dengan patuh. Dia bahkan santai meraih air mineral dan menenggaknya sedikit, sebelum mengoceh panjang lebar tentang performa mereka sore ini.
Nadanya terdengar antusias, membuat Tenggara semakin kepanasan.
"Stop," cegah Tenggara ketika bibir Ganesha hendak merepet lagi.
Menurut, Ganesha tak jadi berbicara. Pada momen inilah dia baru sadar aura yang Tenggara pancarkan terasa begitu suram. Lalu dia bertanya-tanya, apa gerangan yang mengusik pikiran lelaki itu kali ini? Karena jujur saja Ganesha merasa segala sesuatunya berjalan sangat baik.
"Kenapa lo biarin tangan lo dicium tadi?" todong Tenggara tiba-tiba.
Alis Ganesha refleks mengerut, perpaduan gambaran reaksi terkejut dan bingung atas pertanyaan tersebut.
Kendati mulai kesal, Ganesha tetap mencoba menyikapi Tenggara dengan tenang. Lembut ia menjawab, "Kan itu cuma bagian dari fanservice. Lagian cuma cium tangan doang."
"Cium tangan doang kata lo?" Tenggara menyentak, nada suaranya tanpa sadar telah naik satu oktaf. "Kali ini boleh jadi cuma cium tangan. Tapi siapa yang tahu apa yang bakal mereka minta nanti? Cium pipi? Elus rambut? Tukeran nomor WhatsApp?"
Demi apa pun, Ganesha speechless. Di matanya, ini adalah hal sepele. Dulu Tenggara juga sering kok melakukan skinship dengan fans mereka selama manggung, entah laki-laki ataupun perempuan. Bersalaman, high five, fist bump, sampai mengusap kepala fans remaja juga pernah. Dan Ganesha sama sekali tidak pernah protes. Dia selalu ingat mantra andalan Tenggara, bahwa fans adalah yang utama.
Jadi, kenapa sekarang Tenggara bersikap terlalu over ketika dirinya hanya mencoba mengikuti apa yang lelaki itu lakukan dulu?
"Jangan kayak gitu lagi."
"Kak!" Cukup sudah, Ganesha tidak kuat menahan diri. Kediktatoran Tenggara kali ini betulan menyulut emosi. Dia bangkit dari kursi, menatap lelaki di depannya dengan sorot yang nyalang, menantang. "Lo ini sebenernya kenapa, sih? Kenapa tiba-tiba marah-marah nggak jelas begini?"
"Gue nggak suka lihat interaksi lo sama fans yang berlebihan."
"Apanya yang berlebihan, sih?" Gara-gara Tenggara tidak santai, Ganesha ikutan ngotot juga saat bicara. "Kalau dibandingin sama gue yang berkali-kali demam gara-gara lo ajak ujan-ujanan waktu mentas, ini nggak ada apa-apanya. Lo juga lupa kalau gue pernah sampai harus rawat inap karena maksa tetap manggung padahal kondisi badan lagi nggak fit, cuma karena lo bilang nggak mau ngecewain fans? Lupa?"
Tenggara bungkam. Tidak satu sanggahan pun dia berikan.
"Sadar lah, Kak. Dari dulu lo yang selalu bilang kalau fans itu segalanya. Lo yang selalu doktrin gue kalau apa pun bisa kita lakuin asal fans senang. Sekarang giliran gue wujudin, kenapa lo malah marah? Kenapa?"
Suara Tenggara masih tidak bisa lolos dari tenggorokan. Dia membeku di tempat, merasakan setiap kata yang keluar dari bibir Ganesha, menampar wajahnya kuat-kuat.
Sementara Ganesha sendiri sudah habis dilahap amarah. Dadanya naik turun dengan napas tak beraturan. Matanya mulai memanas, hangatnya merambat sampai ke kepala, serasa mendidih seluruh sel di otaknya sana.
"Aneh, egois, berengsek, bajingan! Gue benci sama lo, Kak!" Dan rentetan kata umpatan itu Ganesha pilih untuk mengakhiri perdebatan. Secepat kilat dia menyambar tas tangan dari atas meja penyimpanan, menggenggam talinya erat dan melangkah cepat.
Tidak ada hasrat untuk mengikuti bisikan setan yang mulai terdengar. Tak dia hiraukan segala hasutan sesat yang memintanya untuk putar balik dan minta maaf. Sore itu, ketika cahaya keemasan senja perlahan mulai pudar dan menggelap, Ganesha mantap mengayunkan langkahnya meninggalkan Tenggara bersama ketegangan yang entah kapan akan mereda.
Bersambung...
Weh, Kafka jengkel setengah mampus inu😅