Dia terjerat dalam sebatas ingatan dimana sebuah rantai membelenggunya, perlakuan manis yang perlahan menjeratnya semakin dalam dan menyiksa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suami?
Entah berapa lama Valeri tertidur. Saat bangun dia melihat matahari pagi menyinari kamar yang dia tempati.
Valeri mengerutkan keningnya saat kini dia tak berada di kamar yang kemarin dia dapati saat bangun. Saat ini dia berada di sebuah kamar yang luas dengan ornamen khas kerajaan yang sering dia lihat di film- film, mulai dari lemari bahkan ranjang yang kini dia tempati.
Valeri mendongak dan menemukan tinggi plafon yang jauh diatasnya dengan lampu kristal yang menggantung indah di tengah ruangan.
Valeri bangun dari ranjang luas yang dia tempati, saking luasnya mungkin bisa menampung lima orang dewasa.
Kapan dia pindah kesana, bukankah seingatnya dia masih berada di rumah sakit?
Valeri menurunkan kaki tanpa alasnya hingga menyentuh lantai marmer yang dingin. "Dimana ini?" jelas saja dia bingung. Dia tak mengenal tempat tersebut.
Matanya kembali berpendar hingga pintu besar di depan sana terbuka menampakan sosok yang dia ketahui sebagai suaminya.
Suami?
Apakah dia benar-benar sudah menikah?
"Kamu sudah bangun?" Mario berjalan mendekat.
"Kenapa aku disini?" seingatnya dia masih di rumah sakit.
"Kamu tidur sangat lelap, sampai susah bangun."
"Maksudmu kau memindahkan aku saat aku tidur?"
"Hm." Pria itu hanya berdehem, lalu berjalan ke arah sebuah pintu yang Valeri kira sebuah kamar mandi. Tanpa rasa malu Mario membuka pakaiannya di depan Valeri yang langsung membalik tubuhnya.
"Apa yang kau lakukan! Kenapa membuka baju sembarangan!" jelas Valeri terkejut dengan yang dilakukan Mario.
Namun Mario menaikan alisnya dan justru berjalan mendekat. "Kenapa?"
"Ti- tidak sopan!"
Mario terkekeh. "Aku membukanya di depan istriku, yang bahkan terbiasa menikmati tubuhku."
Valeri mengerjapkan matanya saat Mario berdiri tegak di depannya. Tubuhnya yang setengah telanjang nampak jelas di matanya, tangan berotot dan dada bidang pria itu muncul di depannya terlihat maskulin dan segar.
"A-aku tidak ingat." wajahnya memerah seperti kepiting rebus.
"Mau mencoba menyentuhnya? Mungkin kau akan ingat?" Mario meraih tangan Valeri lalu meletakannya di perutnya.
Valeri menelan ludahnya kasar, lalu menarik diri saat tubuhnya berdesir hebat, kulitnya merinding dengan bulu romanya yang terasa berdiri.
Valeri mencoba melakukan apa yang Mario katakan dengan mengingat apakah dia pernah merasakan hal tersebut, namun nihil, dia tetap merasa asing dengan perlakuan tersebut.
"Apa kau berbohong?" tanyanya dengan wajah mendongak.
Mario tersenyum tipis, entah kenapa melihat itu Valeri justru merasa sedikit takut. "Kamu ingin mencoba hal lain? Melakukan kegiatan panas misalnya?" tangan besar itu menelusupkan rambut tergerai Valeri ke belakang telinga. Nampak sekali wajah Valeri sangat pucat seolah tak dialiri darah. Tangan besar itu turun ke leher lalu mengusap disana beberapa saat. "Bersiaplah untuk sarapan," ucap Mario, lalu pergi melanjutkan niatnya untuk ke kamar mandi.
Valeri melihat pintu kamar mandi yang tertutup, lalu menyentuh dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Nafasnya seolah baru saja tercekik, lalu di lepaskan, hingga dia butuh banyak udara untuk dia hirup. Padahal Mario bahkan hanya mengusap lehernya. Lalu kenapa dia tak bisa menghindar, dan hanya berdiri dengan kaku, seolah tak memiliki tenaga bahkan hanya untuk mundur satu langkah pun.
Perasan apa ini?
Valeri melihat kembali ke arah pintu kamar mandi, sebelum Mario kembali dia memutuskan untuk keluar kamar.
Saat pintu kamar terbuka, Valeri tak bisa tak ternganga dengan suasana sekitarnya. Rumah ini benar-benar mewah dan besar dengan pilar-pilar besar dan tinggi di beberapa titik yang menjaga kekokohan bangunan.
Tatapan Valeri berpendar dan melihat banyak pintu diantara lorong menuju kamarnya, hingga dia tiba di ujung tangga lalu melihat seberapa tingginya tangga tersebut, tangga melingkar itu berdiri di tengah bangunan dengan tinggi enam meter dari lantai.
Apa ini tangga yang di maksud Mario?
Apakah dia benar-benar jatuh disana?
Baru saja akan melangkah, seseorang di belakang mencekal lengannya.
Valeri menoleh dan menemukan Mario yang sudah berdiri di belakangnya. Lagi- lagi pria ini datang tanpa dia sadari.
"Kamu berjalan tanpa alas kaki?" tanyanya dengan wajah dingin seperti sebelumnya.
Valeri melihat Mario sudah kembali rapi dengan stelan jas formalnya. Cepat sekali pria itu bersiap. Atau apakah dia melamun terlalu lama?
Tanpa di duga Mario berjongkok dan mengulurkan tangannya pada pelayan yang entah sejak kapan ada disana dan siap dengan sandal rumahan yang berbulu dan nampak hangat.
Valeri mengenakan sandal tersebut hingga rasa hangat menjalari telapak kakinya.
"Terimakasih," cicitnya.
Mario bangkit dan mengulurkan tangannya. "Jangan pernah berjalan tanpa alas kaki!" titahnya dengan tegas.
Valeri mengangguk dan menyambut uluran tangan Mario untuk menuruni tangga.
"Apa aku jatuh disini?" tanya Valeri dengan tatapan pada anak tangga satu persatu.
"Hm." hanya deheman, membuat Valeri menoleh, dan kembali melihat wajah datar Mario.
Tiba di meja makan seorang pelayan menarik kursi untuk Mario hingga pria itu duduk. Namun saat Valeri akan pergi menuju kursi tangannya masih tertahan oleh Mario. "Duduk disini!" katanya dengan menepuk pahanya.
Ucapan itu jelas bernada perintah, hingga Valeri mau tak mau menurut, apalagi genggaman tangan Mario yang entah kenapa terasa mengencang seolah dia siap meremukkan tulangnya.
Tidak masalah, bukankah dia suaminya?
Dengan gerakan kaku Valeri mulai mendekat dan duduk di pangkuan Mario. "Ayo suapi aku!" Valeri mendongak dengan wajah sedikit terkejut, dia merasa familiar dengan perkataan itu.
"Ayo suapi aku!"
"Duduk di pangkuanku!”
"Kemarilah!"
"Duduk disini!"
Valeri memejamkan matanya saat bayangan muncul samar- samar. Valeri meremas rambutnya saat merasakan kepalanya berdenyut sakit, bahkan tubuhnya oleng hampir terjatuh. Namun saat dia merasakan seseorang menahan pinggangnya Valeri menegakkan kembali tubuhnya.
Tangan Mario melingkari perutnya dan menyandarkan tubuhnya di dada bidangnya. "Kamu ingat sesuatu?" tanyanya masih dengan intonasi tenang.
Valeri menggeleng.
"Tidak perlu memaksakan diri. Kamu akan ingat jika sudah waktunya." Valeri merasakan usapan tangan basar Mario di rambutnya. "Pengecualian untuk hari ini, aku yang akan menyuapimu," ucapnya lalu mengambil makanan untuk dia sodorkan pada Valeri.
Dengan patuh Valeri membuka mulutnya, dan mulai mengunyah, hingga dia kembali merasakan usapan di kepalanya. "Gadis pintar." Valeri mendongak dan menatap lamat- lamat wajah pria di depannya. Jika adegan samar- samar itu adalah ingatannya di masa lalu, mungkinkah benar pria di depannya adalah suaminya?
"Ada yang ingin aku tanyakan?" ucap Valeri saat Mario meletakan sendoknya, tanda mereka mengakhiri sesi makan berdua dengan sendok dan piring yang sama tentunya.
"Hm. Minum dulu susumu!" Mario menyodorkan segelas susu padanya, hingga lagi- lagi Valeri patuh meminum susu tersebut.
"Dimana orang tuaku?" gerakan Mario terhenti, namun Valeri masih melihat pria itu berwajah tenang.
"Benar, kamu kehilangan ingatan sejak lima tahun terakhir," ucapnya.
"Orang tuamu meninggal dalam ledakan hotel Starlight tiga tahun lalu."
Bagaikan di sambar petir di siang bolong Valeri tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, hingga wajahnya pucat pasi seolah tak teraliri darah.
....
Peringatan! Ini Dark romance, jangan sampai nanti di depan ada yang bilang adegan terlalu kejam, dan bla, bla, bla.
Suka baca tak suka tinggalkan!