NovelToon NovelToon
Lihatlah Aku Dari Nirwana

Lihatlah Aku Dari Nirwana

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Beda Dunia / Cinta Murni / Slice of Life
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: indrakoi

Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CHAPTER 30: Michael Huang

Siang hari ini aku sedang dalam perjalanan menuju klinik dr. Sofia untuk melakukan sesi terapi dan juga konsultasi terkait perkembangan kesehatan mentalku. Namun, di tengah perjalanan, aku melipir sebentar ke warung nasi padang pinggir jalan untuk mengisi ulang tenaga yang hilang setelah melayani pelanggan hingga tengah hari.

Saat merasa bahwa tenagaku sudah pulih kembali, perjalanan dilanjutkan dengan menembus kemacetan jalanan di ibukota. Sebenarnya, hari ini aku ingin membawa motor matic peninggalan Felicia agar bisa melewati padatnya jalan raya dengan mudah. Namun, karena cuacanya benar-benar terik, aku terpaksa mengurungkan niat agar bisa menikmati dinginnya AC mobil yang begitu nyaman.

Tiga puluh menit pun berlalu dan aku masih saja terjebak di jalan ini. Jalan yang sebenarnya sangat lebar, namun sayangnya jumlah kendaraan yang melintas melebihi kapasitasnya. Ada berbagai kendaraan yang bisa kalian temukan di sini. Mulai dari sepeda motor, mobil, hingga truk tronton yang membawa peti kargo raksasa.

Aku rasa, pemerintah daerah harus menentukan berbagai jalur yang bisa dilewati oleh kendaraan tertentu. Misalnya, jalanan pantai utara adalah jalur khusus yang bisa dilewati oleh kendaraan berat seperti truk tronton yang ada di sampingku ini. Sementara, jalanan di wilayah perkotaan adalah jalur yang hanya boleh dilewati oleh kendaraan dengan bobot yang ringan. Dengan begitu, aku yakin kemacetan di kota Andawana bisa teratasi dengan sangat mudah.

Sekian lama melatih kesabaran di antara klakson yang saling bersahutan ini, akhirnya aku bisa masuk ke wilayah Perumahan Dahayu Permai. Sampai di sini, aku bisa menghela napas lega karena tidak perlu lagi berdesakan dengan kendaraan gigantik, ataupun takut mobilku lecet karena kena serempet motor yang berusaha keluar dari kemacetan itu.

Aku menyusuri jalanan perumahan yang suasananya jauh lebih sepi dan asri dibandingkan jalan raya yang baru saja kulewati. Tak sampai 5 menit, aku pun tiba di depan rumah yang sekaligus menjadi klinik psikiater dr. Sofia. Aku langsung turun dari mobil, berjalan dengan cepat ke depan pintu rumahnya, lalu menekan bel yang tertempel di samping pintu.

*Ceklekk* “Wah, anda sudah tiba, ya. Mari masuk!” Ucap dr. Sofia menyambut kedatanganku dengan ramah. Aku langsung saja melepas sandal kulit, lalu berjalan masuk mengikutinya ke dalam.

Ruangan praktik dr. Sofia masih tetap sama seperti sebelumnya. Suasananya sangat bersih, rapi, dan juga sejuk karena adanya AC central yang terpasang di salah satu bagian plafonnya. Seperti biasa, setiap memasuki ruangan ini, aku selalu saja merasa ngantuk karena saking nyamannya. Kayaknya aku bisa tiba-tiba tertidur kalau dari tadi tidak diajak ngobrol sama dr. Sofia.

“Anda nguap terus dari tadi, Pak Nael. Pasti gara-gara tadi malam begadang, ya?” Tanya dr. Sofia karena menyadari bahwa aku tiada hentinya menguap sejak duduk di sofa yang empuk ini.

“Nggak kok. Anda, kan, tahu kalau aku emang suka ngantuk kalau sudah ada di ruangan ini. Nyaman banget soalnya.” Aku menjawab sambil membuka sebungkus permen mint untuk mengusir rasa kantuk ini.

“Hahahaha, begitu ya. Itu adalah sebuah pujian yang sangat menggelitik bagi saya.” Ucapnya sambil berjalan ke arah sofa yang ada di hadapanku. Ia kemudian duduk, merapikan jas dokternya yang berwarna putih bersih itu, lalu mempersilahkan aku untuk merebahkan diri.

“Oke, bisa ceritakan perkembangan yang anda rasakan belakangan ini?” Tanyanya lagi sambil bersiap untuk mencatat segala poin yang akan kusampaikan.

“Nggak banyak, sih, dok. Tapi secara umum, tentu saja saya merasa lebih baik setiap harinya. Ini berkat bantuan dokter, keluarga, serta teman-teman saya.” dr. Sofia tersenyum mendengarkan hal itu, sambil mencatat hal-hal yang aku sampaikan tadi.

“Oh, iya. Saya juga sempat memelihara kucing beberapa waktu yang lalu, dok.” Tambahku lagi menjelaskan mengenai Marco.

“Sungguh? Lalu apa yang anda rasakan setelah kucing itu hadir dalam hidup anda?” dr. Sofia sepertinya tertarik mendengarkan hal ini. Apakah dia juga pencinta kucing seperti mertua dan juga iparku?

“Saya lumayan kewalahan, sih, dok. Makanya kucing itu saya serahkan ke mertua saya karena kebetulan mereka adalah pecinta hewan. Nama kucing itu Marcopollo, btw.”

“Wah, sayang banget kalau gitu. Soalnya, hewan peliharaan bisa ngebantu pasien untuk sembuh dari depresi, lho.” Ucap dr. Sofia sambil mengangguk pelan, lalu mencatat poin yang kusampaikan tadi.

“Yah, tapi sayangnya hal itu tidak berlaku untukku.”

...***...

Ada sebuah restoran mie pedas yang baru-baru ini buka di salah satu bagian aliran sungai besar Andawana. Kurang lebih sekitar 6 kilometer dari Foodcourt Riverside yang sempat kita kunjungi beberapa hari yang lalu. Maka dari itu, sore ini aku memutuskan untuk berkunjung ke sana dan mencoba rasa dari mie pedas buatan mereka.

Aku mengetahui informasi ini dari postingan Alvie di sosial medianya. Di captionnya, tertulis bahwa dia berhasil menaklukan level tertinggi dari mie pedas itu. Walaupun nggak terlalu suka pedas, tapi sebagai spesies manusia yang sangat mencintai berbagai macam olahan mie, aku merasa tertarik untuk mencobanya.

Setelah selesai memesan dan mendapatkan nomor meja, aku kemudian duduk di sebuah meja yang menghadap langsung ke arah pemandangan sungai serta kota Andawana. Aliran air yang berwarna bening kebiruan berpadu sempurna dengan pemandangan kota yang didominasi oleh gedung-gedung tinggi. Pemandangan ini sekilas mengingatkanku pada panorama kota Tokyo, Jepang.

Tak sampai sepuluh menit, makanan yang aku pesan akhirnya tiba. Dua piring mie pedas dengan level menengah, dilengkapi dengan pangsit goreng serta udang keju. Tak lupa juga aku memesan teh hangat untuk menetralisir rasa pedas yang bisa saja membakar hangus lidahku. Sungguh, minuman hangat itu ternyata lebih ampuh dalam menetralkan pedas daripada minuman dingin. Percayalah padaku.

Seorang pelanggan lain kemudian duduk di sebelahku ketika aku sedang menikmati suapan pertama dari mie ini. Sebenarnya, aku kurang suka kalau ada orang tak dikenal yang duduk di sebelahku waktu lagi makan. Tapi, karena situasinya emang lagi ramai, jadi aku bisa memaklumi hal ini.

Asli, rasa mie pedas yang satu ini beneran enak banget! Aku bukanlah orang yang pandai membedah sebuah rasa secara rinci pada suatu makanan. Tapi intinya, mie ini adalah salah satu olahan mie terenak yang pernah kumakan, selain mie instan favoritku.

“Anda Emanuel Nathaniel, ya?” Saat hendak melahap udah keju, tiba-tiba saja pria di sampingku ini menanyakan identitasku.

Aku langsung saja menoleh ke arahnya, sambil meletakkan kembali pangsit goreng itu ke wadahnya. Pria ini menggunakan setelan jas berwarna silver yang berisi bunga mawar merah di sakunya. Badannya lumayan gempal, dengan gaya rambut yang klimis. Dari keriput di wajahnya, aku bisa menebak bahwa pria tak dikenal ini sudah mencapai usia 60-an.

“Benar. Anda siapa, ya?” Aku bertanya balik untuk mengetahui identitasnya.

“Saya Michael Huang. Senang bertemu dengan anda.” Dia mengulurkan tangan kanannya, seolah menawarkan sebuah jabat tangan. Tapi, aku memilih untuk menatapnya saja dan tak langsung menyambut jabat tangan itu.

Ini mungkin hanya sentimenku saja, tapi orang ini benar-benar terasa sangat mencurigakan. Bagaimana dia bisa mengetahui namaku? Apakah dari papan iklan yang terpasang di simpang utara kota Andawana? Lalu apa tujuannya menyapaku saat sedang asik makan? Selain itu, nama Michael Huang ini terasa lumayan familiar di telingaku. Tapi, aku lupa pernah mendengar nama itu dimana.

“Ada yang bisa saya bantu?” Ucapku tanpa melepas kontak mata, setelah beberapa menit menatapnya dalam diam. Michael Huang kemudian menarik tangannya kembali sambil menghela napas panjang.

“Tentu. Saya ingin mengurus masalah tanah dengan anda.” Michael kemudian mengeluarkan handphonenya yang menggunakan casing kulit khas bapak-bapak. Dia lalu menunjukkan peta Kecamatan Cakrawana—salah satu kecamatan di provinsi Andawana—yang berisi tanda silang di sisi selatannya. “Saya ingin membuat sertifikat pada tanah tak bertuan ini untuk membuka cabang bisnis saya.”

Setelan jas mewah, perhiasan emas, rambut klimis, serta ingin membuat sertifikat untuk sebuah tanah tak bertuan demi keperluan bisnis. Dia pasti adalah seorang mafia.

Michael Huang kemudian memasukkan handphonenya kembali, lalu merogoh sesuatu di tas kulit yang mewah itu. Dia lalu mengeluarkan sebuah amplop tebal—yang pastinya berisi uang—serta beberapa lembar kertas yang terlipat-lipat.

“Ini adalah DP sekaligus berkas-berkas yang anda perlukan. Sisanya akan saya bayar ketika semuanya sudah beres.”

Setelah meletakkan barang-barang itu di atas meja makan, dia lantas pergi begitu saja tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Dia juga tak memberikan aku kesempatan untuk bertanya mengenai tujuan dari semua hal ini. Dengan berat hati, aku menyimpan amplop serta berkas-berkas tersebut, lalu lanjut makan dengan perasaan yang agak kesal.

“Sialan…”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!