"Nikah Dadakan"
Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.
Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?
Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?
Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tetangga
Di dalam apartemen yang tenang, terdengar suara lemari kulkas terbuka. Murni berdiri sambil menopang dagunya dengan satu tangan,matanya menelusuri isi kulkas yang hampir kosong dengan wajah lesu. Di dalam kulkas, hanya ada beberapa botol minuman ringan dan dua butir telur yang tersisa.
Ia menghela napas pelan, lalu menutup pintu kulkas dengan gerakan malas, lalu berjalan menuju laci dapur, dengan harapan menemukan sesuatu yang bisa ia masak untuk makan siang.
Ia segera menarik laci lemari bawah lalu merogohnya, berharap ada beberapa bungkus mie instan, tepung, ataupun satu kaleng sarden yang tersisa di dalam laci. Namun, sebelum ia sempat mengambil apapun-
TING! TING! TING!
Suara notifikasi dari ponselnya mendadak terdengar. Murni segera keluar dari dapur lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja ruang tamu, terlihat layar ponselnya menampilkan notifikasi baru dari Kaan.
Layar ponsel menyala terang di telapak tangannya. Sebuah pesan baru dari Kaan muncul di layar ponselnya. Murni pun segera membuka pesan itu dengan alis sedikit berkerut.
[ Maaf, saya lupa memberi tahu kalau di rumah memang tidak ada makanan. Jadi saya pesankan makan siang untuk kamu, lewat jasa layanan antar. Kalau nanti ada yang ketuk pintu dan bilang dia pengantar makanan, itu untuk kamu.
Sekali lagi, maaf. Saya nggak bermaksud bikin kamu repot.
Malam ini saya coba pulang lebih cepat. Kalau kamu gak keberatan, malam ini kita bisa belanja kebutuhan dapur bersama di supermarket.]
Tak lama kemudian, satu pesan tambahan masuk. Sebuah foto menyusul, memperlihatkan seorang pria muda mengenakan jaket ojol berwarna hijau, dengan tas besar di punggungnya.
[Penampilan orang nya kurang lebih seperti ini.]
Murni membaca pesan itu pelan-pelan, seketika senyuman samar terukir di wajahnya. Ia tak terbiasa mendapat perhatian semacam itu, ada perasaan aneh dan malu yang seketika menyeruak di benaknya.
Jempolnya terlihat kaku ketika mengetik balasan pesan itu.
[Iya mas, makasih banyak.]
Awalnya Murni ingin menambahkan beberapa kalimat seperti ingin bertanya makanan apa yang Kaan pesankan untuknya, tapi dengan cepat ia langsung menghapus nya dan hanya mengirimkan pesan itu saja.
Murni pun kembali meletakkan ponselnya di atas meja, dan memilih duduk di sofa lalu menekan tombol power remote TV.
.
.
.
Dua puluh menit kemudian.
Ding Dong!
Suara bel rumah yang melengking ringan mendadak terdengar dari arah pintu depan.
Murni yang tengah duduk di sofa, terlarut dalam acara siang di televisi, spontan meraih remote dan mematikan layarnya. Lalu bergegas menuju ke arah pintu, dengan membuka sedikit celah untuk mengintip siapa yang datang.
Begitu matanya menangkap sosok seseorang yang berdiri di depan dengan mengenakan helm dan jaket hijau-hitam yang khas, seperti yang Kaan beritahukan, ia pun menghela nafas lega.
Setelah memastikan orang itu memang pengantar makanan, ia pun akhirnya berani membuka pintu sepenuhnya.
"Permisi,” ucap si pria dengan sopan, “Atas nama Murni, ya?”
“Iya, saya.” jawab Murni, mencoba terdengar biasa saja meski dadanya berdetak tak menentu. “Ini pesanan makanannya, Mas?”
“Betul. Ini pesanannya.” Ucap pria itu sembari mengangguk.
Lalu menyerahkan kantong plastik berisi makanan, yang aroma hangat nan harumnya langsung tercium dari balik kantong, hingga menggoda indera penciuman Murni.
Murni mengambilnya cepat, lalu buru-buru masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet dari meja kecil di sudut ruang tamu. Beberapa lembar uang diselipkannya di tangan, dan ia kembali ke depan pintu.
"Ini uangnya, mas." Katanya, sembari menyodorkan pembayaran.
Namun pengantar itu hanya tersenyum, dan menggeleng pelan.
“Maaf, pesanannya sudah dibayar, mbak."
Murni sempat tertegun karena tidak menyangka jika pesanan itu sudah dibayar. Dalam sekejap, ada semburat kikuk yang melintas di wajahnya sebelum ia mengangguk kecil, dan mencoba menyembunyikan keterkejutannya.
"O-Oh, begitu ya mas, okelah." Gumamnya pelan.
"Makasih banyak mas." Tambahnya sembari tersenyum.
“Sama-sama mbak. Kalau begitu, saya pamit dulu.” ucap pria itu dengan ramah, sebelum melangkah pergi.
Begitu Murni berbalik dan hendak masuk kembali ke dalam apartemen. Tiba-tiba, langkahnya terhenti saat terdengar suara seseorang yang memanggilnya dari samping.
"Hai..."
Murni spontan menoleh. Di sana, berdiri seorang wanita muda dengan rambut tergerai rapi, menyandar santai di kusen pintu unit sebelah. Gayanya terbilang elegan dan percaya diri, sembari tersenyum menatap Murni.
"Baru pindah ya?" tanya wanita itu dengan nada ringan sembari menatap sosok Murni dengan intens seolah sedang meneliti.
"Iya... Mbak." jawab Murni singkat, dengan gelagat kaku karena tak menyangka akan disapa.
Kemudian hening, tidak ada pembicaraan selanjutnya yang keluar dari mulut wanita itu. Karena merasa sudah tidak ada yang harus di bahas, Murni pun segera menjangkau kenop pintu kemudian memutarnya, namun tiba-tiba suara wanita itu kembali terdengar.
"Tinggal sama siapa? Kalau nggak salah, apartemen itu biasanya dihuni sama pria... namanya Kaan, kalau nggak salah."
Murni sedikit terkejut, lalu menjawab dengan sopan meski wajahnya mulai menunjukkan keraguan.
"Saya tinggal sama suami saya. Saya... istrinya Kaan."
Tiba-tiba saja wanita itu tertawa kecil, kekehan halus yang keluar dari bibirnya seolah menunjukkan jika ada sesuatu yang lucu dari pernyataan itu.
"Oh... istri Kaan ya? Wah... ternyata Kaan udah nikah rupanya. Menarik juga."
Murni mengangguk sopan, dan menunduk sedikit.
"Iya mbak." Balasnya.
Perlahan wanita itu melenggang mendekat ke arah Murni lalu menjulurkan tangannya.
"Aku Aria. Sesama tetangga harus saling kenal dong pastinya." Ujarnya terdengar santai sembari tersenyum dan menatap Murni dengan intens seolah menunggu balasan Murni.
"Murni. Salam kenal mbak Aria." Jawab Murni diikuti menerima uluran tangan wanita itu dan berjabat tangan.
"Nah, sekarang kita usah kenal, lain kali kalau ketemu, jangan ragu buat saling sapa ya." Ujar Aria.
"Iya mbak. Kalau begitu, saya izin masuk dulu ya, Mbak."
"Oh, tentu. Maaf ya kalau nanyanya tiba-tiba tadi." balas wanita itu sambil ikut berbalik dan memutar kenop pintunya, yang menunjukkan jika ia juga hendak masuk ke apartemennya.
Begitu pintu tertutup dan Murni menghilang dari pandangannya, wanita itu mendadak menghentikan langkah masuknya, lalu berbalik dan kembali menatap menatap pintu apartemen Murni sambil menyunggingkan senyuman tipis.
"Istri Kaan, ya...? Menarik."
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣