Prolog:
Claretta Fredelina Beryl adalah seorang wanita dewasa yang belum juga menikah di usianya yang ke 28 tahun.
Dan karena itu Letta sering kali di teror dengan pertanyaan "kapan nikah?" Bahkan keluarga besarnya sampai mengatur sebuah perjodohan dan kencan buta untuknya, tapi dengan tegas Letta menolaknya namun tetap saja keluarganya menjodoh-jodohkannya.
Tanpa keluarga Letta ketahui, sebenarnya Letta mencintai seorang pria namun sayangnya pria itu bukanlah pria yang berstatus lajang. Yah, Letta mencintai seorang pria yang sudah menjadi seorang suami. Meskipun Letta mencintai pria itu Letta tidak pernah memiliki niat untuk menjadi orang ketiga dalam hubungan pria itu.
Lalu bagaimana jika tiba-tiba Letta berubah pikiran? Apa yang menyebabkan Letta berani menjadi orang ketiga di rumah tangga yang harmonis itu? Yuk simak ceritanya!
Selamat Membaca Guy's!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leo.Nuna_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 27(Pelan-Pelan Masuk ke Dalam Hati)
Happy Reading (。•̀ᴗ-)✧
⋇⋆✦⋆⋇
“Nona Letta, kenalkan, ini adik saya, Aya,” ucap Zidan memperkenalkan Letta kepada adiknya.
“Salam kenal, Non—”
“Panggil Kakak saja,” potong Letta cepat. Zidan spontan menoleh, menatap Letta dengan bingung. Namun Letta segera menjelaskan, “Aku lebih nyaman dipanggil Kakak daripada Nona. Lagi pula, aku seumuran abang kamu. Dan ya, meskipun aku bos, tapi bukan bos kamu.”
Letta melempar senyum hangat yang membuat Aya merasa lebih nyaman. Gadis itu pun membalas dengan senyuman lebar.
“Oke, Kak...” sahut Aya, meski raut wajahnya tampak sedikit bingung.
“Letta,” sambung Letta sambil mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri lebih akrab. Aya menerima uluran itu dengan senyum tulus. Ada kehangatan yang membuatnya langsung merasa cocok dengan sosok "bos" abangnya itu.
Melihat interaksi mereka, Zidan akhirnya angkat bicara, “Kamu kok bisa di sini, Dek? Habis dari mana?”
Aya mengangkat kantong plastik yang ia bawa dan menjawab polos, “Dari warung. Beras di rumah tadi habis.”
Seketika suasana menjadi sedikit hening. Zidan menunduk, merasa bersalah karena baru saja menikmati sarapan sementara ibu dan adiknya mungkin belum makan apa-apa. Letta pun merasakan hal yang sama—sedih karena tak menyangka kondisi mertuanya seperti itu.
“Jadi kamu belum sarapan?” tanya Letta lembut, menatap Aya dengan penuh kasih.
Aya mengangguk pelan. “Belum, Kak. Ini Aya mau pulang dulu, kasihan Ibu juga belum makan.”
Mendengar itu, Letta makin merasa tak tega. “Kalau begitu, bagaimana kalau kita beli makanan sekalian buat kamu dan Ibu?” tawarnya sambil menoleh ke Zidan.
Aya buru-buru menolak dengan sopan. “Eh, nggak usah, Kak. Habis ini Aya juga bisa langsung masak buat Ibu kok.”
“Tapi kalau gitu kan harus nunggu lagi. Yuk ikut Kakak aja, biar nanti pulangnya bisa langsung makan bareng Ibu,” bujuk Letta dengan senyum sabar.
Aya terdiam, lalu menoleh ke arah abangnya seolah meminta restu. Zidan menangkap tatapan itu, dan begitu ia melirik Letta—yang juga sedang menatapnya penuh harap—ia menghela napas pelan, kemudian mengangguk.
Melihat anggukan itu, Letta dan Aya sama-sama tersenyum bahagia. Di balik perbedaan status dan kenyataan yang harus mereka sembunyikan, setidaknya momen kecil ini mampu menghadirkan kehangatan dalam hubungan mereka.
Setelah mendapat persetujuan dari Zidan, Letta segera meminta Etan untuk mengantarkannya ke restoran terdekat. Zidan masih berdiri di tempatnya, menatap mobil yang perlahan menjauh membawa Letta dan Aya.
Entah mengapa, ada kehangatan yang menyelinap ke dalam hati Zidan saat melihat kedekatan antara istrinya dan adik semata wayangnya. Sementara itu, di dalam mobil, Letta pun merasakan hal yang sama. Ada rasa senang yang sulit dijelaskan saat melihat Aya begitu terbuka padanya.
Tak butuh waktu lama, mereka pun tiba di sebuah restoran. Baru saja hendak masuk, Aya berbisik pelan pada Letta, “Um... Kak, kita cari tempat lain yuk. Di sini pasti mahal-mahal.”
Letta terkekeh pelan melihat ekspresi cemas Aya yang begitu polos. “Sudah, di sini saja. Kalau kita cari lagi, malah makin lama. Sekarang kamu mau pesan apa? Pesan sepuasnya, tenang saja, kakak yang traktir. Anggap ini hadiah dari seorang kakak untuk adiknya,” ucap Letta hangat.
Mata Aya langsung berbinar mendengarnya, meski tak lama kemudian ekspresinya berubah penasaran. “Memang Kakak nggak punya adik?”
Letta menggeleng pelan. “Kakak anak tunggal,” jawabnya lembut.
Mendengar itu, Aya semakin tertarik pada sosok Letta. Di sekolah, dia punya teman yang juga anak tunggal dari keluarga kaya. Tapi berbeda dari Letta, temannya itu sombong dan sulit didekati. Sementara Letta—meski sukses dan terlihat sempurna—tetap ramah dan membumi.
“Berarti enak dong jadi anak tunggal,” komentar Aya polos.
Letta menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Memang, ada enaknya juga. Kakak nggak memungkiri kalau orang tua kakak sayang banget sama kakak, bahkan cenderung memanjakan. Tapi tetap ada nggak enaknya.”
“Emang nggak enaknya apa?” tanya Aya penasaran.
Letta menatap meja sejenak sebelum menjawab, “Sepi. Kadang kakak iri lihat kakak-adik yang bisa bercanda bareng, berantem kecil-kecilan, terus baikan lagi. Kakak selalu berpikir, pasti menyenangkan ya punya saudara.”
Aya menatap Letta lekat-lekat. Ada sesuatu dalam nada suara Letta yang membuat hatinya ikut merasa haru.
“Kalau gitu, Kakak bisa anggap aku sebagai adik Kakak,” celetuk Aya sambil tersenyum manis.
Letta tersenyum hangat, senyumnya bahkan lebih tulus dari sebelumnya. “Oke, Adik Kakak. Kalau gitu, pesan semua yang kamu mau. Buat Ibu juga ya... jangan lupa Abang kamu juga.”
Dengan senang hati, Aya pun memesan makanan yang ia sukai—dan tentu saja, untuk keluarganya di rumah. Bagi Letta, ini bukan sekadar traktiran, tapi awal dari sebuah hubungan yang ia harap akan terus tumbuh, meski kenyataan pernikahannya belum sepenuhnya bisa dibuka ke publik.
Pesanan Letta dan Aya akhirnya selesai lebih cepat, sesuai permintaan Letta. Ia memang sengaja meminta agar dipercepat—tidak tega membiarkan ibu mertuanya dan Aya menunggu terlalu lama dalam keadaan lapar.
Setelah semua makanan yang diinginkan Aya selesai dikemas, Letta pun mengantarkannya pulang. Mobil berhenti di depan rumah sederhana yang tampak hangat dan bersahaja. Begitu turun, Aya langsung menoleh ke arah Letta yang masih duduk di dalam mobil.
“Mampir dulu yuk, Kak,” ajaknya dengan antusias.
Perasaan hangat langsung menyelimuti Letta mendengar ajakan itu. Namun, dengan berat hati ia harus menolak. “Lain kali ya, Aya. Hari ini Kakak ada urusan penting di kantor,” ucap Letta lembut, mencoba memberikan alasan yang masuk akal.
Aya tampak sedikit kecewa dan menunduk. “Maaf ya, Kak… gara-gara aku jadwal Kakak jadi kacau.”
Namun Letta hanya tersenyum tenang. “Kata siapa? Justru Kakak senang bisa ngobrol sama kamu,” ujarnya tulus, membuat Aya kembali menatapnya dengan mata berbinar.
“Lain kali kamu mau nggak kalau Kakak ajak jalan-jalan berdua?” tanya Letta sambil menatap Aya penuh harap.
“Mauuu!” seru Aya penuh semangat, membuat Letta terkekeh senang.
“Kalau gitu, Kakak minta kontak kamu, ya? Biar gampang atur waktunya nanti,” ucap Letta. Tanpa ragu, Aya langsung menyerahkan ponselnya.
Letta sempat memperhatikan ponsel sederhana itu, yang meskipun tampak jadul, masih cukup canggih. Dengan cekatan, ia mengetik nomor ponselnya dan menyimpannya.
“Oke, sudah. Sekarang kamu boleh turun. Jangan lupa makan yang banyak, biar cepat gede,” ujar Letta sambil tertawa kecil.
“Ini udah gede, tahu!” protes Aya, membuat Letta kembali terkekeh geli.
“Kalau begitu, Aya masuk dulu ya, Kak. Makasih banyak untuk hari ini,” ucap Aya sebelum berpamitan.
Letta hanya mengangguk, menatap Aya yang berjalan menuju rumahnya.
Sejujurnya Kakak ingin sekali masuk, ingin ketemu Ibu, minta restunya… Tapi Kakak nggak bisa. Kakak ingin abangmu sendiri yang menggandeng Kakak ke rumah ini—bukan sebagai bosnya, tapi sebagai istrinya, batin Letta lirih, masih menatap punggung Aya yang akhirnya menghilang di balik pintu rumah.
TBC...